Komnas Perempuan, Lemhanas: Kekerasan pada Perempuan Ancam Ketahanan Nasional
Ketahanan nasional menjadi rawan ketika kemampuan untuk menghadapi gangguan menjadi lemah.
Kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk ancaman ketahanan nasional, karena kekerasan menciptakan situasi tidak kondusif secara masif, terlebih ketika pandemi terjadi dan memicu berbagai krisis.
Hal itu disampaikan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhanas RI) dalam peluncuran kajian respons cepat bertajuk “Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Penanganan COVID-19 Guna Meningkatkan Ketahanan Nasional” Senin (16/11) lalu.
Sejak pandemi COVID-19 juga menghantam Indonesia, pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan protokol kesehatan, di antaranya social distancing, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dan penetapan proses kerja serta belajar-mengajar yang dilaksanakan di rumah (WFH dan SFH).
Situasi pandemi dan penetapan kebijakan tersebut berpengaruh terhadap kondisi psikis dan fisik perempuan. Di rumah, perempuan mengalami peningkatan rasa frustrasi dan konflik yang menimbulkan ketegangan, yang dulunya bisa diluapkan dengan keluar rumah. Konflik yang muncul di rumah pada akhirnya mendorong perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kajian Komnas Perempuan dan Lemhanas RI ini berfokus pada upaya pencegahan, penindakan kasus kekerasan terhadap perempuan, dan perlindungan korban.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan, kajian tentang kerentanan perempuan dan upaya penanganannya dalam konteks pandemi menghadirkan tantangan baru bersifat sistemis yang tidak terduga.
“Apa yang kami temukan adalah situasi COVID-19 memperlihatkan dan memperbesar tantangan yang sudah ada sebelumnya dalam menghadapi penanganan kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya dalam peluncuran hasil kajian.
Baca juga: Kasus KDRT Meningkat Namun Rumah Aman Terbatas
Deputi Pengkajian Strategik Lemhannas, Reni Mayerni mengatakan, saat proses penanggulangan COVID-19 memasuki tahap adaptasi baru, perlu dicermati adanya kerentanan pada ketahanan nasional akibat kekerasan. Ia mengatakan, ketahanan nasional menjadi rawan ketika kemampuan untuk menghadapi gangguan menjadi lemah, sehingga perlu respons untuk mengatasi ancaman yang mampu menghambat identitas dan kelangsungan hidup dan bernegara.
“Meskipun ada kebijakan yang memenuhi dan melindungi hak perempuan, khususnya korban kekerasan, jumlah kekerasan terhadap perempuan dalam 20 tahun terakhir jauh melampaui peningkatan penanganan dan pemenuhan hak korban,” ujarnya.
Selama pandemi, pemerintah mengeluarkan tujuh kebijakan dan delapan protokol terkait penanganan kekerasan terhadap perempuan. Beberapa di antaranya ialah menyusun pedoman penanganan perkara tindak pidana terkait perempuan di lingkungan kejaksaan untuk menyamakan persepsi setiap jaksa penuntut umum, serta Surat Edaran Nomor 29 tahun 2020 tentang Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan/Anak saat Bencana COVID-19.
Hambatan penanganan kasus
Terkait tantangan penanganan kasus, Andy mengatakan bahwa isu tersebut masih dianggap sebagai isu pinggiran meski laporan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat terus.
“Budaya menyangkal dan menyalahkan korban menyebabkan isu kekerasan terhadap perempuan menjadi ancaman laten,” ujarnya.
Kekerasan terhadap perempuan berakar dari diskriminasi berbasis gender. Selain itu, konstruksi sosial yang membedakan peran laki-laki dan perempuan menjadi penghalang untuk perempuan berkiprah secara optimal untuk mengembangkan potensinya.
Baca juga: Kekerasan terhadap Perempuan di NTT: Peningkatan dan Kendala Penanganan
Data tentang pelaporan kasus kekerasan yang digunakan dalam kajian Komnas Perempuan dan Lemhanas RI bersumber dari delapan lembaga negara, termasuk Komnas Perempuan sendiri, Lembaga Perlindungan Saksi serta Korban (LPSK), dan Badan Reserse Kriminal Polisi RI (Bareskrim Polri). Sementara data yang dikumpulkan lembaga masyarakat sipil didapatkan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik, Yayasan Pulih, dan Forum Pengada Layanan.
Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor, yang juga menjadi salah satu peneliti kajian, mengatakan data LPSK menunjukkan adanya peningkatan kasus sebanyak dua kali lipat dibanding pada 2019 selama pendataan Januari hingga Mei 2020. Kasus kekerasan seksual mencapai 142 kasus, kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) mencapai 48 kasus, kekerasan anak 17 kasus, dan KDRT 6 kasus. Dalam pendataan Bareskrim Polri sepanjang Januari hingga Juni, secara keseluruhan terdapat 6.250 kasus kekerasan dengan kasus terbanyak berupa KDRT yang mencapai 1.800 kasus.
Dalam proses penanganan dan pelaporan kasus terdapat tantangan yang berpusat pada rasa takut akan penyebaran COVID-19. Hambatan tersebut terjadi dalam sektor kejaksaan, Kementerian Kesehatan, lembaga layanan, Kementerian Sosial, dan kepolisian.
“Di bidang kejaksaan, dalam penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan, kendala yang dialami adalah pemeriksaan jarak jauh. Sementara berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan dan kepolisian, kendala yang ditemukan adalah korban rata-rata takut tertular COVID-19. Ini membuat mereka tidak mau berobat setelah terjadi tindak kekerasan,” jelas Marsekal Pertama Tentara Nasional Indonesia (Marsma TNI) Agus Purwo yang juga menjadi peneliti kajian.
Baca juga: Komnas Perempuan: Sahkan RUU PKS atau Risiko Dipermalukan di Dunia Internasional
Rekomendasi aksi kepada berbagai pihak
Dari hasil kajian tersebut, Komnas Perempuan dan Lemhanas RI memberi rekomendasi kepada polisi dan penindak hukum agar kedua pihak tersebut melaksanakan pelaporan kasus hingga pemidanaan pelaku kekerasan sesuai dengan situasi pandemi, khususnya penggunaan teknologi informasi secara optimal.
Untuk pihak Kementerian Kesehatan, mereka merekomendasikan penguatan kapasitas deteksi dini kekerasan dalam pelaksanaan layanan kesehatan, menyelenggarakan tes COVID-19 gratis untuk anak dan perempuan korban kekerasan, serta memberi rujukan ke rumah sakit khusus agar tidak bercampur dengan pasien COVID-19.
Sementara untuk pihak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mereka merekomendasikan agar kedua pihak ini segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Rekomendasi ini paling digarisbawahi Komnas Perempuan dan Lemhanas RI mengingat urgensi tinggi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan saat ini.
“Sangat penting untuk segera mendorong pengesahan RUU PKS guna memberikan perlindungan dan pemulihan hak korban. Ini membuat jenis kekerasan yang belum ada payung hukumnya di tingkat nasional diakui,” kata Maria Ulfah.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.