Aku Membeli Maka Aku Ada: Sejauh Mana ‘Influencer’ Bikin Kita Ketagihan Belanja?
'Influencer culture’ tak cuma mendorong konsumsi berlebihan dan meningkatkan limbah, tetapi juga dimanfaatkan oleh perusahaan besar untuk meraup keuntungan.

Chika, 22, selalu mengecek ulasan influencer sebelum membeli pakaian dan produk kecantikan. Biasanya, pekerja swasta asal Tangerang ini melihat konten review jujur dari pemakaian influencer. Tujuannya agar tahu kualitas produk secara detail, berikut kelebihan dan kekurangannya.
Chika mengaku punya influencer andalan untuk setiap produk. Urusan produk kecantikan, ia percaya pada Sarah Ayu dan Tasya Farasya. Soalnya, sejak awal bikin konten, kedua influencer tersebut menekankan bahwa produk-produk yang diulas dan direkomendasikan sudah dicoba. Sementara untuk fashion influencer, Chika merujuk sosok Ashley Michelle karena punya jenama pakaian dan suka memadukan busana.
Setidaknya 70 persen belanja Chika dilakukan berdasarkan ulasan influencer di atas. Namun, meski kebanyakan barang yang direkomendasikan cocok, bukan berarti selalu memenuhi ekspektasinya.
“Aku pernah beli baju, ternyata kualitasnya enggak bagus. (Bahannya) tipis banget, enggak stretchy. Jadinya enggak kupakai,” tutur Chika.
Pengalaman itu membuat Chika lebih selektif dalam membeli barang yang direkomendasikan influencer. Namun, bukan berarti Chika akan mengurangi konsumsinya. Setiap bulan, setidaknya ia belanja produk kecantikan atau pakaian sebanyak lima sampai sepuluh kali. Untuk membatasi pembelian ini, Chika pun membuat anggaran khusus.
“Kira-kira aku budgetin setengah gajiku (buat beli pakaian dan produk kecantikan),” ungkap Chika. “Soalnya aku enggak pernah merasa cukup (untuk beli barang), selalu ada yang dipengen. Sementara uangnya terbatas.”
Baca Juga: Para ‘Influencer’ Berlaku Buruk, Mengapa Orang Masih Memujinya?
Influencer Culture Bikin Kita Ketagihan Belanja
Enggak cuma Chika, Aldo, 26, juga mengandalkan ulasan influencer sebelum membeli barang—baik gadget maupun skincare. “Biasanya aku pengen barangnya dulu, baru cari review,” kata Aldo. “Kalau review-nya bagus, aku beli.”
Ada beberapa aspek yang ia perhatikan dalam ulasan tersebut, seperti durasi dan hasil pemakaian untuk skincare, serta penjelasan detail soal prosesor untuk gadget. Kedua aspek ini yang ia lihat dalam ulasan-ulasan Suhay Salim, Tasya Farasya, dan Gadgetin.
“Barang yang mereka rekomendasikan bagus. Enggak kehitung berapa kali (beli barang berdasarkan rekomendasi mereka),” ucap Aldo.
Kebiasaan Chika dan Aldo berbelanja ini sebenarnya mencerminkan perilaku konsumtif, yang didorong oleh kapitalisme: Perusahaan-perusahaan besar yang terus memproduksi dan menjual barang secara berlebihan. Didukung oleh peran influencer dan algoritme di media sosial, yang terus menawarkan sesuatu yang baru kepada audiens.
Kondisi ini sekaligus menjelaskan bagaimana influencer, dengan banyaknya jumlah pengikut di media sosial, berperan sebagai trendsetter, memengaruhi opini, dan menjadi acuan netizen dalam keputusan pembelian—atau disebut influencer culture. Para influencer memiliki kekuatan tersebut karena kepercayaan netizen, yang menilai kredibilitas mereka. Misalnya produk diulas berdasarkan pemakaian pribadi, serta menyebutkan kelebihan dan kekurangannya.
Bagi Citra Zara, influencer kecantikan dengan jumlah pengikut 84 ribu di TikTok, kredibilitas itulah yang berusaha dibangun lewat pemilihan produk dan memberikan rekomendasi. Kepada Magdalene, Citra bilang, menyesuaikan produk berdasarkan identitasnya sebagai influencer—baik produk endorse maupun pembelian pribadi. Contohnya warna lipstik sesuai yang disuka, atau skincare yang cocok pada kulitnya setelah pemakaian beberapa minggu.
Enggak jarang, brand meminta Citra merekayasa konten sebelum dan sesudah pemakaian produk. Namun, ia memilih membatalkan kerja sama.
“Soalnya prinsipku kalau review harus jujur. Apalagi bakal disampaikan ke publik,” ujar Citra.
Selain merasa bertanggung jawab atas produk yang dibagikan, dalam membuat konten, Citra juga berusaha menyelaraskan pekerjaannya dengan hal yang ia sukai: Sharing dengan orang lain. Perjalanannya sebagai influencer berawal dari kecintaannya terhadap makeup.
Baca Juga: Matinya Kepakaran: Kenapa Ilmuwan Kalah Pamor dari Influencer?
Karenanya, Citra senang jika kontennya berdampak positif bagi para followers. Misalnya membeli dan cocok dengan produk yang direkomendasikan, atau sesederhana memberikan komentar positif.
Keberadaan Citra cuma satu dari besarnya ekosistem influencer di dunia. HypeAuditor, platform audit Influencer berbasis data dalam laporan mereka 2024 lalu menguraikan nilai pasar influencer marketing global diproyeksi mencapai US$22 miliar pada 2025. Hal ini didorong tingginya penggunaan jasa influencer dalam kegiatan pemasaran, termasuk di dalamnya adalah peralihan budget ke iklan digital.
Dalam temuannya, Indonesia menjadi negara ke-4 di dunia dengan persentase jumlah konten influencer disponsori dan kemungkinan disponsori sebesar 4,37 persen setelah Amerika, Brasil, dan India. HypeAuditor juga menemukan, 87 persen pengguna mengaku tergerak untuk mengambil tindakan lebih lanjut seperti mengunjungi toko ritel dan membeli sesuatu baik secara daring atau luring setelah menemukan informasi produk dalam unggahan influencer di Instagram.
Hal yang sama juga ditemukan dalam survei komprehensif yang melibatkan lebih dari 2.000 responden oleh Vero dan YouGov. Dalam survei yang terbit pada 2024 itu ditemukan, 94 persen responden mengatakan influencer Indonesia telah memberikan pengaruh dalam membentuk pola perilaku dan keputusan pembelian mereka.
Ini kemudian menjelaskan, bagaimana influencer mendorong peningkatan konsumsi netizen—seperti disampaikan oleh akademisi asal Swedia, Cecilia Hagerborn, Isabella Ivarsson, dan Samuel Lindo dalam risetnya pada 2024.
Mereka mengungkapkan, influencer culture sekaligus mendorong perbandingan dalam diri netizen—secara spesifik Generasi Z—yang terpapar konten influencer, hingga menyebabkan overconsumption atau konsumsi berlebihan. Sebab, netizen ingin terus membeli barang baru demi memuaskan gaya hidup.
Selain konsumsi produk, besarnya pengaruh influencer di Indonesia juga berpengaruh pada cara masyarakat mengonsumsi media. Media konvensional seperti majalah, surat kabar, radio, dan TV bukan lagi jadi sumber informasi utama. Ini kemudian berdampak pada model bisnis yang berubah. Cempaka Asriani, kreator konten mindful consumption dan eks praktisi media fesyen mengungkapkan tren di dunia fesyen satu hingga dua dekade lalu hanya ada dua kali dalam setahun.
“Karena itu memang musim koleksi di fashion itu Spring Summer dan Fall Winter. Jadi kita tuh punya reportase tren itu tuh ya setahun dua kali aja. Yang memang bertugas meliput juga yang diundang ke fashion show, para fashion editor dari majalah-majalah atau media-media tradisional seluruh dunia,” jelas Cempaka pada Magdalene, di Podcast Rame.
Sekitar 2012-2013 lalu muncul fashion blogger. Ini yang kata Cempaka merupakan cikal bakal dari para influencer sekarang. Namun ada perbedaan signifikan di antara keduanya. Dibandingkan influencer, fashion blogger memiliki audiens yang lebih tersegmentasi dengan pengikut yang tidak sebanyak para influencer sekarang. Cempaka juga bilang masih ada prinsip-prinsip jurnalistik dalam konten unggahan fashion blogger.
Mereka tidak sekadar membagikan foto atau ide tentang pakaian, tetapi juga memberikan konteks yang lebih luas kepada audiens mereka. Mereka bisa melakukan riset, wawancara, atau memaparkan analisis tren mendalam, yang memperkaya pemahaman pembaca. Saat influencer hadir, perubahan besar terjadi. Influencer yang mungkin tidak mempunyai latar belakang sama sekali soal fesyen bisa diundang di fashion show. Jika enggak diundang sekali pun, brand-brand fesyen berbondong memberikan penawaran kerjasama kepada mereka.
“Brand-brand itu banyak yang bikin live IG show-nya mereka dan siapa pun bisa membuat reportase akan itu. Udah eggak ada lagi demokratisasi berita. Jadinya demokratisasi informasi sebenarnya karena semuanya bisa punya akses,” tutur Cempaka.
Namun, meski akses menjadi lebih terbuka, keberagaman sumber informasi yang datang dari influencer sering kali menimbulkan pertanyaan serius mengenai akuntabilitas. Tanpa ada check and balance yang diterapkan dalam prinsip-prinsip jurnalistik, influencer culture berdampak pada kemunculan tren-tren baru yang sangat cepat dan sering kali tidak berkelanjutan, sehingga semakin mendorong perilaku konsumtif para pengguna media sosial.
Ini persis terjadi pada Chika. Ia tidak pernah merasa cukup. Selalu ada saja hal yang ingin dia beli dari ulasan para influencer yang ia ikuti.
“Tiap bulan pasti check out beauty products sama apparels. Termasuk sering (belanja sesuai ulasan influencer). Dari 10 kali purchase, 7 dari 10 itu rekomendasi mereka. Aku pernah enggak kepikiran beli tapi pas lihat muncul, kayak casing, jadi aku beli,” ceritanya.
Baca Juga: Cerita Sedih Tim Kreatif ‘Content Creator’ yang Rentan Dieksploitasi
De-Influencing sebagai Upaya Cegah Konsumsi Berlebih
Influencer culture memainkan peran signifikan dalam mendorong overkonsumsi, yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Melalui promosi produk yang konstan dan gaya hidup konsumtif, influencer mendorong audiens untuk terus membeli barang-barang baru, seringkali tanpa mempertimbangkan kebutuhan nyata. Hal ini berkontribusi pada peningkatan produksi barang-barang yang cepat usang dan berakhir di tempat pembuangan sampah, menambah beban sampah global.
Film dokumenter “Buy Now! The Shopping Conspiracy” (2024), salah satunya memberikan kritik keras pada kultur ini. Dengan mendatangkan pakar pemasaran Dr. Mara Einstein, dijelaskan bahwa teknik perusahaan-perusahaan besar yang labanya kini juga bergantung pada influencer sering kali mengeksploitasi kerentanan konsumen. Keduanya saling bekerja sama dalam mendorong pengguna media sosial untuk membeli barang yang tidak mereka butuhkan, yang pada akhirnya berakhir menjadi limbah tak terurai bahkan berbahaya.
Salah satu temuan utama film ini adalah lebih dari 15 juta pakaian bekas dibuang setiap minggu di Ghana. Ini menunjukkan volume limbah tekstil yang luar biasa besar. Selain itu, sekitar 13 juta ponsel dibuang setiap hari di seluruh dunia, menambah beban sampah elektronik global.
Namun limbah bekas pembelian cuma satu-satunya hal yang jadi masalah. Direktur Program Trend Asia Ashov Birry menjelaskan, proses produksi konsumsi saat ini mayoritas menggunakan model linear. Model ini diibaratkan Ashov sebagai garis lurus yang seakan tidak memiliki hubungan di antara keduanya. Ini mengapa dalam model produksi konsumsi macam ini, hulu hingga hilir tidak dipertimbangkan dengan seksama.
“Dari ekstraksi—tekstil atau skincare terutama yang enggak organik, kan melibatkan proses ekstraksi yang eksploitatif dan destruktif. Lalu dalam transformasi bentuk, manufacturing, ada sisa residu yang dibuang ke lingkungan. Saat manufacturing berubah menjadi cepat maka ini akan menghasilkan limbah yang bertentangan dengan daya tampung lingkungan,” jelas Ashov.
Model linear ini, tambah Ashov, tidak terlepas dari permintaan besar pada barang-barang konsumen bergerak cepat (Fast-moving consumer goods atau FMCG). Semua lekat dengan pengaruh kuat kultur influencer. Di Indonesia sektor FMCG memang jadi salah satu penyumbang sampah terbanyak di Indonesia. Hal ini disebabkan sebagian besar produk FMCG menggunakan plastik sebagai kemasan produk.
Pada 2022, Zero Waste Indonesia bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional melakukan brand audit. Dalam audit ini, ditemukan 201 kilogram sampah di mana 79,7 persen di antaranya merupakan sampah plastik sekali pakai dan 9,2 persen sampah plastik daur ulang. Selain itu juga ditemukan sejumlah produk dari perusahaan raksasa FMCG Indonesia menyumbangkan ribuan polutan sampah.
Terkait hal ini, kultur tandingan menjadi sangat penting, seperti yang disampaikan oleh Ashov. Ia menjelaskan kita memerlukan individu yang mampu menyadarkan publik tentang pola konsumsi tidak rasional serta dampak buruknya. Jika sulit menghubungkannya langsung dengan dampak lingkungan, proses penyadaran ini bisa dilakukan dengan pendekatan ekonomi.
“Karena keinginan mengonsumsi barang-barang yang nggak dibutuhkan kan butuh sumber pendanaan. Jadi, ini bisa dibahas dalam konteks kebutuhan dasar yang seharusnya kita prioritaskan, seperti pendidikan, rumah, dan kebutuhan lainnya. Overconsumption ini kan butuh didanai, makanya sektor keuangan hadir dengan berbagai solusi keuangan,” jelasnya.
Beruntung, kultur tandingan ini tidak perlu dimulai dari nol. Sudah ada tren de-influencing yang semakin masif digaungkan di tengah kuatnya kultur influencer. De-influencing adalah tren media sosial yang mengajak pengguna untuk sadar tidak membeli produk yang berlebihan atau tidak diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu, de-influencing juga mendorong konsumsi yang berkelanjutan.
Salah satu praktisi de-influencing adalah Cempaka. Melalui Instagram pribadinya, ia mengampanyekan mindful consumption dan minimalisme. Alih-alih membeli baju baru setiap bulan atau gawai baru setiap tahun, Cempaka mengajak orang untuk lebih memilih memperbaiki barang yang rusak. Dalam hal fesyen, ia tajam mengkritik industri dan pola konsumsi fast fashion, sambil mendorong orang untuk menjadi outfit repeater, dengan cara memadupadankan pakaian yang sudah ada.
“Jadi, intinya lebih konten yang pro terhadap apa yang kita punya, instead of beli yang baru,” ujar Cempaka.
