Ekonomi Genosida: Saat Dunia Diuntungkan dari Genosida Palestina
Bayangkan sistem ekonomi modern yang tak lagi bergerak demi kemakmuran umat manusia, tapi justru mempercepat musnahnya bangsa. Gambaran distopik ini bukan karangan fiksi. Ia adalah inti dari laporan terbaru Francesca Albanese, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Wilayah Pendudukan Palestina, yang dipresentasikan dalam sesi ke‑59 Dewan Hak Asasi Manusia PBB akhir Juni lalu.
Dalam laporan bertajuk From Economy of Occupation to Economy of Genocide, Albanese memaparkan bagaimana ekonomi global saat ini berperan sebagai sponsor utama genosida terhadap rakyat Palestina. Ia menyodorkan fakta-fakta yang menunjukkan korporasi besar, universitas-universitas top dunia, serta negara-negara adidaya bukan hanya mendukung secara diam-diam, tapi secara aktif diuntungkan dari kekerasan kolonial ini.
Pendudukan Israel sejak 1967 memang telah lama mendapat sokongan ekonomi dari kekuatan global. Namun genosida yang terjadi belakangan ini membuat arus dukungan tersebut semakin deras dan terang-terangan. Ekonomi yang sebelumnya menopang pendudukan kini telah berevolusi menjadi ekonomi genosida. Maksudnya, sistem yang tidak hanya membiarkan kekerasan terus berlangsung, tapi justru menjadikannya ladang bisnis.
Ekonomi penghancur ini beroperasi melalui tiga mekanisme utama: Penggusuran (displacement), penggantian (replacement), dan pembiaran (enablers). Tiga proses inilah yang menopang proyek kolonial Israel dan memungkinkan genosida terus berlangsung, dengan dukungan dari setidaknya 48 pelaku korporasi yang telah diidentifikasi.
Baca Juga: Elitisida, Kematian Refaat Alareer, dan Pembunuhan Orang Penting di Palestina
Tiga Industri Besar yang Diuntungkan dalam Genosida
Salah satu contohnya adalah keterlibatan sektor ekstraksi dan properti dalam memfasilitasi pengusiran warga Palestina. Sejak masa Nakba, pengambilalihan tanah dan sumber daya dilakukan secara sistematis. Lembaga yang berwenang adalah Jewish National Fund, entitas korporat pembelian tanah yang didirikan pada 1901. Lembaga ini telah lama membantu merancang dan menjalankan penggusuran paksa atas warga Palestina, dan perannya masih sangat aktif hingga hari ini.
Namun kekuatan utama proyek ini justru terletak pada kolaborasi antara lembaga seperti JNF dengan sektor industri besar, terutama teknologi pengawasan dan industri militer. Mereka menyediakan bukan hanya dana, tapi juga perangkat dan infrastruktur untuk memastikan sistem kolonial ini tetap berfungsi. Genosida menjadi proyek yang didorong oleh teknologi dan mesin, dan industri militer menjadi tulang punggungnya.
Dalam laporannya, Albanese mencatat bagaimana jet tempur F‑35, drone canggih, dan mesin berat lainnya digunakan dalam skala masif, sebagai bagian dari program pertahanan terbesar dalam sejarah Israel. Jet tempur F-35—yang diproduksi Lockheed Martin dengan melibatkan lebih dari 1.600 produsen di delapan negara—beroperasi dalam mode pembasmian, membawa hingga 18.000 pon bom dalam satu kali misi.
Di darat dan udara, teknologi tak berawak juga menjadi alat pembunuh utama. Drone seperti hexacopters dan quadcopters, yang dikembangkan perusahaan Israel seperti Elbit Systems dan IAI, terus digunakan dalam operasi militer di Gaza dan wilayah Palestina lainnya.
Albanese mencatat bagi perusahaan-perusahaan ini, genosida bukanlah tragedi—melainkan pasar yang menguntungkan. Dari 2023 ke 2024, pengeluaran militer Israel melonjak 65 persen, mencapai angka US$46,5 miliar—salah satu yang tertinggi di dunia. Angka ini tidak hanya menunjukkan skala kekerasan yang terjadi, tapi juga bahwa kekerasan tersebut telah menjadi komoditas.
Dukungan ekonomi terhadap genosida juga datang dari raksasa teknologi global. Perusahaan seperti IBM, Microsoft, Amazon, Alphabet (induk Google), dan Palantir berperan sebagai penyedia infrastruktur pengawasan dan intelijen. Mereka membangun sistem penggunaan ganda—dual-use infrastructure—yang memungkinkan integrasi antara pengumpulan data, pengawasan massal, dan pengujian teknologi militer di tanah Palestina yang diduduki.
Proyek kolonial ini bukan cuma soal pembangunan fisik, tapi juga bisnis pengalaman. Industri pariwisata justru tumbuh subur di atas reruntuhan kampung Palestina. Platform seperti Booking.com dan Airbnb menjual kamar dan hunian di wilayah jajahan, seolah-olah yang dijual adalah pengalaman “liburan damai” di tanah yang penuh cinta dan sejarah.
IBM, misalnya, sudah beroperasi di Israel sejak 1972. Perusahaan ini melatih personel militer dan intelijen, khususnya dari Unit 8200—salah satu unit siber militer Israel—untuk berkarier di sektor teknologi dan start-up. Sejak 2019, IBM juga mengelola dan mengembangkan basis data pusat milik Otoritas Kependudukan, Imigrasi, dan Perbatasan (PIBA), yang memungkinkan pemerintah Israel mengumpulkan, menyimpan, dan menggunakan data biometrik warga Palestina. Sistem ini memperkuat pengawasan ketat dan kontrol atas pergerakan warga sipil, serta menopang struktur apartheid yang selama ini diabaikan dunia internasional.
Semua fakta ini membongkar kenyataan pahit. Bahwa genosida bukan sekadar proyek kekerasan negara, tapi juga ekosistem ekonomi global yang dijalankan lewat jaringan produksi, investasi, dan distribusi. Bagi banyak korporasi, penderitaan rakyat Palestina bukan krisis kemanusiaan, tapi peluang bisnis.
Baca Juga: Kenapa Serangan Israel ke Palestina adalah Isu Feminis
Genosida Tak Bekerja Sendiri
Ketika Israel menggusur dan mengusir warga Palestina dari tanah mereka, kekerasan itu tidak pernah bekerja sendirian. Ia dipoles, dirapikan, dan diberi legitimasi oleh beragam aktor yang menyuplai alat berat, mendirikan hotel, hingga menjual “pengalaman eksotis” menginap di tanah rampasan. Genosida tak hanya ditegakkan oleh tentara dan drone, tapi juga oleh arsitek, insinyur, investor, dan turis. Mereka semua menjadi bagian dari ekosistem kapitalisme kolonial yang menopang proyek penghancuran rakyat Palestina.
Dalam laporannya kepada Dewan HAM PBB, Albanese menyebutkan lima industri yang aktif mendukung pendudukan dan genosida: Konstruksi, bahan mentah, agrobisnis, produk jadi, dan pariwisata. Semuanya saling terkait dan diarahkan untuk satu tujuan memperkuat koloni-koloni ilegal dan memperluas penguasaan wilayah Israel atas Palestina.
Di sektor konstruksi, misalnya, ada Caterpillar—perusahaan alat berat asal Amerika Serikat—yang terlibat langsung sejak awal. Buldoser D9 miliknya, yang dimodifikasi bersama perusahaan militer seperti Israel Aerospace Industries dan Elbit Systems, digunakan dalam hampir semua operasi militer Israel sejak awal 2000-an. Inilah mesin yang menggilas tubuh aktivis Rachel Corrie hingga tewas pada 2003, dan kini masih terus menggusur rumah serta infrastruktur sipil Palestina.
Setelah Oktober 2023, alat berat Caterpillar kembali digunakan dalam penghancuran massal di Gaza, termasuk rumah sakit, masjid, dan sekolah. Perusahaan itu justru memperoleh kontrak bernilai jutaan dolar dari Israel di tengah eskalasi genosida. Selain Caterpillar, perusahaan asal Korea Selatan, HD Hyundai, juga memasok peralatan berat melalui dealer eksklusif di Israel untuk membangun koloni baru.
Hasilnya, antara November 2023 hingga Oktober 2024, Israel membangun 57 koloni dan pos baru di wilayah pendudukan. Itu semua terjadi dengan dukungan perusahaan-perusahaan internasional yang menyuplai bahan bangunan, mesin berat, serta logistik yang dibutuhkan untuk mengubah tanah rampasan menjadi properti permanen.
Proyek kolonial ini bukan cuma soal pembangunan fisik, tapi juga bisnis pengalaman. Industri pariwisata justru tumbuh subur di atas reruntuhan kampung Palestina. Platform seperti Booking.com dan Airbnb menjual kamar dan hunian di wilayah jajahan, seolah-olah yang dijual adalah pengalaman “liburan damai” di tanah yang penuh cinta dan sejarah.
Albanese mencatat, Booking.com menggandakan jumlah propertinya di Tepi Barat dari 26 pada 2018 menjadi 70 pada 2023, dan memperluas penawarannya di Yerusalem Timur setelah Oktober 2023. Airbnb tak kalah agresif. Di Tekoa, pemukiman ilegal yang dibangun di atas tanah desa Palestina Tuqu’, Airbnb mempromosikan tempat itu sebagai “komunitas hangat dan penuh kasih.” Dari hanya 139 properti di 2016, Airbnb kini mencatat lebih dari 350 properti pada 2025, menghasilkan komisi hingga 23 persen.
Baca Juga: #RuangAmanAnak: Luka Tak Terlihat Anak-anak di Jalur Gaza
Mereka yang Melakukan Pembiaran
Kolonialisme Israel tidak hanya diberi ruang oleh perusahaan-perusahaan yang aktif terlibat. Ia juga dibantu oleh aktor-aktor yang memilih diam, meski punya kapasitas besar untuk mencegahnya. Mereka adalah para enablers: Universitas top dunia, bank, lembaga amal, dana pensiun, bahkan sovereign wealth fund dari negara-negara Teluk. Dalam laporan Albanese, mereka disebut sebagai aktor yang membiarkan kekerasan berlanjut demi stabilitas bisnis dan relasi geopolitik.
Massachusetts Institute of Technology (MIT), salah satu universitas paling bergengsi di dunia, menjalin kerja sama riset dengan perusahaan teknologi Israel. Mereka ikut mengembangkan sistem pengawasan dan drone, sekaligus menyediakan talent pipeline bagi Elbit Systems dan Rafael Advanced Defense Systems—dua raksasa industri militer Israel. Di titik ini, batas antara riset akademik dan pengembangan alat perang menjadi kabur.
Bank-bank internasional seperti HSBC, Barclays, dan Citibank turut menyediakan pembiayaan untuk perusahaan seperti Caterpillar dan Heidelberg Materials. Perusahaan ini dikenal menambang sumber daya alam dari wilayah pendudukan. Lembaga keuangan ini bukan sekadar penyedia jasa, tapi bagian dari rantai pasok ekonomi penjajahan.
Dana pensiun di berbagai negara Eropa juga belum mencabut investasinya di perusahaan-perusahaan yang melanggar hak asasi manusia. Dana pensiun Belanda Stichting Pensioenfonds (ABP), misalnya, pernah menanamkan modal di Bank Leumi dan Bank Hapoalim, yang terlibat dalam pembangunan permukiman ilegal. Beberapa sovereign wealth fund dari negara Teluk juga disebut berinvestasi dalam infrastruktur teknologi Israel, termasuk sistem kontrol pergerakan warga Palestina di Tepi Barat.
Bahkan lembaga amal asal Amerika Serikat ikut terlibat dengan menyalurkan dana untuk mendukung pembangunan permukiman, dengan dalih bantuan kemanusiaan atau kegiatan keagamaan. Sementara itu, perusahaan asuransi seperti AXA diketahui memiliki portofolio investasi dalam perusahaan senjata dan bank-bank Israel yang terkait erat dengan proyek penjajahan.
Bank-bank internasional seperti HSBC, Barclays, dan Citibank turut menyediakan pembiayaan untuk perusahaan seperti Caterpillar dan Heidelberg Materials. Perusahaan ini dikenal menambang sumber daya alam dari wilayah pendudukan. Lembaga keuangan ini bukan sekadar penyedia jasa, tapi bagian dari rantai pasok ekonomi penjajahan.
Perlu Usaha Bersama
Semua ini menunjukkan genosida bukan hanya soal peluru dan bom, melainkan hasil dari sistem ekonomi global yang terorganisasi. Kapitalisme memungkinkan dan memelihara kekerasan, selama itu menguntungkan. Albanese menegaskan, penghancuran sistematis terhadap rakyat Palestina kini dijalankan oleh mesin laba, bukan hanya ideologi rasis.
Untuk itu, ia mengusulkan serangkaian langkah konkret. Negara-negara harus menerapkan sanksi ekonomi dan embargo senjata terhadap Israel. Seluruh perjanjian dagang dengan Israel perlu ditangguhkan, dan korporasi yang terlibat harus dikenai hukuman hukum internasional.
Untuk perusahaan, ia juga mendorong mekanisme reparasi dan pajak khusus—sejenis apartheid wealth tax seperti yang diterapkan di Afrika Selatan pasca-apartheid. Ia juga menegaskan perlunya ICC dan lembaga yudisial nasional guna menyelidiki dan menuntut eksekutif korporasi terkait pelanggaran internasional dan pencucian hasil kejahatan.
Tak hanya negara dan perusahaan, masyarakat sipil juga harus bergerak. Serikat pekerja, pengacara, akademisi, dan warga biasa bisa memainkan peran penting dalam mendorong kampanye boikot, divestasi, dan sanksi (BDS).
Menurut Albanese, keadilan bagi Palestina adalah ujian moral global. Jika dunia gagal menghentikan sistem ekonomi genosida hari ini, maka tidak ada jaminan bahwa sistem ini tidak akan berbalik menyerang kita semua di masa depan.
















