Issues

Kronologi Meninggalnya Aktivis Transgender Peru dalam Tahanan Polisi Indonesia

Aktivis dan Mahasiswa Pascasarjana Harvard Rodrigo Ventocilla meninggal dalam tahanan polisi Indonesia. Ia dituduh membawa ganja di Bali.

Avatar
  • August 29, 2022
  • 6 min read
  • 1048 Views
Kronologi Meninggalnya Aktivis Transgender Peru dalam Tahanan Polisi Indonesia

Warga negara Peru, Rodrigo Ventocilla meninggal 11 Agustus kemarin dalam tahanan polisi Indonesia, setelah dituduh membawa ganja. Rodrigo, yang merupakan aktivis transgender dan mahasiswa pascasarjana Harvard, pergi ke Bali dalam rangka bulan madu bersama suaminya, Sebastián Marallano.

Ia ditahan setibanya di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Sabtu (6/8). Dalam keterangan yang dirilis keluarga, Selasa (24/8) kemarin, Rodrigo disebut ditangkap karena kepemilikan obat resep yang digunakannya untuk pengobatan kesehatan mental. Sebastián yang tiba lebih dulu dengan penerbangan berbeda juga ikut ditahan tanpa tuduhan, saat datang ingin membantu Rodri.

 

 

“Supaya mereka bebas, polisi beberapa kali meminta uang dengan jumlah yang terus meningkat dalam beberapa jam kemudian, dari 13 ribu dolar (Amerika Serikat) sampai 100 ribu dolar untuk masing-masing mereka,” ungkap rilis itu.

Sementara dalam keterangan polisi, yang dikutip dari Radar Bali, Rodrigo ditahan karena kepemilikian penggiling (grindermarijuana. Pernyataan serupa sempat diunggah Diversidades Trans Masculinas, organisasi pejuang hak-hak transgender yang didirikan Rodrigo 7 tahun lalu berbasis di Peru. Dalam postingan yang sudah dihapus di Instagram, mereka mencoba mengumpulkan uang yang awalnya dikira sebagai uang jaminan.

Baca juga: Islam dan WHO, Melepas Belenggu Transgender

Dalam keterangan polisi pada CNN Indonesia, polisi menyebut menemukan bubuk hijau marijuana dan dua pil dalam koper Rodrigo. Lalu, keduanya diserahkan Bea Cukai ke Direktorat Reserse Narkoba. Dalam laporan BBC Indonesia, Humas Polda Bli Satake Bayu menyebut, ada dugaan penyalahgunaan narkotika karena yang dibawa “dalam jumlah banyak”, yakni 231,6 gram. Meski di saat bersamaan, polisi mengaku telah melihat surat keterangan dokter yang mengatakan bahwa Rodrigo memiliki resep dari tenaga profesional.

“Sore itu, keduanya jadi korban kekerasan polisi. Hak vital mereka sebagai manusia dilanggar, seperti (hak) kesehatan, kebebasan, dan akses untuk dapat pembelaan hukum,” tulis keluarga dalam rilisnya.

Pada 8 Agustus, komunikasi singkat Rodrigo dan Sebastián dengan keluarga yang sempat terjadi betul-betul berakhir. “Sejak itu, keduanya tidak bisa dikontak,” tulis rilis keluarga. Pada 9 Agustus, keluarga dikabari bahwa keduanya mengalami dekompensasi serius di tahanan mereka, sehingga harus dibawa ke rumah sakit.

Dalam rilis polisi yang dikutip dari CNN, mereka disebut meminum obat yang bukan barang sitaan dan mengalami sakit perut hingga muntah-muntah. Sehingga dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara, Bali.

Sampai rilis keluarga keluar, Polisi Indonesia masih belum mengeluarkan laporan medis dari RS Bhayangkara. Pada keluarga, mereka beralasan tidak bisa melakukan tes urin dan darah karena kekurangan reagen. Selama itu pula, Rodrigo dan Sebastián tidak diizinkan menghubungi kontak darurat (emergency) mereka.

Keluarga juga mencatat, selama proses ini, kepolisian Indonesia menghambat akses pengacara yang disewa keluarga, termasuk pula kawan-kawan Rodrigo dari Harvard yang coba mendatangi untuk melakukan pendampingan. Sampai Rodrigo dipindahkan ke Rumah Sakit Sanglah, Bali, dan meninggal di sana, keluarga tak dikabari situasi dan diagnosisnya.

Baca juga: Pandemi Perburuk Krisis yang Dihadapi Transgender

Bahkan setelah Rodrigo meninggal, meski tanpa tuduhan atau tuntutan, Sebastián–yang dalam laporan BBC dinyatakan Humas Polda Bali Satake Bayu disebut tidak ditahan, melainkan pendamping—tetap ditahan polisi dan sempat tidak diberi akses untuk bertemu pengacara atau didampingi kuasa legal.

“Tidak ada yang akan mengembalikan Rodrigo kami  atau integritas Sebastián,” tulis keluarga dalam pernyataan mereka. “Namun, kami menuntut untuk dapat keadilan dan kebenaran serta perbaikan kualitas pelayanan bantuan kepada sesama warga di luar negeri, tanpa memandang kelas, gender, etnis, dan lainnya.”

Dugaan Penanganan Polisi yang Transfobia dan Diskriminatif

Penahanan Rodrigo dan Sebastián dianggap keluarga sebagai “tindakan diskriminasi rasial dan transfobia” karena dalam prosesnya hak-hak mereka dirampas. Rodrigo yang menunjukkan surat resep dokter tetap dituduh pengedar, dan dijauhkan dari hak-hak dasarnya untuk mendapatkan perlindungan hukum dan menghubungi keluarga, bahkan sampai di saat-saat terakhirnya.

Tuduhan itu dibantah polisi Indonesia. Humas Polda Bali Stefanus Satake Bayu mengatakan pada Reuters, tidak ada kekerasan dalam kasus yang sekarang telah ditutup tersebut.

Polisi tidak menanggapi tuduhan keluarga Rodrigo yang mengungkap tentang penghambatan dampingan dan akses komunikasi oleh polisi.

Hingga rilis keluarga dikeluarkan, mereka mengaku tak tahu penyebab meninggalnya Rodrigo. Penyebabnya, karena polisi menolak melakukan otopsi pada jenazah Rodrigo, yang akan dipulangkan hari ini (Senin, 29 Agustus) ke Peru.

Namun, dalam laporan BBC, Ibu Rodrigo, Anna Asuncion kepada Ian Giovanni Angelo atau Abraham Tande tertanggal 16 Agustus 2022, menyebut pihak keluarga “memohon kepada kepolisian Indonesia  untuk tidak melakukan bedah mayat (otopsi).”

Keluarga juga sempat meminta bantuan pada konsulat Peru di Indonesia, serta berulang kali mengajukan permohonan ke Kementerian Luar Negeri untuk menghubungi konsulat Peru di Indonesia. Namun, permohonan itu tidak digubris sampai keluarga menerima kabar Rodrigo meninggal.

Baca juga: Wisata Ganja: Tren Baru yang Tengah Mendunia

Didemo Warga dan Menjadi Sorotan Internasional

Belakangan, setelah kepolisian Indonesia menyatakan kasus ditutup, konsulat Peru menolak pernyataan keluarga Rodrigo. Dikutip dari BBC, mereka menepis tuduhan bahwa penangkapan Rodrigo dan Sebastián adalah tidakan diskriminasi rasial dan transfobia.

“Diketahui secara luas bahwa Indonesia memiliki kebijakan tanpa toleransi dalam hal kepemilikan narkotika dan turunannya,” jelas pemerintahan peru, seperti dilansir BBC.

Pernyataan ini kemudian diprotes aktivis dan warga Peru. “Kami menolak dan mengutuk pernyataan menteri luar negeri (Peru),” kata aktivis LGBT Luz Manriquez dalam sebuah protes di Lima, Peru. Kepada Reuters, ia menyebut pernyataan itu bias dan mengadopsi pernyataan Indonesia yang tidak melakukan investigasi lanjutan.

“Bahkan jika kamu ditahan di luar negeri, sangat unreal dan menyakitkan melihat (pemerintah Peru) meninggalkan kita seperti ini,” kata Arturo Davila, anggota Diversidades Trans Masculinas.

“Perlakuan ini tidak punya empati akrena tidak mengakui kematian seorang warga negara Peru di tangan polisi dari negara lain,” kata Manriquez menambahkan.

Tidak adanya akses ke pendamping hukum untuk Rodrigo dan Sebastián sebetulnya melanggar KUHAP dan Konvensi Vienna utk Relasi Konsuler (Vienna Convetion on Consular Relations). Pada pasal 36 VCCR disebutkan bahwa konsuler bisa mengatur penyediaan lawyer untuk warganya yang ditangkap/ditahan.

Itu sebabnya, dalam rilisnya, keluarga menuntut pemerintahan Peru mengusut dan melakukan investigasi atas tidak adanya respon dari konsulat Peru di Indonesia. Mereka juga meminta Pemerintah Peru untuk meminta Pemerintah Indonesia menyerahkan hasil investigasi atas perlakuan Polisi Bali yang menurut mereka melanggar prosedur dan aturan.

Brenda Alvarez, dilansir Reuters, mengatakan pada Jumat (26/8), bahwa Kementerian Luar Negeri Peru setuju untuk meminta maaf atas pernyataan mereka, dan melakukan investigasi. Dalam berita yang sama, Reuters menyebut Kementerian Luar Negeri sendiri belum memberi komentar lebih lanjut.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramaditha.