“Bagaimana Cara Mengatakan ‘Tidak’?” Tampilkan Perempuan di Lingkaran Kekerasan
Raisa Kamila menghidupkan pengalaman perempuan yang terkubur dalam narasi dominan maskulin dalam kumpulan cerpennya.
Berwarna biru muda dan berbentuk mungil, kumpulan cerita pendek Bagaimana Cara Mengatakan “Tidak”? karya Raisa Kamila membawa memori kolektif perempuan terhadap dunia yang kerap memperlakukan mereka dengan semena-mena.
Walaupun disampaikan dengan sederhana dan bahasa yang mudah dipahami, Raisa
menyampaikan berbagai narasi penting dalam pengalaman perempuan di Aceh, dalam situasi konflik dan kekerasan yang telah menghantui mereka selama berpuluh-puluh tahun lamanya.
Dari 10 cerpen yang ada, ada tiga yang menorehkan kesan menalam bagi saya pribadi, karena mampu menyikap tabir kekerasan terhadap perempuan.
Dalam “Mati Lampu”, Raisa membawa pembaca dalam pengalaman seorang gadis kecil bernama Yasmin, ketika Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) di bawah rezim Orde Baru pada 1990 hingga 1998. Cerpen ini mengisahkan bagaimana Yasmin dan Nuansa, saudara laki-lakinya, hidup di pusaran konflik yang memaksa keluarga mereka untuk selalu waspada setiap daerah mereka tinggali mati lampu.
“Kejadian buruk selalu terjadi pada saat mati lampu,” kata Nuansa kepada Yasmin. Namun seperti layaknya gadis kecil belum mengerti kejadian apa yang sebenarnya sedang dia alami, Yasmin justru menganggap kejadian mati lampu sebagai hal yang lucu karena dia bisa melihat bagaimana tegangnya raut muka ketakutan Nuasa. Sampai peristiwa buruk betul-betul terjadi pada Yasmin ketika mati lampu.
Baca juga: Perempuan Penulis Mencari Ruang Aman di Dunia Sastra yang Maskulin
Cerpen ini menggambarkan bagaimana ribuan perempuan menjadi janda karena suami mereka tewas dalam pusaran konflik dan agresi militer Orde Baru. Para janda ini akhirnya harus menjadi pencari nafkah utama tetapi juga tetap harus menjalankan tugas domestik mereka seorang diri.
Konflik ini pun berdampak panjang pada pemiskinan perempuan. Hal ini dikarenakan ekonomi lokal dan infrastruktur tidak hanya hancur, tetapi masyarakat juga terpaksa harus berhenti mengolah tanah mereka. Ini berakibat pada matinya jaringan perdagangan yang berdampak pada penghidupan perempuan kepala keluarga.
Kriminalisasi Tubuh Perempuan
Raisa juga menyajikan cerpen soal kriminalisasi tubuh perempuan dalam “Cerita dari Sebelah Masjid Raya”. Dikisahkan seorang gadis yang tinggal di tengah perubahan sosial Aceh. Ayah gadis ini adalah pemilik tempat pangkas rambut yang mendapat peringatan dari pelanggannya, bahwa dirinya akan menanggung dosa putrinya yang tidak mau menutup aurat.
“Rambut perempuan itu bukan saja mengandung dosa tapi juga bencana,” kata si pelanggan.
Suatu ketika saat si gadis tengah berjalan melewati deretan toko sepulang sekolah, tangannya ditarik pemilik toko sepatu yang mengatakan, baru saja ada dua orang perempuan diteriaki karena tidak memakai jilbab, dan rambut mereka dipangkas paksa sebagai hukumannya.
Apa yang terjadi pada sang gadis ini merupakan sebuah realitas di Aceh yang sampai saat ini sebenarnya masih terjadi. Pelaksanaan hukum syariat Islam di provinsi itu telah memakan banyak korban, terutama perempuan yang secara sosial budaya dilihat sebagai pemegang tanggung jawab moralitas masyarakat.
Perempuan kemudian dikonstruksikan sebagai pihak yang lebih mempunyai andil dalam mengundang perilaku menyimpang atau perbuatan dosa. Jika perempuan tidak memakai baju yang “pantas”, mereka dipandang bukan perempuan baik-baik yang menjadikan mereka wajar mengalami kekerasan seksual.
Perempuan pun akhirnya dikriminalisasi karena tubuhnya sendiri dan tidak jarang merekalah yang harus mendapatkan berbagai stigma dan juga kekerasan fisik dan psikis dari masyarakat sekitar ataupun polisi syariah jika dianggap melanggar hukum.
Kekerasan Seksual terhadap Perempuan
Cerpen ketiga yang ingin saya soroti adalah yang berjudul sama dengan buku ini. Cerpen ini menggambarkan pengalaman seorang gadis SMA yang tumbuh dengan berbagai cerita mengenai pemerkosaan, dan bagaimana ibunya memaksanya memakai celana pendek di bawah rok untuk mencegah “kesialan perempuan”.
Suatu saat temannya hamil karena diperkosa berkali-kali oleh pelatih debat bahasa inggris yang juga alumni SMA-nya. Gadis ini begitu terenyak mengapa temannya itu membiarkan laki-laki tersebut melakukannya berkali kali? Ketika sang gadis sudah menikah, dia mendapatkan sebuah kegamangan yang sama. Ia tak kuasa menolak ajakan suaminya yang ingin berhubungan seks karena takut menjadi istri yang durhaka.
Baca juga: Perempuan yang Timbul Tenggelam dalam Narasi Peralihan Rezim
Cerita ini begitu membumi karena perempuan sendiri tidak menyadari bahwa mereka telah dikuasai oleh miskonsepsi mengenai apa yang disebut dengan konsensual. Dengan menempatkan perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan yang mereka alami, karena mereka secara “sadar” memberikan konsen mereka untuk laki-laki untuk melakukan kekerasan, maka masyarakat telah melanggengkan lingkaran kekerasan terhadap perempuan.
Pada akhirnya, melalui kumpulan cerita ini, Raisa berhasil kembali menghidupkan pengalaman perempuan yang terkubur dalam narasi dominan maskulin dengan mengangkat suara perempuan di tiap cerpennya. Ia menggambarkan berbagai situasi yang dialami oleh perempuan dalam sudut yang berbeda dan juga unik dalam memandang realitas dunia yang mereka tinggali,
Raisa juga sukses menggambarkan berbagai perubahan di kehidupan perempuan yang menorehkan luka mendalam bagi mereka yang terjebak di dalamnya. Secara apik, ia membuat pembacanya berefleksi diri dan berempati pada sesama perempuan yang masih hidup di bawah bayang-bayang kekerasan dengan berbagai namanya.