December 6, 2025
Culture Issues Opini

Selamat untuk Luna Maya, Antitesis dari Mimpi Cinderella

Luna Maya tak butuh sepatu kaca. Setelah bertahun disudutkan, ia menulis kisah cintanya sendiri dengan bebas, berani, dan jauh dari dongeng Cinderella.

  • May 8, 2025
  • 4 min read
  • 2953 Views
Selamat untuk Luna Maya, Antitesis dari Mimpi Cinderella

Banyak perempuan Indonesia turut berbahagia melihat Luna Maya melangsungkan pernikahan pada 7 Mei 2025 dengan pasangannya, aktor Maxime Bouttier, yang berusia 10 tahun lebih muda. Rasanya lega dan hangat melihat aktris itu akhirnya menemukan “happy ending” yang pantas ia dapatkan, setelah bertahun-tahun dihujat dan dijatuhkan akibat skandal dan juga stigma sosial karena ia dianggap “terlalu tua” untuk menjalin cinta dengan berondong.

Kebahagiaan ini adalah karena ia menulis akhir bahagianya sendiri, dengan kendali penuh atas hidup dan cintanya.

Selain ketangguhannya bangkit dari skandal yang bukan kesalahannya, Luna mencerminkan sosok perempuan modern yang berhasil memerdekakan diri sendiri. Ia tidak pasif menunggu seorang pangeran penyelamat datang menjemput, melainkan berani mengambil kontrol dalam hal asmara dan hidup.

Luna adalah antitesis dari dongeng Cinderella. Ia pejuang yang keluar dari istana, mengangkat pedang, dan bertarung melawan badai dan musuh. Sebuah metamorfosis dari sosok yang diremehkan menjadi figur yang berdiri tegak atas pilihannya sendiri.

Tak heran jika banyak perempuan berdiri dan bertepuk tangan untuknya. Sebab kita sering bicara soal kesetaraan atau emansipasi, tapi perempuan masih terus dihadapkan pada norma dan stigma yang membatasi gerak dan pilihan. Dari aturan tak tertulis bahwa perempuan tak boleh mengajak kencan duluan, harus selalu minta izin pada pasangan, hingga tekanan untuk tak mengeluh tentang masalah rumah tangga.

Perempuan yang mencoba melawan arus ini sering kali merasa sendiri, tanpa ruang untuk mencurahkan keresahan. Maka ketika ada sosok publik seperti Luna yang berhasil melampaui stigma, itu bukan sekadar kabar baik, tapi juga harapan. Ia memberi validasi bahwa perempuan bisa berdiri tegak dengan harga dirinya, bahkan saat dunia terus berusaha menyudutkannya.

Baca juga: Menuntut Pertanggungjawaban Platform untuk Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual

Infantilisasi dan sindrom princess yang mengerdilkan perempuan

Kisah Luna Maya juga menarik dilihat dalam konteks dua fenomena sosial: infantilisasi dan sindrom princess, yang masih banyak ditemui dalam budaya kita. Infantilisasi merujuk pada kecenderungan memperlakukan seseorang, terutama perempuan, seolah-olah seperti anak kecil yang tidak mampu mengambil keputusan sendiri dan butuh dilindungi secara berlebihan.

Ini sering dimulai sejak kecil, dengan baby talk dan perlakuan overprotektif, dan berlanjut saat dewasa dalam bentuk relasi yang tidak setara. Dalam hubungan asmara, infantilisasi kerap terjadi ketika perempuan dimanja secara berlebihan atas nama cinta, hingga lama-lama merasa tidak mampu membuat keputusan sendiri dan kehilangan jati diri.

Sedangkan sindrom princess mengacu pada pola pikir yang menganggap perempuan harus diperlakukan istimewa, bergantung pada pasangan, dan tidak perlu mandiri karena akan selalu ada orang lain yang menyelamatkan.

Pola pikir ini sering kali terbentuk dari norma sosial yang menempatkan perempuan pada posisi pasif dan bergantung. Tanpa disadari, sebagian perempuan mungkin merasa cukup dengan mengandalkan penampilan fisik atau perhatian orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Namun, pola ini bisa membatasi ruang gerak dan menghambat potensi diri, terutama dalam membangun keberdayaan secara mandiri.

Kedua pola pikir ini, yang tampak tidak berbahaya, sebenarnya adalah bentuk pengerdilan terhadap nilai, potensi, dan jati diri perempuan. Ketergantungan yang ditanamkan sejak dini membuat perempuan tidak percaya bahwa mereka bisa menjadi tokoh utama dalam hidup mereka sendiri.

Sudah saatnya kita memperbarui narasi perempuan. Bukan lagi tentang putri yang pasif menunggu pangeran, tapi tentang perempuan yang mandiri, kuat, dan berani menentukan arah hidupnya.

Baca juga: Kasus Video Porno Mirip Gisel dan Sanksi Sosial untuk Perempuan

Pernikahan bukan tujuan akhir

Pernikahan Luna Maya memang layak dirayakan, bukan karena ia “akhirnya menikah”, tapi karena ia memilih pernikahan yang setara, dengan pasangan yang menghargainya, terlepas dari usia atau norma sosial.

Pernikahan bukanlah tujuan akhir atau bukti sah kebahagiaan perempuan. Ia bukan trofi dalam perlombaan hidup. Yang penting adalah bagaimana perempuan punya kuasa atas keputusan-keputusan dalam hidupnya, termasuk mencintai, menikah, atau tidak menikah sama sekali.

Terima kasih kepada Luna Maya karena telah memberikan contoh nyata bahwa akhir bahagia tidak harus seperti di dongeng. Tapi bisa jadi jauh lebih membebaskan, karena ditulis dengan tangan sendiri.

Baca juga: Suzzanna, Ratu Horor Sekaligus Ikon Feminis dan ‘Queer’

Selamat berbahagia dalam pernikahan yang setara, Luna. Dan bagi perempuan lainnya: akhir bahagia tak harus datang dalam gaun atau kebaya putih. Kadang, ia datang saat kita memilih diri sendiri.

About Author

Riyani Indriyati

Riyani adalah pendiri dari Dahuni foundation, seorang mentor yang punya jiwa “restless” terutama jika menyangkut masalah perempuan dan pendidikan.