5 Buku Okky Madasari untuk Tingkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
Okky Madasary dikenal sebagai penulis yang sering mengangkat tema-tema penting yang merangsang pemikiran kritis.

Sastra bukan sekadar rangkaian kata-kata puitis yang mendayu-dayu. Bukan pula barisan kalimat atau metafora indah tanpa makna. Sastra adalah wujud perlawanan dalam bahasa. Dalam ribuan kata di dalamnya, sastra menawarkan berbagai cerita mereka yang terpinggirkan. Mereka yang suaranya dibungkam dan eksistensinya dikubur dalam-dalam oleh sistem yang memaksa semua orang untuk menjadi domba.
Sebagai penulis, Okky Madasari memahami esensi ini dengan baik. Lewat karya-karyanya, kemanusian hadir sebagai bentuk pembebasan diri. Buku-buku Okky Madasari adalah cerita fiksi sejarah yang mengangkat isu-isu sosial politik seperti ketidakadilan, diskriminasi, atau konservatisme agama. Ia percaya bahwa kekuatan cerita seperti ini dapat mengubah cara pandang dan membangun kesadaran pembaca.
“Dengan menghadirkan realitas ketidakadilan dalam sastra, saya percaya pembaca akan mendapatkan kesempatan untuk mengalami dan merasakan berbagai masalah dalam masyarakat yang kerap kita abaikan,” ujar Okky dalam wawancara dengan Magdalene pada 2020.
Kepiawaiannya meramu sastra membuatnya digemari banyak orang. Karyanya banyak didiskusikan dalam ruang-ruang akademis dan nonakademis, seperti klub buku, menjadi inspirasi dan bahan refleksi. Bagi kamu yang tertarik membaca karya-karya tersebut, berikut Magdalene hadirkan lima rekomendasi buku Okky Madasari.
Baca Juga: ‘Invisible Women’: Data Laki-laki yang Utama, Perempuan Nanti Saja
1. Entrok (2010)
Novel perdana Okky, Entrok, mengisahkan hubungan Marni dan Rahayu, ibu dan anak yang terasing karena pandangan yang berbeda. Tak disangka, titik temu dari sikap permusuhan keduanya adalah satu musuh yang sama, yaitu para penguasa dan aparat bersenjata Orde Baru. Novel ini menampilkan situasi politik di Indonesia dalam kurun 1950-1999, di mana rakyat yang berusaha melawan akan dicap sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Label yang begitu menakutkan karena bisa membuat siapa pun berakhir di penjara atau mendapat diskriminasi turun temurun dari negara dan masyarakat.

2. Maryam (2012)
Dalam Maryam, Okky menggambarkan bagaimana masyarakat religius menjadi perpanjangan tangan kekerasan negara, dalam hal ini terhadap kelompok Ahmadiyah. Maryam, karakter utama, mengalami diskriminasi sebagai seorang Ahmadi di Lombok Barat. Setelah hidup berdampingan selama bertahun-tahun, komunitas mereka tiba-tiba diusir, rumah mereka diserbu massa, dan masjid-masjid dihancurkan.
Persekusi semakin brutal setelah Majelis Ulama Indonesia menyebut Ahmadiyah sebagai aliran sesat, dan darah Ahmadi dianggap halal untuk dibunuh. Dalam situasi ini, religiositas kehilangan maknanya, padahal agama mengajarkan kita untuk berbuat baik kepada sesama. Novel ini meraih Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori fiksi pada 2012.

Baca Juga: Getir Perempuan Palestina: Ditundukkan Israel dan Bangsanya Sendiri
3. Pasung Jiwa (2013)
Apakah kehendak bebas benar-benar ada? Apakah manusia bebas benar-benar ada? Kedua pertanyaan ini menjadi inti novel Okky, Pasung Jiwa, yang berlatar masa Orde Baru hingga Reformasi. Kali ini, ia menyoroti pergulatan hidup Sasana atau Sasa, seorang transpuan yang lahir dalam keluarga berada namun merasa tidak bahagia. Hingga suatu saat, ia jatuh cinta pada dangdut dan menjadi biduan profesional, dibantu oleh seorang pria bernama Cek Jek. Namun, meski menemukan kebebasan diri, Sasa mendapati dirinya terperangkap dalam jeratan kuasa dan tradisi yang bisa mematikan jiwa. Novel ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Jerman, dan Arab.

4. 86 (2013)
Meskipun nominalnya kecil dan niatnya terlihat baik, jika uang digunakan untuk mempermulus kepentingan individu atau pihak lain, itu sudah termasuk dalam tindak korupsi. Arimbi, seorang juru ketik di kantor pengadilan, tadinya sosok yang polos dan lurus. Namun, setelah menerima imbalan berupa AC untuk membantu administrasi kasus, ia mulai mengubah sikapnya. Dengan kode “86”, alias “sudah dibereskan,” Arimbi mulai aktif meminta bagian, percaya bahwa semua orang melakukan hal yang sama.
Melalui Arimbi, Okky menggambarkan betapa mengakarnya korupsi dalam masyarakat Indonesia, bahkan di institusi yang seharusnya menegakkan keadilan. Lalu, bagaimana kita bisa terlepas dari permainan kotor ini? Itu adalah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh pembaca.

Baca Juga: ‘As Long As Lemon Trees Grow’: Trauma dan Perlawanan dalam Konflik Suriah
5. Yang Bertahan dan Binasa Perlahan (2017)
Berbeda dari karya-karya sebelumnya, Yang Bertahan dan Binasa Perlahan adalah kumpulan cerita pendek yang mengangkat isu sosial, politik, dan budaya. Melalui cerita-cerita ini, Okky merangkai narasi inti tentang pertarungan dan daya tahan manusia dalam menghadapi sistem dan norma. Beberapa melawan dan bertahan, yang lainnya bersembunyi atau perlahan binasa. Kisah-kisah ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna kehidupan dan keberadaan sebagai manusia.

Tiga cerpen yang wajib dibaca adalah Perempuan Pertama (2013), Janin (2011), dan tentunya Yang Bertahan dan Binasa Perlahan (2011-2013). Cerpen pertama mengangkat perspektif gender lewat penceritaan ulang kisah Hawa, perempuan pertama yang dianggap sebagai sumber dosa. Janin mengangkat kisah humanis seorang perempuan korban kehamilan tidak direncanakan, sementara Yang Bertahan dan Binasa Perlahan mengkritik program transmigrasi Orde Baru yang dijanjikan untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan pembangunan.
