Laki-laki Masa Kini: ‘Skincare’ Itu ‘Self-Care’
Meningkatnya laki-laki yang menggunakan ‘skincare’ atas kesadaran diri perlahan-lahan mematahkan stigma tentang maskulinitas dan perawatan wajah. Sejumlah ‘brand’ bahkan dengan tegas menargetkan pria, atau menyatakan netral gender.
Kategorisasi produk berbasis gender ada di mana-mana, mulai dari produk anak-anak berwarna pink atau biru, hingga produk pencukur. Di lorong produk skincare di toko serba ada, kita bisa menemukan dari sebagian besar barang yang ditawarkan beberapa disertakan label “men” pada kemasan. Ini dikarenakan perawatan kulit sampai saat ini masih diasosiasikan dengan perempuan, meskipun pada dasarnya produk-produk tanpa label tersebut bisa digunakan oleh laki-laki.
Namun pelan-pelan mulai terlihat ada perubahan. Tokoh pria di dunia hiburan Korea seperti artis KPop, misalnya, dikenal lebih terbuka dengan “skincare regime” mereka. Baru-baru ini seorang content creator yang memiliki pengikut cukup banyak melempar cuitan, “Yg cowok2, lagi pake sabun cuci muka merk apa? Enak ga dipake sekarang?”
Cuitan tersebut memicu respons banyak pria tentang perawatan wajah, mulai dari rekomendasi sabun cuci muka yang tidak berlabel “men”, hingga rutinitas perawatan wajah.
Melihat reaksi ini, apakah pria sekarang lebih memiliki pandangan terbuka dalam hal perawatan wajah? Apakah stigma bahwa laki-laki yang merawat kulit wajah kurang maskulin tidak lagi ada?
Handaru, seorang pegawai startup, mengaku dia menggunakan gentle cleanser dan sejumlah produk lainnya untuk merawat wajahnya. Awalnya di tahun 2019, ketika ia tinggal di sebuah wilayah yang cukup berdebu sehingga mengakibatkan munculnya banyak jerawat dan beruntus di kulit wajahnya. Untuk mengatasi masalah kulitnya, pria berusia 26 tahun ini meminta rekomendasi produk perawatan pada teman-temannya “Buatku skincare itu kebutuhan, lebih ke self-care,” ujarnya.
Baca Juga: Sejarah ‘Makeup’: Lelaki Juga Pakai Gincu dan Bedak
Selain sebuah pelembab wajah yang berlabel “pria” kebanyakan produk perawatan wajah yang Handaru gunakan tidak ditujukan untuk laki-laki saja. Baginya yang paling penting adalah apakah produk tersebut cocok dengan kulitnya.
Memang pada dasarnya produk perawatan kulit tidak ada kekhususan untuk gender tertentu. Namun, menurut dr. Listya Paramita, Sp.KK, yang dikutip oleh The Finery Report, kondisi kulit laki-laki lebih tebal 20 persen dibandingkan perempuan, sehingga memiliki lebih banyak minyak dan kelenjar keringat. Ini tentu bukan berarti pria tidak bisa menggunakan produk yang tidak dikhususkan bagi mereka. Menurut dr. Mita, perkara gender tidak menghalangi perawatan kulit, yang penting adalah dampaknya terhadap kondisi kesehatan kulit.
Yang tentu pasti adalah mengomunikasikan sebuah produk perawatan kulit tentu harus disesuaikan dengan target pembelinya.
Menurut Jill Bobby, pendiri brand perawatan kulit NOFILTER: “Sebenarnya yang membedakan produk untuk laki-laki dan perempuan cuma cara penyampaian marketing aja.”
Dari segi formula, ia menegaskan pada dasarnya tidak ada perbedaan signifikan, sehingga sebuah produk perawatan kulit dapat digunakan gender apa pun.
Pembedaan dalam penyampaian pesan marketing produk skincare disebabkan karena konstruksi sosial yang masih melihat perawatan kulit sebagai suatu aktivitas yang feminin. Budaya patriarkal yang termanifestasi dalam toxic masculinity menimbulkan stigma pada laki-laki yang dengan terbuka menunjukkan perhatian pada kulit wajahnya.
Bayu, seorang pekerja swasta asal Semarang, mengatakan dirinya sering diejek sebagai pria kemayu oleh koleganya ketika mereka mendapati dia melakukan perawatan wajah secara teratur. Ia tidak berusaha menampik komentar tersebut.
Baca Juga: Konsep Maskulinitas Korea Selatan yang Paradoks
“Ya nggak masalah mereka bilang apa, orang buat diri sendiri,” terangnya. “Kebersihan diri kan kita yang merawat. Toh jadi lebih pede.” Bayu menuturkan. Kebanyakan teman-temannya hanya menggunakan sabun cuci muka, pun belum tentu secara rutin, tambahnya.
Sebuah penelitian oleh Euromonitor International pada 2020 mendapati adanya peningkatan kesadaran perawatan tubuh dan wajah laki-laki usia 18-25 tahun di Indonesia. Hal ini disebabkan pandemi, membuat orang menghabiskan banyak waktu di rumah dan memunculkan tren memanjakan diri, sehingga penggunaan dan penjualan skincare meningkat. Mengutip Vogue Business, sepanjang 2022 diperkirakan terjadi pertumbuhan penjualan produk perawatan tubuh dan wajah untuk laki-laki sebanyak 2,2 persen, karena makin banyak laki-laki yang memasukkan perawatan kesehatan ke rutinitasnya.
Hans, seorang karyawan swasta, mengaku hanya menggunakan facial wash untuk merawat kulit mukanya. Namun ia mengatakan tidak ada masalah dengan pria yang merawat kulit wajah dengan lebih intens dan ini tidak terkait dengan maskulinitas mereka. “Sisi feminin dan maskulin kan ada dalam diri setiap orang, masalah kadarnya aja beda,” ujarnya.
Beberapa laki-laki yang tidak menggunakan skincare juga tidak menutup kemungkinan akan memerlukan itu. Sejak SMA, Aditya, seorang mahasiswa tingkat akhir, mengatakan hanya menggunakan es batu untuk mengurangi minyak dan jerawat di wajahnya.
Baca Juga: 4 Tips Menghindarkan Anak Laki-laki dari ‘Toxic Masculinity’
“Sampai sekarang belum merasa butuh skincare, tapi someday pasti pake juga karena udah muncul kerutan,”jelasnya. Ia mengatakan salut terhadap laki-laki yang menjalani skincare routine karena mereka mampu berkomitmen merawat wajah, mengingat banyak tahapan yang dilakukan.
Inklusivitas Lewat Iklan Skincare
Kebanyakan produk skincare saat ini memang masih menargetkan perempuan dengan menggunakan perempuan sebagai model. Namun selama beberapa tahun terakhir beberapa brand skincare lokal mulai menunjukkan inklusivitas dan intensi melawan stigma. Brand seperti seperti Avoskin, White Lab, Everwhite, dan NOFILTER, atau brand khusus laki-laki seperti MS Glow Men, Kahf, dan Norm, seolah menegaskan, skincare has no gender. Brand tersebut bahkan menunjukan inklusivitas dengan menggunakan model pria yang terlihat tidak well-groomed seperti layaknya model brand produk kecantikan dan perawatan kulit.
Jill dari NOFILTER mengatakan untuk mendobrak konstruksi sosial terhadap produk skincare, brand tersebut menyatakan “gender neutral skincare” dalam publikasinya. Brand yang berdiri sejak 2020 tersebut menggunakan laki-laki sebagai model iklan. NOFILTER memiliki 30 persen konsumen laki-laki dan banyak dari mereka mengonsultasikan kondisi kulit wajah dan tujuan yang ingin dicapai, meskipun tak sedikit yang risih apabila ketahuan merawat wajah.
“Ada yang minta supaya paketnya nggak ditulis keterangan barang, nanti digodain orang kantor,” cerita Jill. Karenanya, Jill mengaku masih perlu mengedukasi laki-laki tentang skincare, dan mendukung mereka untuk merawat diri.
“Semua orang, tanpa terbatas gender, berhak merasa percaya diri dan memiliki kulit yang sehat,” tambahnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari