Issues

Larangan Kuncir Kuda di Jepang: Upaya Pendisiplinan Tubuh Perempuan

Tubuh perempuan mengalami pendisiplinan ketat lewat aturan berbusana di sekolah.

Avatar
  • March 25, 2022
  • 5 min read
  • 1242 Views
Larangan Kuncir Kuda di Jepang: Upaya Pendisiplinan Tubuh Perempuan

Sebuah peraturan berbusana di sekolah Jepang, belakangan jadi perhatian banyak orang. Sekolah-sekolah di sana membuat peraturan yang melarang siswa perempuan menguncir kuda rambut mereka.

Motoki Sugiyama, mantan guru sekolah menengah mengatakan pada Vice, larangan itu dibikin agar tidak memperlihatkan tengkuk para siswi. Sekolah merasa, tengkuk perempuan dapat meningkatkan “gairah seksual” siswa laki-laki. Hal yang menurut mereka berbahaya dan dapat mengganggu kegiatan belajar mengajar.

 

 

“Mereka khawatir anak laki-laki akan melihat anak perempuan (secara seksual), yang mirip dengan alasan di balik terciptanya aturan warna pakaian dalam putih untuk para siswa perempuan,” jelasnya pada Vice.  

Menurut survei Fukuoka Bar Association yang dilakukan pada 2020, satu dari 10 sekolah memang memiliki peraturan serupa. Sugiyama yang mengajar di prefektur Shizuoka selama 11 tahun di lima sekolah yang berbeda pun mengungkapkan semua sekolah tersebut melarang siswa perempuan menguncir ekor kuda.

Baca Juga:  Tubuhku Bukan Milikku: Perkara Ruwet Dipaksa Berjilbab

Merasa larangan ini tidak masuk akal, siswa dan orang tua menentang peraturan tersebut pada Juni 2021 lalu. Penentangan mereka memang sempat mendapatkan atensi dari pemerintah Jepang. Pemerintah menyerukan agar larangan tersebut dipertimbangkan kembali dengan merevisi peraturan dewan pendidikan prefektur.

Namun sayangnya, sebagian besar sekolah tidak menyetujui permintaan ini. Sehingga, sampai sekarang peraturan ini masih saja diberlakukan di beberapa sekolah di Jepang.

Aturan Busana yang Dibebankan pada Perempuan

Jepang sebenarnya punya sejarah panjang mengenai peraturan berbusana yang tidak masuk akal. Sebuah survei yang dilakukan Burakku Kōsoku o Nakusō Purojekuto (Project to Eliminate “Black” School Rules) pada Februari 2018 mengumpulkan data dari 2.000 responden. Mereka menemukan siswa perempuan jadi yang paling dirugikan dalam peraturan berbusana di sekolah-sekolah Jepang.

Salah satu yang paling tidak masuk akal adalah aturan warna pakaian dalam siswa perempuan yang harus putih. Lebih dari 80 persen sekolah masih menerapkan hal itu. Beberapa siswa perempuan bahkan diminta melepas pakaian dalam mereka di sekolah jika warnanya tidak berwarna putih.

Tak hanya itu, menurut seorang siswa perempuan yang diwawancarai, siswa perempuan di sekolah disuruh berbaris di lorong sekolah. Mereka kemudian disuruh membuka kancing dan membuka baju mereka sementara seorang guru datang dan memeriksa bra mereka untuk memastikan bra mereka berwarna putih pekat.

Peraturan berbusana yang menyasar khusus pada siswa perempuan ini sebenarnya bukanlah kasus unik. Hal serupa juga terjadi di berbagai belahan dunia. Dilansir dari South China Morning Post, Universitas Pertanian Hunan pada 2018 menjadi topik hangat di negaranya karena melarang mahasiswa perempuan mengenakan gaun halter, rok, atau celana pendek di bawah 50 cm jika masuk ke dalam area perpustakaan.

Tidak jelas kapan larangan berbusana itu dibikin, tetapi keputusan itu diambil setelah mahasiswa laki-laki mengeluh kepada otoritas pendidikan provinsi. Bahwasanya mahasiswa perempuan yang mengenakan pakaian seperti itu di perpustakaan telah “mengganggu” kegiatan belajar mereka.

Di Amerika sendiri, menurut Komisi Pendidikan Amerika, lebih dari separuh sekolah umum memiliki aturan berpakaian yang sering kali memisahkan sesuai gender. Dilansir dari The Atlantic beberapa staf sekolah melihat perbedaan ini perlu karena cara berpakaian perempuan dan laki-laki perlu dibedakan. Masalahnya, cara berbusana perempuan lebih banyak diatur.

Di negara bagian Arkansas, misalnya, siswa perempuan dilarang berbusana yang memperlihatkan pakaian dalam, bokong, atau payudaranya.

Baca Juga: Berjilbab atau Tidak Tetap Hadapi Stigma

Di Indonesia sendiri peraturan berbusana ini juga saya alami. Mengenyam pendidikan di sekolah swasta Islam, kami dilarang memakai rok span dan atasan yang ketat. Alasannya, agar pakaian yang kami gunakan tidak membentuk lekukan tubuh.

Hal ini dilarang dalam Islam karena dapat mengundang syahwat laki-laki. Karenanya, semua siswa perempuan diwajibkan memakai baju kurung berwarna putih dan celana abu-abu lipit yang lebar.  Dan siapa pun yang berusaha melanggar aturan ini, maka mereka harus siap dipanggil ke ruang Bimbingan Konseling (BK) atau ruang wakil kepala sekolah.

Seksisme dalam Peraturan Berbusana

Ekspektasi berbusana telah lama digunakan untuk mendisiplinkan tubuh perempuan dan meminggirkan suara mereka. Ini adalah wujud nyata dari seksisme. Asumisi bahwa laki-laki secara biologis tidak mampu mengontrol syahwatnya dilembagakan dalam regulasi. Seolah-olah laki-laki memang diprogram untuk mengobjektifikasi dan melecehkan perempuan.

Tidak heran, dalam masyarakat yang masih patriakal perempuan hanya diperlakukan sebagai objek dan dekorasi. Mereka bukanlah manusia fungsional yang terintegrasi dalam tubuh mereka yang memiliki agensi dan hak-hak yang harus dipenuhi dan dihormati.

Kata Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex (1949), objektifikasi pada tubuh perempuan terjadi karena tubuh perempuan dipandang secara bersamaan sebagai tempat dosa dan kebajikan. 

Dengan menyarankan perempuan menutupi bagian tertentu tubuhnya, aturan sekolah sebetulnya memindahkan tanggung jawab pada korban, bukan pelaku pelecehan. Akibatnya, rape culture alias budaya perkosaan terus terpelihara lewat aturan tersebut.

Baca Juga:  Larangan Berjilbab India, Bukti Tubuh Perempuan Masih Terjajah

Ketika perempuan dianggap menjadi sumber dosa dan harus bertanggung jawab untuk mencegah semua potensi kejahatan yang akan menimpa mereka, maka secara bersamaan perempuan terus diposisikan sebagai korban, target, dan penggoda. 

Lalu apa yang seharusnya dilakukan institusi pendidikan untuk perlahan mengubah pola pikir seksisme ini? Dalam wawancara The Atlantic bersama beberapa siswa perempuan, mereka bilang perlu adanya kebijakan inklusif untuk meningkatkan kesadaran atas isu ini. Siswa dan staf sekolah juga setuju bahwa sekolah harus melibatkan siswa sejak dini dalam proses pembuatan aturan itu.

Sekolah juga harus fokus mengurai seksisme dengan lebih banyak mengajarkan murid laki-laki tidak menjadi misoginis dan mengobjektifikasi tubuh perempuan.

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *