Apa Bedanya ‘Mendadak Dangdut’ 2025 dan Pendahulunya?
Anya Geraldine menggantikan Titi Kamal. Mau tidak mau, sulit rasanya untuk tak membandingkan dua film berjudul sama ini. Siapa yang lebih seru, siapa yang lebih ikonik.

Jangan terkecoh. Mendadak Dangdut versi 2025, yang muncul 19 tahun setelah versi originalnya rilis 2006 lalu, memang ditulis orang yang sama: Monty Tiwa. Ia bahkan juga duduk di kursi nakhoda sebagai sutradara. Tapi, versi teranyar ini bukan remake, dan tidak bisa disebut sekuel pula. Ia tidak mengulang cerita lama dengan wajah baru, atau mengikuti karakter yang sama dari film sebelumnya. Hanya premis ceritanya yang sama.
Keduanya mengambil latar di Citayam, pinggiran Jakarta yang dalam dua dekade terakhir mengalami transformasi sosial dan budaya. Namun, pendekatan naratif dan tematik yang diambil masing-masing film mencerminkan zeitgeist dari era produksinya.
Film pertama dibuat Rudi dengan sentuhan realisme film-filmnya dari era awal itu: Kamera goyang, komposisi gambar yang terkesan “mengintip,” dan fokus pada relasi emosional antarkarakter. Sementara versi terbaru tampil lebih ringan, terang, dan sangat sadar diri terformat dalam formula komedi yang populer belakangan ini. Ia memilih tampil lucu terlebih dahulu, baru mencoba menyelipkan emosi setelahnya—sebuah formula yang tidak sepenuhnya berhasil.
Baca juga: Suzzanna, Ratu Horor Sekaligus Ikon Feminis dan ‘Queer’
Premis serupa masih digunakan oleh film versi 2025: Seorang penyanyi pop yang terseret kesalahpahaman dalam kasus kriminal, melarikan diri, dan bersembunyi di perkampungan sebagai penyanyi dangdut. Karakter Rizal (diperankan lagi oleh Dwi Sasono) menjadi penanda bahwa ini memang semesta yang sama, walau ceritanya tak lagi berfokus pada hubungan kakak-beradik yang intens seperti Patricia alis Petris (Titi Kamal) dan Yulia (Kinaryosih) dalam versi lama. Kali ini, semesta 2025 dipandu Naya (Anya Geraldine) dan adiknya Lola (Aisha Nurra Datau).
Perbedaan Fokus yang Kurang Menggigit
Mereka memang motor cerita, tetapi kehadiran sang ayah (Joshua Pandelaki) yang kembali setelah ditinggal istri mudanya dan mengidap Alzheimer, menggeser dinamika dari sisterhood ke arah konflik keluarga yang lebih generik. Naya dan Lola, alih-alih menjadi pasangan saudari yang saling menopang atau menantang, hanya terasa seperti remahan emosi dalam cerita yang lebih sibuk melucu.
Gaya penceritaan yang ensemble, di mana karakter-karakter pendukung diberi porsi signifikan, memang menjadi salah satu pembeda utama. Keanu Angelo sebagai Wawan tampil mencolok sebagai comic relief khas film Indonesia belakangan ini: Ceplas-ceplos, improvisatif, dan penuh energi.
Ada satu adegan, saat ia dibiarkan merepet panjang, hingga Anya keluar dari karakternya dan terlihat gagal menahan tawa—sesuatu yang disengaja oleh film dan cukup berhasil memancing tawa penonton. Tapi ketika punchline komedi lebih diingat ketimbang perkembangan karakter atau konflik utama, ini jadi tanda tanya: Apa sebenarnya yang ingin disampaikan film ini?
Kesan tak utuh juga muncul dari set-up cerita yang terbelah antara dunia panggung musik pop yang dibuka di sepertiga awal, dan dunia orkes dangdut kampung yang menjadi latar utama di sisa film. Transisi ini terasa tak mulus, seperti dua film berbeda yang dipaksa dijahit jadi satu.
Baca juga: Betulkah Gen Z Akan Membunuh Sinema?
Membandingkan dua aktris utama di dua versi film ini juga membuka ruang refleksi menarik. Baik Titi Kamal maupun Anya Geraldine sama-sama terlihat canggung saat berjoget dangdut, dan itu justru selaras dengan premisnya: Mereka jadi penyanyi dangdut karena terjebak.
Kekakuan mereka bukan masalah, yang jadi soal justru kredibilitas mereka sebagai penyanyi pop terkenal. Baik Titi maupun Anya tak cukup memiliki kharisma atau sikap panggung yang membuat kita percaya bahwa mereka adalah pop star yang dielu-elukan. Ketika fondasi yang begitu integral dengan karakterisasi mereka ini saja sudah goyah, akan sulit bagi penonton melihat keduanya sebagai karakter yang meyakinkan.
Isu Ageism di Biduan Dangdut yang Lewat Begitu Saja
Versi terbaru juga menyentuh isu menarik tentang ageism dalam industri musik dangdut. Melalui subplot penyanyi janda beranak satu yang tersingkir karena digantikan oleh Naya di sebuah festival dangdut besar, film ini menyinggung bagaimana industri mengeksploitasi kemudaan dan daya tarik fisik perempuan. Sayangnya, wacana ini hanya muncul sekilas dan tidak benar-benar dikembangkan menjadi kritik yang menggigit. Ia hanya menjadi pernak-pernik narasi, bukan denyut utama yang bisa membuat film ini relevan secara sosial.
Nama panggung Naya sebagai penyanyi dangdut, Yaya Aduduh, seolah menyimpulkan arah film ini: Lucu-lucuan yang genit dan menyenangkan, tapi tak cukup berkarakter untuk dianggap serius.
Sebagai entertainment piece, Mendadak Dangdut versi baru berhasil lewat momen-momen komedik yang berdiri sendiri. Tapi secara keseluruhan, ia tak mampu menghidupkan kembali kisah yang dulu dipenuhi adrenalin pelarian dan drama keluarga yang menyentuh. Tidak ada ketegangan yang menggigit, tidak ada ikatan emosional yang membuat kita bertahan.
Saya tidak melihat urgensi mengemas film ini sebagai bagian dari warisan Mendadak Dangdut. Daripada memaksakan statusnya sebagai legacy sequel, mungkin lebih baik film ini berdiri saja sebagai komedi baru dan selesai di situ.
