Aroma Seksisme Karakter ‘Manic Pixie Dream Girl’
Tipe karakter ‘manic pixie dream girl’ dalam film adalah problematik karena perempuan hanya dianggap motor agar tokoh laki-laki bisa berkembang.
Karakter Summer dalam 500 Days of Summer (2009) dan Arini di Love for Sale (2018) memiliki paling tidak dua kemiripan. Pertama, mereka dianggap kejam karena meninggalkan pasangan dengan cara yang dingin. Kedua, mereka adalah manic pixie dream girl atau perempuan ceria, unik, dan eksentrik yang “menyelamatkan” protagonis laki-laki dari hidup mereka yang monoton, membosankan, dan kosong. Arini memberikan warna untuk kehidupan Richard yang itu-itu saja, sementara Summer adalah semua definisi yang Tom butuhkan tentang cinta sejati.
Istilah manic pixie dream girl sendiri pertama kali dilontarkan oleh kritikus film Nathan Rabin ketika mengulas film Elizabethtown (2005) yang dibintangi Kirsten Dunst dan Orlando Bloom. Rabin mengatakan, Claire yang diperankan Dunst adalah tipe manic pixie dream girl yang sengaja diciptakan hanya untuk mengajarkan laki-laki menerima keindahan hidup dengan segala petualangan dan misterinya.
Dari definisi itu tampak jelas, karakter manic pixie dream girl merupakan manifestasi seksisme dalam sinema. Pasalnya, itu hanya menjadikan perempuan sebagai alat agar karakter laki-laki bisa berkembang dan mendapatkan pencerahan hidup. Sebaliknya, tokoh perempuan tetap menjadi objek satu dimensi dan tidak mengalami perkembangan apa pun. Padahal perempuan tidak seharusnya jadi sekadar pemanis untuk kisah “heroik” laki-laki.
Akibat penokohan yang dangkal ini pula, manic pixie dream girl dicap sebagai perempuan jahat dan manipulatif ketika memilih meninggalkan si laki-laki protagonis. Apa yang ada di kepala karakter perempuan tak lagi penting, karena cerita memang sengaja didesain dari sudut pandang lelaki.
Sebenarnya, tipe karakter ini sudah sering dikritik oleh feminis dan kritikus film. Namun, formula problematik serupa masih wara-wiri dalam banyak film, umumnya pada karya sinema berkarakter kulit putih, seperti Almost Famous (2000), Garden State (2004), Eternal Sunshine of The Spotless Mind (2004), The Art of Getting By (2011), dan Stargirl (2020). Formulanya sama: Lelaki dengan hidup standar dan pemurung, bertemu dengan perempuan cerita yang simsalabim, bisa menyelesaikan semua masalah tokoh lelaki. Ketika tugas menyelamatkan laki-laki rampung, manic pixie dream girl akan pergi. Kehadiran mereka bukan lagi sesuatu yang krusial.
Tidak ada yang salah menjadi perempuan eksentrik, unik, dan ceria, tetapi manic pixie dream girl dalam sinema mayoritas gagal merepresentasikan perempuan.
Baca juga: Tara Basro: Permasalahan Perempuan Tidak Pernah Usang
Seksualisasi Perempuan Melalui ‘Manic Pixie Dream Girl’
Ada beberapa ciri lain yang disematkan pada manic pixie dream girl. Biasanya mereka digambarkan sebagai perempuan penggemar konten budaya populer anti-mainstream, berpenampilan mencolok, dan misterius. Secara singkat mereka adalah perempuan yang berbeda dengan yang lainnya.
Gordon So dari Universiteit van Amsterdam menjelaskan fenomena ini dalam risetnya bertajuk Falling in Love with the Manic Pixie Dream Girl: Transformations of Masculinity in the 21st Century. Ia menyatakan, karakter tersebut muncul karena maraknya minat atas film indie pada era 1990 hingga 2000-an. Di saat bersamaan, terjadi pergeseran narasi kisah komedi romantis dari sudut pandang perempuan ke laki-laki. Manic pixie dream girl kemudian menjadi jawaban untuk dua fenomena itu.
Usut punya usut, identitas mereka yang quirky cocok dengan penggemar hipster. Selain itu, mereka juga mudah menjadi objek seksual atau “gadis impian” yang seksi untuk memenuhi keinginan audiens laki-laki, tulis So.
Serupa dengan pendapat tersebut, artikel jurnal ilmiah” Manic Pixie Dream Politics: A Focus on Postfeminist Muses” oleh Nicole Vincent dari University of Central Arkansas, juga menyatakan, manic pixie dream girl menjadi contoh mengakarnya seksualisasi perempuan dalam film. Alasannya, mereka digambarkan secara seksual lebih terbuka karena didorong oleh perannya yang berpusat pada laki-laki. Dalam skala yang lebih besar, manic pixie dream girl berdampak buruk pada perempuan di dunia nyata karena mengecilkan peran mereka menjadi sekadar aksesoris dalam sebuah cerita yang ditulis dengan male gaze.
Baca juga: Pelecehan Seksual di Industri Film dan Kenapa Perlu Lebih Banyak Pekerja Film Perempuan
Usaha Mengelus Ego Laki-laki
Fantasi manic pixie dream girl mayoritas bersifat destruktif karena dibentuk hanya dari ego laki-laki. Penulis John Green dalam novelnya Paper Towns menjelaskan, Quentin (yang dalam versi film diperankan oleh Nat Wolff) menganggap Margo Roth Spiegelman (Cara Delevingne) sebagai manic pixie dream girl yang perlu dibongkar misteri hidupnya. Namun, fantasi manic pixie dream girl patah karena Margo sebenarnya hanya perempuan kompleks yang ingin menikmati hidup.
Menanggapi manic pixie dream girl, Green mengatakan, karakter tersebut adalah bentuk nilai patriarki yang harus dihilangkan. Sayangnya, novel Green yang lain, Looking for Alaska, justru lekat dengan kriteria manic pixie dream girl yang problematik itu.
Pada 2013, The Cut menguraikan tiga masalah dalam karakter manic pixie dream girl, termasuk bagaimana karakter itu sudah usang karena terlalu sering digunakan sampai membosankan dan kerap dikritik feminis karena bermasalah. Pembuat film laki-laki juga sadar bahwa manic pixie dream girl di dunia nyata lebih kompleks dari sebatas fantasi ingin diselamatkan atau menyelamatkan perempuan eksentrik.
Baca juga: ‘The Queen’s Gambit’: Beth Harmon dan Bias Kepada Kemenangan Perempuan
Apakah Ada ‘Manic Pixie Dream Boy’?
Kehadiran manic pixie dream girl juga diiringi manic pixie dream boy dengan karakteristik yang tidak jauh berbeda. Misalnya Ferris dalam Ferris Bueller’s Day Off (1986), Augustus Waters dari The Fault in Our Stars (2014), dan Will dari Five Feet Apart (2019).
Namun, tidak seperti manic pixie dream girl yang merupakan karakter sampingan dan berkutat pada laki-laki, manic pixie dream boy adalah pemeran utama. Kalaupun jadi karakter pendamping, porsi mereka ditampilkan cukup layak, sehingga penonton bisa memahami dengan jelas. Contohnya tokoh Augustus Waters yang diam-diam sekarat dan digambarkan dengan mendalam perasaannya yang takut dilupakan.
Selain itu, menurut No Film School, sebuah media komunitas sineas global, karakteristik kekanak-kanakan manic pixie dream boy juga membuat mereka tampak dangkal dan tidak memiliki kompleksitas. Sama seperti manic pixie dream girl yang berbahaya untuk perempuan, manic pixie dream boy juga bukan karakter baik.
Meski begitu, tidak semua karakter yang memiliki kualitas eksentrik menjadi sesuatu yang buruk. Penulisan yang memberikan dimensi pada karakternya, seperti Amélie dalam film Amélie (2001), Maeve dari Sex Education (2019- ), Alyssa pada serial The End of The F-ing World (2017-2019), membuat mereka hadir tidak hanya untuk membuat karakter laki-laki berkembang. Ketiganya mempunyai peran aktif dan krusial dalam cerita secara keseluruhan, alih-alih pemanis.
Jika karakter dalam film komedi romantis tentang upaya “penyelamatan hidup” mulai berfokus pada sosok perempuan secara utuh, karakter manic pixie dream girl sebenarnya tak lagi jadi masalah.