Makin Populernya ‘Generational Trauma’ dan Rekomendasi 4 Film buat Kamu
Tema trauma generasi atau ‘generational trauma’ makin populer, terutama setelah Disney dan Pixar menggarap tema ini setahun terakhir.
Film kartun bertemakan keluarga? Sudah biasa! Bahkan ketika tokoh utamanya adalah putri-putrian, Disney dan Pixar—sebagai rumah produksi animasi raksasa di dunia—selalu menyelipkan drama keluarga dalam cerita-cerita mereka.
Anak-anak zaman perang dan setelah Perang Dunia II, biasa melihat hubungan ibu tiri dan anak sambungnya yang penuh kekerasan karena Putri Salju (Snow White and Seven Dwarfs, 1937) dan Cinderella (1950). Mereka juga terbiasa dengan konsep putri-putrian yang berbedan lampu pasir dan berkulit putih karena tumbuh bersama semua Princesses of Disney.
Lewat Frozen (2013), Maleficent (2014), Cinderella (2015), Beauty and The Beast (2017), termasuk The Little Mermaid versi live action yang akan tayang 2023 nanti, Disney sepertinya sedang dalam usaha mengubah citra film-film mereka lebih positif, lebih memberdayakan, dan tidak problematik. Film-film ini dirakit dengan karakter-karakter utama yang lebih tiga dimensional, masuk akal, dan versi lebih baik dari adaptasinya.
Sekarang, lewat Encanto, Luca, Raya and the Last Dragon, dan Turning Red, ada tema baru yang gamblang disampaikan Disney dan Pixar, yaitu trauma generasi (generational trauma).
Istilah ini bukan cuma tema karang-karangan, tapi diakui riset saintifik. Keluarga bukan cuma bisa meninggalkan harta, warisan, utang, masalah, dan luka, tapi juga trauma. Dalam psikologi, trauma generasi adalah trauma psikologis yang bisa disebabkan banyak faktor, di antaranya kekerasan, perang, kehilangan besar, bencana alam, bahkan opresi sosial dan politik. Trauma ini bisa memengaruhi cari keluarga berinteraksi dengan satu sama lainnya—yang jika tidak dibicarakan atau dibahas untuk waktu yang lama dapat berimplikasi pada generasi berikutnya.
Menurut National Library of Medicine, istilah trauma generasi pertama kali dibuka dari studi tentang efek trauma trangenerasi pada kerturunan korban Holocaust. Dalam studi itu, mereka tidak cuma punya pengalaman traumatis pada kejadian genosida yang dilakukan Hitler dan Jerman, tapi juga menciptakan pertahanan diri khas yang dikembangkan oleh generasi kedua.
Film-film bertema trauma biasanya mengangkat hal ini dari generasi paling muda—mereka yang bertanya-tanya tentang rahasia keluarga, atau alasan di balik tradisi keluarga yang berbeda dari keluarga kebanyakan teman-teman mereka. Keluarga dari kelompok minoritas atau yang termarjinalkan (kelompok imigran, korban peperangan, minoritas gender) biasanya jadi tokoh utama.
Meski cenderung disambut baik, karena dianggap berhasil mengangkat hal kompleks yang selama ini jarang dibahas media arus utama, genre ini mulai disorot dan dikritisi.
Salah satunya tentang plot yang cenderung sering menyederhanakan proses healing atau pemulihan dari trauma generasi. Erik Wieboldt dari University of California menulis, film-film tentang trauma generasi ini biasanya menyerdehanakan penyelesaian demi menjadi katarsis. Hal ini dilakukan agar penonton bisa mendapat perasaan damai dan penutup yang jelas atas konflik yang disajikan.
Seringnya, masalah trauma generasi di dunia nyata lebih kompleks dari yang ditampilkan film dengan durasi 2-3 jam. Namun, bukan berarti film-film ini tidak akan membekas atau bikin kamu nangis kejer setelah menontonnya. Pesan-pesan untuk lebih terbuka pada pergulatan generasi lebih tua dan kebimbangan generasi lebih muda bisa jadi diskusi pembuka untuk membicarakan isu trauma generasi ini.
Berikut, film-film bertema trauma generasi dan plus-minus yang dibawanya.
Baca juga: Kita Tak Bisa Bahagia Selamanya tapi Keluarga Bisa Membantu
1. Coco (2017)
Mustahil untuk tidak menangis saat menonton Coco. Setidaknya saya begitu, dan masih menangis setelah menontonnya tiga kali. Plot film produksi Pixar ini berhasil menunjukkan seberapa sakit sebuah proses menyembuhkan trauma bisa terjadi. Ia dipandu Miguel (Anthony Gonzales) yang bingung kenapa keluarganya melarang musik—sesuatu yang sangat dicintainya. Pertanyaan itu membawa Miguel jauh ke masa lalu, bahkan sampai ke tak sengaja terjebak di akhirat, the Land of the Dead.
Perjalanan itu yang lantas mengupas lagi duka bergenerasi yang terpatri di keluarga besar Miguel. Kita akan melihat Miguel bertemu lagi dengan kakek buyutnya, yang jadi sumber luka keluarga mereka dan perlahan menemukan jawaban sekaligus obat atas luka itu.
Coco sendiri meminjam banyak kultur Mexico sebagai batang utama ceritanya. Selain memakai karakter-karakter dan latar tempatnya, Coco juga menggunakan the Day of the Dead (Dia de los Muertos)–hari raya orang Mexico sebagai plot penggerak. Film ini bahkan juga menjadikan trauma warga Mexico pada sistem border control Amerika Serikat sebagai plot device. Sistem border itu dijadikan inspirasi untuk menciptakan dunia orang setelah mati yang menggunakan kasta-kasta, sehingga kakek buyut Miguel tak bisa hidup tenang bahkan setelah meninggal.
Bila tak melihat jeli, kita mungkin akan berpikir kalau keluarga mereka hidup bahagia selamanya di ujung cerita. Sayangnya, sistem yang bikin Hector—kakek buyut Miguel—menderita sebelum belum cicitnya dan Coco, sekaligus sistem opresi yang menyebabkan trauma generasi pada orang-orang Meksiko di dunia nyata, masih tegak berdiri di ending yang sama. Sebagai salah satu film animasi anak-anak yan mencoba membawa tema trauma generasi ke penontonnya, Coco memang bukan contoh baik. Namun, bukan berarti kamu tidak bisa menontonnya untuk melihat-lihat cara Pixar mengeksploitasi tema ini.
Baca juga: ‘Ngeri-ngeri Sedap’ dan Film Batak yang Berusaha Lepas dari Jakartasentris
2. Rekomendasi Film Generational Trauma Genre Horor: Umma (2022)
Umma bercerita tentang imigran dari Korea Selatan bernama Amanda (Sandra Oh), dan traumanya pada listrik. Ia hidup bersama anak semata wayangnya Chris (Fivel Stewart), yang dididik mandiri untuk tinggal bersamanya di rumah di daerah rural di Amerika Serikat. Amanda menghidupi keluarganya dengan berjualan madu. Satu-satunya kontak dengan dunia luar yang dijalaninya adalah dengan Danny (Dermot Mulroney), pedagang di kota terdekat yang menerima stok madu Amanda.
Hidup mereka berjalan lancar, sampai abu mendiang Ibu Amanda—yang ternyata pelaku kekerasan rumah tangga—tiba di rumah mereka. Di saat bersamaan, Amanda harus berhadapan dengan horor lain, yakni gelojak darah muda Chris yang ingin meninggalkan rumah dan kuliah di kota lain.
Trauma masa kecil Amanda berusaha dikupas Umma juga berusaha dikawinkan dengan trauma perang Korea yang membelah negeri tersebut. Namun, alih-alih memberi tontonan segar, plot trauma generasi dijadikan tempelan yang bikin film in ketebak belaka.
Semua alat atau pola yang ada dalam film-film bertema trauma generasi hadir di film ini. Seperti karakter dari kelompok imigran, cara menghadapi luka yang tidak baik, dan ending yang menyederhanakan penyelesaian trauma karakter utamanya dengan “memaafkan”. Umma mungkin bisa masuk dalam daftar selanjutnya tontonanmu, jika butuh horor yang tidak bikin berpikir keras atau gerasak-gerusuk di tempat duduk.
3. Encanto (2021) dan Turning Red (2022)
Dua film dengan tema trauma generasi yang mungkin paling sering disebut dan dianggap berhasil adalah Encanto dan Turning Red produksi Disney dan Pixar.
Sama seperti Coco, Encanto juga banyak meminjam cerita perjuangan para refugee untuk mencari tanah yang aman. Trauma itu tinggal di sosok Abuela, matriarkh yang berhasil membangun komunitasnya dengan prinsip-prinsip tegas bikinannya dari luka jadi pelarian. Trauma itu dikupas pelan-pelan bersama luka yang ditempelkan Abuela pada Mirabel Madrigal (Stephanie Beatriz), si protagonis utama.
Seperti Coco pula, kehadiran Encanto disambut meriah. Ia dianggap jadi representasi baik film yang menggambarkan keberagaman Kolombia dan kultur Amerika Latin. Namun, representasi dalam film sering kali semu dan tidak menunjukkan kedalaman masalah sebenarnya di dunia nyata. Sehingga kritik pada Disney yang suka meminjam struggle kelompok rentan untuk dikomodifikasi perusahaan mereka ke seluruh dunia, tanpa memberi efek positif pada kelompok yang diaprosiasi makin sering muncul. Termasuk pada timeline Encanto yang belakangan dikritik.
Sementara Turning Red, juga mendapat kemeriahan serupa. Ia dianggap merepresentasikan kehidupan orang Asia-Kanada yang masih minim hadir di media arus utama, terlebih lagi berhasil menampilkan cara humanis menangani masalah trauma generasi tanpa mengantagonisasi pihak mana pun.
Ceritanya dibuka dengan Melin (Rosalie Chang), remaja Asia-Canada yang tiba-tiba berubah jadi panda merah tiap kali merasa emosinya ingin meledak. Di saat bersamaan, ia harus mengurai hubungannya dengan sang ibu, Ming Lee (Sandra Oh). Panda merah sendiri adalah metafora menstruasi pada anak perempuan yang dijahit ke dalam plot trauma generasi yang dipendam Ming Lee.
Berbeda dari Coco dan Encanto, Turning Red justru disambut antusias komunitas Asia-Canada yang struggle-nya dipinjam. Penyebab utamanya, karena selain trauma generasi, Turning Red dianggap berhasil mengawinkan dua konflik besar lain, yakni hubungan ibu dan anak perempuannya, serta kultur fangirling yang selama ini dipotret buruk di media.
Baca juga: Janji Surga Lewat Poligami dalam ‘Keep Sweet: Pray and Obey’
4. BONUS: Everything Everywhere All at Once (2022)
Rekomendasi film generational trauma terakhir ini adalah yang paling komprehensif sekaligus yang paling segar konsepnya. Film keluaran A24 ini mengemas isu trauma generasi lewat plot multisemesta dan keluarga Evelyn (Michelle Yeoh).
Secara plot, tak banyak yang bisa diceritakan—karena lebih baik ditonton sendiri. Intinya, Evelyn—seorang ibu, pengusaha binatu, imigran Asia-Amerika, istri yang ingin dicerai suaminya, anak perempuan semata wayang, sekaligus varian paling medioker di antara Evelyn lain di semua semesta yang ada—sedang berusaha menerima fakta bahwa ia adalah penyelamat multisemesta dari kiamat “Bagel”.
Di saat yang sama, ia harus menghadapi kemarahan putri semata wayangnya, Joy, yang tengah berusaha dapat perhatian sang ibu.
Baca Juga: Istilah Strawberry Generation, Generasi Kreatif tetapi Rapuh
Seperti Turning Red, Everything Everywhere All at Once juga ikut men-tackle isu hubungan ibu dan anak perempuannya yang bikin banyak penonton merasa relatable. Presentasi narasi non-linear dan editing yang menghiraukan hukum fisika Newtonian—logika yang banyak dipakai film-film pada umumnya—bikin pergulatan Evelyn dan musuknya, Jobu Tupaki, jadi tontonan segar. Tontonan yang bukan bikin kamu berpikir-malas berpikir-menangis-tertawa-keheranan-merasa beruntung-dan merasa tidak beruntung di saat yang sama. Bingung? Coba tonton sendiri.