Issues

Kriteria Perempuan Idaman Lelaki, Standar ‘Absurd’ yang Rugikan Kita

Kriteria perempuan idaman kebanyakan ditentukan dari sudut pandang lelaki (male gaze). Tak hanya merugikan, tapi juga gagal melihat perempuan sebagai subjek.

Avatar
  • October 1, 2021
  • 4 min read
  • 649 Views
Kriteria Perempuan Idaman Lelaki, Standar ‘Absurd’ yang Rugikan Kita

Coba ketik kata kunci “perempuan idaman” di Google, maka kamu akan menemukan lebih dari 8,5 juta hasil pencarian. Dari media serius hingga media gaya hidup, rerata selalu menyempatkan diri membuat artikel bertema kriteria perempuan idaman. Sayangnya, yang jadi subjek bukan perempuan yang bersangkutan, tapi pria yang notabene akan jadi calon pasangan.

“Bikin Pria Mudah Jatuh Cinta, Ternyata Ini 7 Kriteria Perempuan Idaman”, “7 Karakter Cewek Idaman, Bisa Bikin Cowok Lengket Tak Mau Lepas”, “Ladies, Ini Kriteria Perempuan Idaman Pria”, demikian beberapa contoh judul artikel yang mondar-mandir di media kita. Mirisnya, kebanyakan artikel itu ditulis oleh perempuan, ditujukan untuk pembaca perempuan, dan tanpa sadar menihilkan nilai diri perempuan.

 

 

Kenapa saya bilang begitu? Tanpa perlu membaca tubuh beritanya pun, kita tahu bahwa perempuan yang sedang diberi tips di artikel-artikel tersebut, dipandang sebagai objek yang punya “misi berat” untuk menarik perhatian pria, membuat pria lengket, dan terpikat. Para wartawan yang menulis artikel tersebut lupa, perempuan layak dipandang sebagai subjek tunggal yang terpisah dan independen, tanpa harus diasosiasikan sebagai pihak yang wajib menarik perhatian lawan jenis. Bahkan tanpa harus memikat lelaki dengan standar-standar bikinan itu pun, kamu sudah jadi perempuan yang utuh.

Mari bersama-sama membuka isi artikel di atas. Dalam uraiannya, jurnalis menyebutkan sederet kriteria perempuan idaman, di antaranya cantik, sesekali tampil seksi, memanjakan pria. Saya tak bilang semua kriteria itu keliru, sebab ada juga media-media yang mengklaim, kriteria perempuan idaman dalam hemat mereka adalah yang mandiri dan tak takut menjadi diri sendiri.

Baca juga: ‘Fleabag’ dan Narasi Perempuan yang Tak Sempurna

Namun, beberapa kriteria yang justru mengerdilkan perempuan sebagai objek: Harus cantik (demi lelaki), harus seksi (demi lelaki), harus memanjakan (lagi-lagi demi lelaki) adalah standar yang merendahkan dan menempatkan perempuan pada posisi subordinat, tak setara dengan lelaki. Ya, saya tahu banyak pula wacana tandingan soal kriteria lelaki idaman, meskipun sudut pandang yang dipakai tetap saja dari teropong lelaki (male gaze). Teropong male gaze sendiri dipahami sebagai cara masyarakat patriarkal dan heteronormatif mengkotakkan perempuan sebagai objek pasif untuk memuaskan fantasi lelaki. 

Sejarah Membuktikan Standar Perempuan Idaman Tak Pernah Adil

Jamak diketahui, sejak zaman baheula, perempuan kerap dipandang sebagai makhluk nomor dua. Itu artinya dalam realitas kehidupan sehari-hari, baik aturan, cara main, maupun standar, semua dibuat oleh lelaki, untuk kepentingan mereka sendiri. Sementara, perempuan hanya jadi objek di dalamnya. Profesor sekaligus jurnalis Inggris, Kathryn Hughes dalam tulisannya bertajuk “Gender Roles in the 19th Century” (2014) melihat ada disparitas yang tegas antara lelaki dan perempuan yang pada akhirnya berpengaruh pada bagaimana ciri perempuan ideal. Perbedaan itu didasarkan pada kondisi biologis perempuan dan normal sosial yang sudah berlaku dan diwariskan dari zaman-zaman sebelumnya.

Selama periode Victoria di Inggris, ada terma “area terpisah” yang bertumpu pada definisi karakteristik ‘alami’ perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap lebih lemah secara fisik namun secara moral lebih unggul dari laki-laki. Ini berarti mereka paling cocok untuk ranah domestik. Tidak hanya mengimbangi tugas suami yang bekerja keras mencari nafkah seharian, mereka juga perlu mempersiapkan generasi berikutnya untuk melanjutkan cara hidup seperti ini. Pemilahan peran ini pula yang pada akhirnya menghasilkan efek yang tak adil untuk perempuan, seperti perempuan dilarang bekerja di sektor publik, perempuan dilarang punya hak pilih, dan sebagainya. Singkatnya, perempuan cuma punya tiga area kuasa: Dapur, sumur, dan kasur.

Baca juga: Tips Ampuh Anti Misoginis-misoginis Klub

Celakanya, hal ini kemudian diadaptasi dari pandangan jamak lelaki di era itu saat menentukan kriteria perempuan idaman. Biasanya itu tak akan jauh-jauh dari perempuan yang punya “keterampilan” memasak, membersihkan rumah, subur sehingga bisa beranak pinak, pintar bersolek, dan cakap memuaskan suami di ranjang. 

Kriteria sesempit ini bahkan mewujud dalam tren fesyen, standar kecantikan, dan tubuh ideal perempuan. Dunia mode sudah bukan rahasia, melihat tubuh perempuan sebagai entitas yang bisa dibentuk sesuai aturan sosial yang rumit oleh lelaki atau oleh keinginan industri. Pada abad ke-18, mode perempuan menggambarkan bagaimana kelompok marjinal itu dikerangkeng hingga sulit bernapas dalam busana korset berenda. Ini menggambarkan bahwa perempuan memang sudah sepantasnya—menurut pandangan sejarah kala itu—menghuni ruang-ruang sempit, wilayah domestik. Sementara lelaki dibebaskan untuk mengenakan baju selonggar dan senyaman yang mereka mau.

Zaman berubah, pendidikan lebih maju, perempuan ditempatkan di lampu sorot sebagai subjek. Namun, faktanya masih saja ada yang beranggapan bahwa perempuan sudah sepatutnya mengikuti standar bikinan lelaki jika mau hidup bahagia, mendapat pasangan dan menikah, maupun diterima dalam masyarakat. Ini standar yang ngawur ketika perempuan diminta untuk tampil asertif, cerdas, cantik tapi di satu sisi itu semua bukan ditujukan untuk menyenangkan perempuan yang bersangkutan, melainkan orang lain. 


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *