Issues

Kisah Orang Bertato: Lawan Stigma Sampai Pelecehan

Meskipun luntur secara perlahan, segelintir masyarakat masih memberikan stigma terhadap orang bertato. Seperti berandal hingga melakukan seksualisasi terhadap perempuan.

Avatar
  • February 3, 2022
  • 6 min read
  • 1250 Views
Kisah Orang Bertato: Lawan Stigma Sampai Pelecehan

Bertamu ke kediaman kerabat seharusnya bukan sesuatu yang mengundang cemas, di situasi ideal. Namun, situasi sebaliknya selalu dirasakan Alex, seorang seniman tato yang sering kali “disembunyikan” teman-temannya.

“Jangan ke rumah, nanti nyokap gue kaget,” kata Alex, menirukan ungkapan yang sering diterimanya dari teman.

 

 

Sebagai sosok yang menato hampir seluruh bagian tubuhnya, acapkali ia menghadapi stigma sosial tato yang lengket dengan citra pelaku kejahatan. Bahkan seorang ibu pernah menggunakan Alex untuk menakuti anaknya supaya mau makan.

“Sakit hati sih enggak cuma kok penampilan kita buat nakut-nakutin orang ya,” ungkap Alex. Gue iba aja anak kecil didoktrin begitu,” tambahnya.

Persepsi itu tidak hanya disampaikan secara verbal. Alex juga sering mendapat tatapan jijik dan ketakutan, seolah keberadaannya akan membahayakan orang-orang di sekitarnya. Namun, pria yang memiliki tato bergambar setengah tengkorak di sisi kiri wajahnya itu tidak menggubris penilaian publik, dan memilih membuktikan karakter sebenarnya lewat perilaku.

Baca Juga: Surat dari Penjara: Kangen Ibuku Si Tato Alis Kereng

Meskipun kini pola pikir masyarakat mulai berubah, nyatanya masih banyak yang melihat orang bertato sebagai sesuatu yang menyimpang. Asumsi demikian yang akhirnya bikin orang seperti Alex harus menanggung konsekuensi berupa penolakan atau prasangka.

Dalam riset Tattoo or Taboo? Tattoo Stigma and Negative Attitudes Toward Tattooed Individuals (2017) oleh Kristin Broussard dan Helen Harton disebutkan, persepsi merendahkan itu banyak jenisnya. Mulai dari dianggap berkepribadian buruk, kemampuan bersosialisasi dan kompetensi yang rendah, sampai dianggap akrab pergaulan bebas.

Padahal, penampilan belum tentu merefleksikan tindakan seseorang. Dan menurut Alex, itu dapat dibuktikan dengan keinginan untuk mengenal sebelum menghakimi. 

Baginya, tato merupakan seni lukis tingkat tinggi sekaligus bentuk ekspresi diri dan pemberontakan, sehingga punya makna lebih besar dibandingkan penilaian masyarakat atas dirinya. “Tato itu mahakarya, enggak gampang untuk melukis di setiap milimeter kulit yang bukan bidang datar,” ujarnya.

Cara Komunitas Tato Melawan Stigma

Kehadiran media sosial, menyebarnya studio tato di berbagai tempat, dan banyaknya figur publik yang menato tubuh, perlahan melunturkan stigma orang bertato yang biasa diasosiasikan berandal, terutama jika mereka berada dalam lingkungan suportif. 

Studi Stigma of Ink: Tattoo Attitudes Among College Students (2014) oleh akademisi Lynda Dickson, dkk. mendukung pernyataan tersebut. Apabila seseorang dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman yang memiliki tato, ia cenderung menganggap tato bukan suatu permasalahan.

Baca Juga: Bagaimana ‘Perempuan Tak Laku’ di Cina Lawan Stigma?

Pengalaman itu juga dimiliki oleh Ucha, seorang penindik yang memiliki tato di sekujur lengan. Meskipun awalnya keluarganya menentang kegemarannya melukis tubuh dengan tinta permanen, akhirnya justru mereka ikut menato tubuh. Ia juga mengatakan, memiliki tato adalah pertanggungjawaban besar sehingga harus berani menghadapi akibatnya, yaitu stigma dari masyarakat.

Selain itu, pada 2004 Ucha juga mendirikan Indonesian Subculture (ISC), sebuah aliansi seni tato dan tindik tubuh, sehingga ia dikelilingi orang-orang yang memiliki kesamaan minat.

“ISC ingin menekan kekhawatiran masyarakat soal bahayanya proses tato dan tindik,” jelas pria 42 tahun itu, ketika ditanya tujuan komunitas yang dibentuknya. “Mereka berpikir begitu kan karena minim edukasi, makanya kita menggunakan cara profesional,” imbuhnya.

Mereka ingin melawan keterbatasan pengetahuan masyarakat, tentang jarum suntik dan tindik yang berisiko menyebarkan HIV/AIDS. Karenanya, ISC mengedukasi para seniman tato untuk melakukan pekerjaannya secara steril berdasarkan standar operasional.

“Kami tinjau studionya, dari tinta yang digunakan, proses kerja, sampe pembuangan limbah,” terang Ucha. Pun tidak sembarang anggota dapat bekerja sebagai seniman tato. Mereka harus mengikuti coaching clinic untuk mendapatkan sertifikasi dan mengikuti berbagai event tato, sebelum menjadi profesional.

Lebih dari itu, sejumlah sekolah dan universitas mengundang ISC untuk berkampanye seputar tato kepada para pelajar.

“Kampanye ini untuk menghindari kontaminasi penyakit yang dibawa oleh tato, bukan supaya orang bertato dibilang bagus,” ucapnya. Mereka juga menerangkan, membuat tato menghabiskan biaya tidak sedikit dan menimbulkan rasa sakit.

Berbeda dengan ISC, Masyarakat Bertato (Masberto) Kingdom melawan stigma dengan memproduksi topi dan pakaian, dan dipasarkan lewat marketplace. “Sebenarnya ingin memberikan pengertian ke masyarakat, kami ini pekerja keras, bukan kriminal,” tegas Alex yang juga salah satu anggota komunitas tersebut.

Mereka melakukan seluruh aktivitas bersama, mulai dari membuat pakaian, memasak, makan, dan beribadah. Bahkan waktu bangun tidur pun juga ditentukan. Berdasarkan penuturan Alex, komunitas yang didirikan sejak 2008 itu mengutamakan kedisiplinan dan kebersihan, termasuk di markas yang menjadi lokasi produksi dan tempat tinggal anggotanya. 

Perempuan Bertato dan Citra Orang Baik

Meskipun tak sedikit figur publik perempuan juga menato tubuh—sebut saja Sophia Latjuba, Renata Moeloek, dan Sharena Delon—perempuan bertato lebih sulit diterima masyarakat. Dilansir dari Her Campus, stigma itu berkaitan dengan persepsi kecantikan perempuan yang lekat dengan kemurnian. Memiliki tato dianggap menghilangkan feminitas.

Baca Juga: Strategi Media Sosial Komunitas Gay untuk Lawan Stigma

Stigma tersebut membentuk citra “bukan perempuan baik-baik” pada mereka yang bertato. Bahkan dipandang rendah dan terkesan dapat diseksualisasi. Kenyataan itu pernah dialami oleh Lois, seorang seniman tato asal Yogyakarta. Beberapa kali ia diajak klien laki-laki untuk menato di hotel, hingga meminta layanan “plus-plus”.

“Awalnya shock ya karena aku sempat merasa aman dengan pekerjaanku. Ternyata pernah dilakukan seperti itu,” ceritanya. Para calon klien itu juga menawarkan diri untuk menjemput, tetapi ia melihatnya sebagai risiko pekerjaan. Sementara di satu sisi, memang tersedia layanan home care dengan tarif berbeda, sehingga dijadikan siasat untuk menanggapi klien-klien itu secara profesional.

“Aku konfirmasi dulu, sebut tarif, lalu minta dp (down payment/uang muka). Kalau enggak ada kirim deposit ya enggak ada janjian,” ujarnya. “Kalau mereka mau jemput, aku minta masuk studio dulu untuk secure appointment dan ukur pola,” sambungnya.

Namun, tanggapannya itu belum tentu berhasil membuat calon klien mundur. Sebagian dari mereka masih mengejar kesempatan tersebut. Alhasil Lois perlu menekankan yang dilakukannya adalah sebuah pekerjaan, dan ia tidak menjual apa pun selain jasa menato.

Perlakuan merendahkan yang diterima perempuan 35 tahun itu bukan satu-satunya. Ia menceritakan, sejumlah kliennya pernah menerima pelecehan seksual dari tattoo artist laki-laki, membuat mereka memilih ditato oleh perempuan dengan alasan keamanan. Bahkan ada studio tato khusus perempuan yang menurutnya cenderung eksklusif.

“Yang penting hati-hati kalau tato artis minta buka pakaian dengan alasan drawing manual langsung di kulit,” katanya. “Klien punya hak untuk menolak kalau memang nggak perlu,” jelas Lois. Ia menyarankan, calon klien perempuan melakukan riset pada studio tato yang dituju dan berkonsultasi, sebelum membuat janji.

Terlepas dari pelecehan yang pernah diterima, ibu dari dua anak itu justru diterima di lingkungan sekolah. Hanya anak-anak yang awalnya takut mendekatkan diri karena penampilannya. Tapi dengan pengertian orang tua murid, ia dapat diterima dan mengakrabkan diri.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *