Maskapai Penerbangan Indonesia Juara Terburuk, Kapan Mau Berbenah?
Peristiwa yang terjadi pada Kaesang dan Ari Lasso sekali lagi mengingatkan kita tentang buruknya pelayanan maskapai penerbangan Indonesia.
Setelah Ari Lasso ditinggal Batik Air dari Singapura ke Cengkareng pada Oktober lalu, giliran Kaesang Pangarep mengalami kejadian serupa. Akhir pekan lalu, Batik Air salah mengirimkan tujuan koper Kaesang. Seharusnya itu dikirim dari Singapura menuju Surabaya, tapi justru nyangkut di Kualanamu, Sumatra Utara. Peristiwa itu disampaikan Kaesang lewat akun Twitternya.
Berdasarkan keterangan tertulis kepada Kompas.com, Corporate Communications Strategic of Lion Air Group, Danang Mandala Prihantoro mengaku masih menyelidiki penyebab nyasarnya koper Kaesang.
“Batik Air saat ini masih melakukan proses investigasi di internal mengenai ketidaksesuaian memasukkan bagasi pada pesawat udara yang dioperasikan sesuai nomor penerbangan dan kota tujuan (missload),” kata Danang.
Koper tersebut akhirnya tiba di alamat Kaesang pada (14/11). Magdalene telah menghubungi Danang untuk penjelasan lebih lanjut mengenai kejadian dan pelayanan Batik Air. Namun, sampai artikel ini ditulis, belum ada tanggapan yang diberikan.
Terlepas dari peristiwa yang dialami Kaesang maupun Ari Lasso, ini bukan kali pertama terjadi. Jika menarik lebih jauh, akan terlihat sederet pelayanan buruk dalam maskapai penerbangan Indonesia.
Misalnya kerusakan dan pencurian bagasi, sulitnya refund tiket, penumpukan penumpang, kecelakaan penerbangan, dan keterlambatan penerbangan yang sering terjadi. Kondisi ini didukung oleh jumlah aduan yang diterima Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada 2020.
Secara keseluruhan, masalah refund adalah komplain paling banyak, sebesar 62,5 persen. Pasalnya, dibutuhkan waktu berbulan-bulan sampai penumpang menerima uang mereka–dengan perkiraan lima sampai enam bulan. Di samping itu, YLKI juga menerima keluhan terkait informasi keberangkatan, reschedule, dan penumpukan penumpang.
Keluhan itu pernah dialami oleh Chika, pekerja swasta berdomisili di Jakarta. Pada 2017, penerbangannya dari Cengkareng menuju Belitung, mengalami keterlambatan selama enam jam.
“Waktu itu aku naik Garuda Indonesia. Harusnya terbang jam 10 pagi, terus delay ke jam 12 siang. Namun, enggak ada pengumuman lagi buat terbang, ternyata delay lagi sampai jam 4 sore,” ceritanya.
Perempuan 25 tahun itu mengaku terbiasa dengan keterlambatan maskapai penerbangan di Indonesia. Namun, Chika enggak menyangka saat itu Garuda Indonesia terlambat sampai enam jam. Menurut Chika, biasanya hanya 30 sampai 60 menit.
Selain Garuda Indonesia, pesawat yang ditumpangi Chika juga pernah delay hampir sembilan jam. Saat itu ia naik Sriwijaya Air dengan tujuan penerbangan yang sama, Belitung. Kali ini Chika menerima air mineral dan roti–termasuk makanan ringan–sebagai kompensasi. Lebih dari itu, penumpang masih harus menunggu satu jam setelah naik ke pesawat. Chika mengatakan, ada masalah operasional yang membuat penerbangan kembali ditunda.
Berdasarkan laporan yang sama dari YLKI, Air Asia menerima komplain dari penumpang sebanyak 6,25 persen. Disusul Garuda Indonesia, Citilink, dan Sriwijaya Air sejumlah 12,5 persen. Sementara Lion Air sejumlah 18,7 persen.
Data itu sekaligus menunjukkan, perlunya perbaikan dalam sistem pelayanan maskapai penerbangan di Indonesia. Sebab, penumpang berhak atas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan sepanjang penerbangan. Kenyataannya, maskapai masih mengesampingkan aspek tersebut. Kompensasi yang diberikan pun acap tak sebanding dengan kesalahan yang terjadi.
Dari pengalaman Chika, ia menerima makanan berat 30 menit sebelum penerbangan. Padahal, tanggung jawab maskapai terhadap hak penumpang diatur dalam undang-undang.
Merujuk pada Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 89 Tahun 2015, keterlambatan lebih dari 240 menit–seperti dialami Chika–seharusnya menerima kompensasi lebih dari makanan dan minuman. Yakni ganti rugi sebesar Rp300 ribu.
Ganti rugi yang diterima Chika termasuk dalam keterlambatan kategori tiga, untuk keterlambatan 121 menit sampai dengan 180 menit. Bahkan, dalam peraturan itu tertulis, penumpang bisa dialihkan ke penerbangan berikutnya–atau mengembalikan seluruh biaya tiket. Yang diberikan justru tidak sesuai dengan yang tertulis dalam peraturan.
Dengan kata lain, maskapai penerbangan perlu memperhatikan hak penumpang. Situasi ini menegaskan, pelayanan maskapai penerbangan yang masih buruk dan perlu diperbaiki.
Baca Juga: ‘No Comment’: Bagaimana Merespons Tragedi Publik dengan Bertanggung Jawab
Alasan Pelayanan Maskapai Penerbangan Masih Buruk
Perlu diketahui, maskapai penerbangan di Indonesia dibagi menjadi tiga kategori kelas pelayanan; Full Service Carrier (FSC), Medium Service, dan no frills atau Low Cost Carrier (LCC). Ketiga kategori tersebut dibedakan berdasarkan pelayanannya.
Garuda Indonesia, misalnya. Sebagai maskapai FSC, tiket yang dibeli sudah termasuk makanan berat, minuman, dan snack. Selain itu juga tersedia fasilitas hiburan berupa televisi, koran, atau majalah–disebut in-flight entertainment.
Kemudian, maskapai medium service seperti Sriwijaya Air menyediakan snack dan minuman tanpa biaya tambahan. Sementara di LCC, maskapai tidak diwajibkan memberikan makanan dan minuman maupun in-flight entertainment. Penumpang bisa mendapatkan makanan dan minuman, dengan dikenakan biaya tambahan.
Mirisnya, maskapai LCC dikenal kurang profesional atau bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan. Ibaratnya, mau berharap apa dari harga tiket yang terjangkau?
Situasi ini mengingatkan saya dengan pernyataan Founder Lion Air Group Indonesia, Rusdi Kirana. “Maskapai saya paling buruk di dunia, tetapi Anda tidak punya pilihan,” ujarnya pada 2015 silam.
Berkaca dari statement Rusdi, sebenarnya harga tiket yang lebih terjangkau bukan alasan memberikan pelayanan buruk bagi penumpang. Ini termasuk keterlambatan penerbangan, kesalahan pengiriman dan kerusakan barang, atau meninggalkan penumpang seperti dialami Ari Lasso.
Hal itu disepakati pengamat penerbangan Arista Atmadjati. Ia menekankan, maskapai tetap harus bertanggung jawab dalam mengatasi penyebab permasalahan. Masalahnya, Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi faktor utama dalam pelayanan maskapai. Salah satunya staf yang bekerja di bandara, dan bertugas membantu penumpang check in serta mengurus bagasi.
“Banyak pekerja di bandara itu dari outsourcing. Kita nggak bisa menuntut terlalu sempurna,” jelas Arista.
Outsourcing direkrut sebagai pegawai kontrak. Mereka bekerja di bawah maskapai, dengan penghasilan Upah Minimum Regional (UMR). Kurangnya kesejahteraan itu mengurangi tanggung jawab mereka dalam bekerja.
Begitu pula dengan pelatihan atau kursus yang sesekali dilaksanakan. Kelas itu membutuhkan biaya pendidikan, diambil dari biaya tiket penerbangan. Dikarenakan harga tiket penerbangan cukup rendah, maskapai tidak dapat memberikan pelatihan yang layak.
Sementara perihal keterlambatan, Arista mengatakan sejumlah penumpang telah mengajukan komplain terhadap maskapai, terutama LCC. Bahkan, ada yang menggugat ke pengadilan–seperti dilakukan hakim I Gusti Agung Bagus Komang Wijaya Adhi pada 2013.
Saat itu, pesawat yang ditumpangi hakim Komang dari Denpasar delay selama dua jam. Membuatnya terlambat menghadiri seminar di Jakarta.
Sayangnya, laporan-laporan tersebut kalah di pengadilan. Arista menyebutkan, salah satunya disebabkan oleh latar belakang pemilik modal maskapai penerbangan yang begitu kuat. Tidak seberapa dengan para penumpang.
Pada akhirnya, penumpang menormalisasi keterlambatan. “Orang Indonesia tidak begitu mempermasalahkan ketepatan waktu, terutama jika memilih maskapai LCC. Penumpang baru concern kalau pesawatnya jatuh,” ucap Arista.
Karena itu, perkara jam terbang tidak mengurangi minat penumpang untuk naik pesawat tersebut. Lantas, bagaimana maskapai penerbangan dapat memperbaiki pelayanannya?
Baca Juga: Pramugari di Tengah Pandemi: Kerentanan Kerja Meningkat
Pelayanan yang Dikotakkan
Kelas pelayanan maskapai penerbangan yang dibagi berdasarkan tiga kategori, diatur dalam Permenhub No. 185 Tahun 2015. Dalam peraturan itu, tertulis maskapai LCC dapat menyediakan makanan dan minuman dengan biaya tambahan.
Arista melihat peraturan tersebut sebaiknya tidak perlu dikotakkan secara legalitas, sehingga perlu ditinjau kembali. Sebab, maskapai LCC bisa menggunakan peraturan itu sebagai “perlindungan” untuk tidak memberikan pelayanan yang baik. Dalam hal ini adalah makanan dan minuman ketika delay, yang seharusnya menjadi hak penumpang.
Terlepas dari yang tercantum dalam peraturan, Arista menambahkan perlunya komitmen dari pemegang saham bagi maskapai penerbangan di luar Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pasalnya, mereka yang mampu memperbaiki sistem untuk meningkatkan pelayanan terhadap penumpang. Dengan catatan perlu disertakan dengan komitmen.
“Yang punya saham di maskapai swasta itu orang-orang kuat. Jadi urusan layanan pelanggan kembali ke pemegang saham internal, tinggal komitmennya mau bagaimana?” tegas Arista.
Masalah komitmen itu serupa dengan yang diucapkan Rusdi pada 2015. Dengan harga tiket paling terjangkau, ia tahu penumpang akan tetap memilih maskapainya–meskipun pelayanannya perlu ditingkatkan lebih jauh.
Kondisi ini seolah memosisikan penumpang untuk menerima konsekuensi atas fasilitas secukupnya yang mampu dibeli. Namun, tidak seharusnya mereka mengesampingkan hak sebagai penumpang, yang layak mendapatkan keamanan dan kenyamanan.
Baca Juga: Komplain Layanan Restoran di Media Sosial Boleh Saja, Tapi…
Bagaimana Jika Kita Tak Se-femes Kaesang untuk Direspons Cepat
Kenyataannya, tidak semua penumpang maskapai penerbangan memiliki kekuatan latar belakang, seperti Kaesang atau Ari Lasso. Mereka merupakan figur publik, yang mudah mendapatkan sorotan ketika menyampaikan suatu peristiwa. Hal serupa belum tentu terjadi pada masyarakat umum.
Sebagai penumpang yang berulang kali mengalami keterlambatan penerbangan, Chika menuturkan kekecewaannya sebagai penumpang. Terlebih, pesawat terbang adalah transportasi utama yang bisa mengantarnya pulang ke Belitung, dengan waktu tempuh singkat.
Kendati demikian, Chika mengaku enggan melaporkan kerugiannya ke maskapai penerbangan. “Pasti cuma dianggap angin lalu,” katanya.
Menanggapi perkara privilese penumpang berdasarkan latar belakangnya, Arista mengatakan, penumpang justru bisa memanfaatkan media sosial. Tanpa perlu melaporkan pada kepolisian. Ia menilai, platform tersebut adalah sarana yang tepat untuk melaporkan malpraktik maskapai penerbangan.
“Tulis aja nama maskapai, nomor penerbangannya, keberangkatan dan tujuan, lalu sertakan foto tiket,” terang Arista. Menurutnya, asalkan datanya komplet, komplain akan didengarkan dan laporannya mudah diproses.
Ini terbukti pada sejumlah laporan yang direspons. Contohnya akun Twitter dengan handle @erna_st kepada Citilink beberapa hari lalu. Ia melaporkan perubahan gate saat check in, tujuh menit setelah boarding seharusnya dilakukan. Kemudian, Citilink meminta menginformasikan kode booking lewat direct message untuk membantu proses pengecekan.
Respons tersebut menunjukkan, media sosial cukup efektif untuk melaporkan aduan. Pun enggak melulu perlu viral, agar kasusnya dapat diusut. Tampaknya perkara viral jadi opsi “teguran keras” pada maskapai penerbangan, untuk segera memperbaiki pelayanannya. Mungkin nantinya akan terlihat di sejumlah maskapai–salah satunya Batik Air, setelah perkara nyasarnya koper Kaesang belakangan ini. Apakah ada peningkatan pelayanan, atau justru terulang di kalangan masyarakat umum?