Kewajiban Jilbab dan Pencabutan SKB 3 Menteri: Bukti Kegagalan MA
Pencabutan SKB 3 Menteri tentang seragam sekolah, menunjukkan gagalnya Mahkamah Agung memahami keberagaman dan hak perempuan.
Indikasi kemunduran toleransi di Indonesia terlihat dari pencabutan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 2 Tahun 2021 oleh Mahkamah Agung (MA) Mei silam. Merespons ini, Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) melaksanakan sidang eksaminasi publik Putusan Mahkamah Nomor 17P/Hum/2021 tentang Uji Materiil atas Surat Keputusan Bersama 02/KB/2021 Nomor 025-199 Tahun 2021 dan Nomor 219 Tahun 2021 tentang Pengaturan Busana di Lingkungan Pendidikan, secara virtual, (12/08).
SKB yang ditetapkan oleh tiga menteri, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarie, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumans berisi jaminan perlindungan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan, pemerintah daerah dan sekolah untuk tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau, atau melarang penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu.
Mulanya, SKB 3 Menteri dibuat setelah terjadi pemaksaan jilbab di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat. Meskipun sebenarnya perilaku diskriminatif senada juga terjadi di beberapa daerah lainnya. Penyusunan SKB 3 Menteri sendiri merupakan langkah tepat untuk menjaga keberagaman dan memastikan keseimbangan kehidupan beragama di Indonesia.
Sayangnya, MA memutuskan pencabutan SKB 3 Menteri lantaran dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Menurut Sri Wiyanti Eddyono, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, majelis hakim MA telah gagal melihat SKB 3 Menteri secara menyeluruh. Padahal, ini penting untuk memulihkan keadaan akibat masifnya intoleransi di masyarakat, yang berhubungan erat dengan pemaksaan terhadap perempuan dan anak untuk mengenakan pakaian bersimbol agama tertentu.
Baca Juga: SKB 3 Menteri tentang Aturan Seragam Sekolah Dukung Keberagaman di Indonesia
MA Abaikan Hak Perempuan
Dari seluruh dokumen yang dikeluarkan MA, perspektif hak perempuan sama sekali tidak dirujuk. Pemaksaan penggunaan jilbab bagi siswi, merupakan bentuk interseksionalitas, yakni segala sistem berbentuk diskriminasi, penindasan, dan dominasi.
Tindakan ini telah mempolitisasi agama dengan mengontrol tubuh perempuan sebagai sandaran moral. Sehingga, menciptakan kategorisasi perempuan baik-baik berdasarkan penggunaan jilbab. Mereka pun tidak memperhatikan posisi siswi sebagai kelompok subordinat karena relasi kekuasaan yang sangat lemah terhadap pihak sekolah.
Sri menjelaskan, permasalahan ini bukan sekadar isu muslim dan non-muslim, melainkan keberagaman.
“Ini lebih kompleks bagi perempuan non-muslim karena permasalahan berlapis. Ada pelabelan perempuan dianggap menggoda dan mengundang hawa nafsu, yang merupakan konsepsi dan diskriminasi berbasis gender,” ujarnya.
Sementara, Guru Besar Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, yang juga memimpin sidang tersebut menuturkan, putusan majelis hakim MA yang mengabulkan permohonan uji materi SKB 3 Menteri tidak dapat diterima dengan keadilan.
“Perda telah melegitimasi tubuh perempuan sebagai alat politisasi instrumen hukum, ini merupakan bentuk intoleransi. Dengan demikian, mereka salah sasaran karena para siswa membutuhkan pendidikan akademik dan karakter yang berkualitas,” tutur Sulistyowati.
Baca Juga: Dari Budaya sampai Agama, Ini 4 Hal yang Hambat Perempuan Berkarier
Ia menyebutkan, seharusnya perempuan didorong untuk berkontribusi pada bangsa melalui kecerdasan ilmu pengetahuan, bukan kembali didomestikasi dari segi berpakaian.
Padahal, dalam UU RI Nomor 7 Tahun 1984, Indonesia telah mengimplementasikan The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), yang lahir dari pengalaman diskriminasi perempuan dan diterapkan untuk membangun hak asasi perempuan dan hak asasi manusia.
“Berbagai bentuk pelanggaran hak anak, perempuan, kelompok minoritas, dan pemeluk agama Islam sendiri tidak dipertimbangkan,” ujar Sri.
Tekankan Nilai Satu Agama
Pada praktik sistem pendidikan yang mengacu pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terlihat bagaimana pelaksanaannya mengacu pada nilai agama dan akhlak mulia, alih-alih kecerdasan.
Di UU tersebut, siswa diharapkan aktif mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan dan hak mereka dalam memperoleh pendidikan agama sesuai yang dianut. Kemudian, pendidikan nasional didefinisikan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, dan berfungsi mengembangkan watak dan peradaban kehidupan bangsa, dengan tujuan menjadikan peserta didik sebagai manusia beriman, bertakwa kepada Tuhan, dan berakhlak mulia.
Baca Juga: Konsep ‘Mindfulness’ dalam Islam Ajarkan Kesetaraan, Kebermanfaatan Manusia
Jika memang agama ditekankan sebagai bekal moral dalam mendidik anak, putusan MA belum mencerminkan itu. Terlepas dari mengontrol tubuh perempuan, mereka tidak mempertimbangkan keberagaman karena hanya memaknai toleransi berdasarkan cara pandang ajaran Islam, tanpa mengingat adanya hak kebebasan beragama.
Pada kasus di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat, terlihat sudut pandang majelis hakim dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam sebagai agama mayoritas di Sumatera Barat. Dalam hal ini, budaya telah disamakan dengan praktik agama mayoritas.
Sementara pendidikan seharusnya menjembatani anak dalam memahami kebebasan memilih, dan memperkenalkan keberagaman latar belakang agama dan budaya untuk menciptakan nilai toleransi sejak dini.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Cekli Setya Pratiwi menjelaskan, MA telah mencampurkan hak kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi.
“Kesimpulan saya, MA belum mempertimbangkan dimensi HAM, khususnya terkait kebebasan beragama secara tuntas dan komprehensif,” katanya.