Issues Safe Space

Menilik Nasib Korban KBGO di Hadapan Institusi Pendidikan

Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 memang cukup progresif. Namun, menangani KBGO di sekolah tak berhenti di sana.

Avatar
  • July 30, 2024
  • 6 min read
  • 795 Views
Menilik Nasib Korban KBGO di Hadapan Institusi Pendidikan

*Peringatan Pemicu: Gambaran kekerasan berbasis gender online (KBGO). 

Sudah delapan tahun berlalu, tapi Jess, 23 masih mengingat jelas suasana sekolah waktu ia duduk di bangku kelas 10. Saat itu, teman-temannya tersenyum mencurigakan dan berbisik-bisik setelah melihatnya masuk ke ruang kelas. Salah satu teman Jess memberi tahu, video intim Jess tersebar. 

 

 

“Teman gue ini ngasih tahu, ‘mereka pada ngeliat video lu’. Terus gue kayak, ‘video apa ya?’ terus dia bilang ‘video lu berhubungan seks,’” kata Jess mengulang dialognya delapan tahun lalu, ketika ditemui Magdalene di SDC, Gading Serpong, (2/7). 

Jess tidak langsung mengerti maksud temannya. Setelah berupaya mengingat, Jess pun sadar, satu minggu lalu dia melakukan hubungan intim dan Jess sudah menolak ketika ditanya persetujuan untuk direkam. Meskipun begitu, hubungan intim tersebut tetap direkam diam-diam tanpa sepengetahuan Jess. 

“Setelah gue tahu dari temen gue ini, gue kontak lah cowok yang videoin gue. Dia enggak bales,” kisahnya.  

Baca juga: Laporan TaskForce KBGO: Sekolah Masih Jadi Prepetator Buat Korban KBGO Anak 

Dirundung dan Dikeluarkan dari Sekolah 

Tak ada balasan. Tak ada pertanggungjawaban. Jess menjadi satu-satunya pihak yang menanggung masalah akibat tersebarnya video itu. Tak jarang di sekolah dia merasakan perundungan. Misalnya saja, ketika Jess sedang berjalan sendiri di lorong tangga dan berpapasan dengan sekelompok murid lain, dia mendengar ucapan kurang pantas ditujukan padanya.  

“Ya, disindir orang lah, kalau gue lagi jalan sendirian ada aja yang nyindir, dikatain lonte lah gitu, di sekolah waktu enggak ada guru, ada aja yang ngatain begitu,” kenang Jess.  

Perundungan tersebut dialaminya selama satu tahun. Keadaan baru membaik saat ia naik kelas 11. Beberapa teman mulai menyadari, perundungan adalah hal yang salah, mengingat Jess adalah korban dalam peristiwa ini. Jess tak lagi kesepian. Dia mendapat sekelompok teman yang menerima dan mendukungnya.  

“Di kelas itu, gue senang akhirnya punya teman. Teman-temannya rame, asik lah. Orang-orang yang kayak ngerasa perundungan tuh salah,” tuturnya.  

Meski begitu, tak lama setelah mendapatkan kembali ruang aman di sekolah, Jess bertemu masalah baru. Suatu hari, wakil kepala sekolah memanggil Jess ke ruangannya. Di sana, Jess diberi tahu bahwa informasi tentang video intimnya sudah diketahui oleh guru-guru. Ancaman dikeluarkan dari sekolah berada di depan mata.  

Wakil kepala sekolah kemudian memanggil ibu Jess ke sekolah esok harinya. Jess tak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun, ketika mengintip ke dalam ruang kepala sekolah, ia melihat sang ibu menangis di hadapan kepala sekolah. Jess cemas. Dia bahkan tak sampai hati untuk bertemu ibunya setelah pulang sekolah. Dia berencana menghindar dengan alasan ingin mengerjakan tugas kelompok. Namun, telepon dari sang ibu membatalkan rencananya.  

Nyokap gue nelepon nanya gue di mana. Gue bilangnya mau kerja kelompok. Terus dia bilang ‘enggak usah kerja kelompok, kamu sudah di-drop-out’. Gue shock,” kisah Jess.  

Tak tinggal diam, segala upaya sudah dilakukan oleh Jess dan keluarga agar dirinya tak dikeluarkan dari sekolah. Jess ingat neneknya datang ke pusat yayasan sekolah di Tanjung Duren, Jakarta Barat untuk mempertanyakan sikap sekolah yang malah mengeluarkan korban. “Terus si kepala jenjangnya cuma bilang ‘itu sudah kebijakan,’” ungkap Jess.  

Mengeluarkan korban kekerasan seksual dari sekolah, tentu saja tindakan keliru. Sekolah sebagai institusi pendidikan seharusnya membantu korban pulih dan menangani kasusnya. Untuk mencegah masalah semacam ini terjadi lagi, Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) membuat Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.  

Baca juga: Neraka Jurnalis Perempuan: Kena KBGO, Tak Dilindungi Perusahaan Media 

Sekolah Tak Boleh Lagi Keluarkan Korban  

Peraturan ini merupakan payung hukum untuk menjaga keberlanjutan pendidikan anak. Ketua Tim Iklim Keamanan Satuan Pendidikan di Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemdikbudristek Dede Suryaman mengatakan dengan adanya aturan ini, sekolah tak boleh lagi mengeluarkan anak secara sewenang-wenang.  

“Satuan pendidikan harus memfasilitasinya. Enggak boleh anak dibiarkan bersama orang tuanya mencari sekolah sendiri, mencari alternatif jalur pendidikan sendiri. Jadi sekolah punya kewajiban (mencarikan sekolah baru),” imbuh Dede melalui Zoom pada (19/7).   

Selain menjamin keberlanjutan pendidikan korban, Pasal 39 Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 juga mengatur tata cara penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Tahapan tersebut dimulai dengan penerimaan laporan, pemeriksaan, penyusunan kesimpulan dan rekomendasi, tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan, dan pemulihan. 

“Apalagi kan sekarang itu sudah ada Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, jadi harus membentuk tim, supaya jelas kalau ada kasus itu harus dilaporkan ke mana,” kata Dede.  

“Tim atau satuan tugas di Kabupaten/Kota dapat melakukan proses penanganan kasus sesuai dengan mekanisme yang ada. Tapi kalau bicara sanksi atau putusannya, ini dikeluarkannya oleh kepala satuan pendidikan atau kepala sekolah atau dinas pendidikan,” tambahnya.  

Kendati pemulihan berada di urutan terakhir, Dede menjelaskan tahap tersebut harus berjalan paralel dengan penangan kasus. Menurutnya, penyebaran video intim murid merupakan masalah yang serius. Karena itu, pemulihan korban menjadi sesuatu yang tidak bisa ditunda.  

“Pemulihan korban dapat berjalan secara paralel. Namanya korban psikis, kekerasan seksual, itu jangan nunggu diproses dulu (kasusnya) sampai akhir, baru ada pemulihan, pemulihan itu berjalan paralel di awal,” terangnya.  

Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 memang sudah menjadi satu langkah progresif. Pun demikian, permasalahan kekerasan seksual tak berhenti pada terciptanya aturan. Pemahaman soal kekerasan seksual yang komprehensif harus dimiliki oleh seluruh masyarakat di lingkungan pendidikan untuk menangani masalah ini.  

Baca juga: Kasus KBGO Masih Marak, Bukti Platform Medsos Belum Jadi Ruang Aman 

Jangan Berhenti di Peraturan Menteri  

Eni dari Purple Code Collective bilang, menangani permasalahan kekerasan berbasis gender memerlukan kerja panjang, lantaran harus dibarengi dengan pemahaman mendalam. Sosialisasi untuk menyamakan perspektif soal kekerasan berbasis gender masih harus terus dilakukan.

“Mana sih yang kekerasan, kenapa itu kekerasan, bagaimana menanganinya. Enggak semua orang bisa menerima karena selama ini dibesarkan enggak dengan pemahaman yang seperti itu,” jelas Eni.  

“Misalnya soal consent saja. Masih ada yang menganggap itu zina, enggak menganggap itu kekerasan, jadi tidak melihat korban sebagai korban,” imbuhnya.  

Tidak adanya pemahaman yang jelas, menyebabkan kasus kekerasan seksual tidak ditangani dengan perspektif yang baik. Karena itu, Eni menjelaskan, upaya untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual tidak bisa hanya berhenti di Peraturan Menteri saja.  

Harus ada perubahan konstruksi berpikir di tengah masyarakat dalam memandang kasus kekerasan seksual. Kepanikan moral masyarakat, tutur Eni, menyebabkan adanya victim blaming dan membuat orang-orang kabur dalam melihat kasus kekerasan seksual.  

“Konstruksi yang selama ini kemudian dibangun dan diamini oleh masyarakat itu yang perlu dibongkar dulu. Jadi, bareng-bareng kerjanya, sebenarnya, enggak satu Permen lalu kita bisa mengandalkan itu, enggak,” ucap Eni.  

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Andrei Wilmar

Seorang sarjana yang bermimpi jadi mahasiswa terus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *