Gender & Sexuality

Memahami Lingkar Kekerasan dalam Hidup Laki-laki: Adu Bacok Sampai ‘Self-Harm’

Imaji masyarakat tentang betapa jagoannya laki-laki, ternyata berakibat buruk bagi semua orang. Termasuk laki-laki itu sendiri.

Avatar
  • June 7, 2022
  • 5 min read
  • 1270 Views
Memahami Lingkar Kekerasan dalam Hidup Laki-laki: Adu Bacok Sampai ‘Self-Harm’

Mungkin sejenak dapat aku lupakan
Dengan minuman keras yang saat ini kugenggam
Atau menggoreskan kaca di lenganku
Apa pun kan kulakukan, kuingin lupakan

Bait di atas merupakan petikan lirik pada lagu Diary Depresiku milik grup band Last Child. Lagu tersebut rilis pada tahun 2007, tapi liriknya masih bisa melukiskan sedikitnya kepedihan yang dirasakan oleh para penyintas kekerasan. 

 

 

Tak terkecuali bayangan tentang laki-laki, lengkap dengan tato dan tindiknya. Ia sempoyongan menenteng botol anggur merah dengan lengan yang terparut. Beragam cacian, seperti anak nakal, orang jahat, enggak bermoral, dan kurang iman, dituduhkan kepadanya.

Kehidupan laki-laki memang tidak bisa dilepaskan dari maskulinitas sebagai seperangkat nilai dan sifat yang mendefinisikan laki-laki seperti aktif, agresif, dan dominan. Maskulinitas identik dengan karakter yang kuat dan tangguh, bahkan menjadi sesuatu yang wajar bila membiasakan kekerasan. Imaji masyarakat tentang laki-laki itu jagoan tentu berakibat buruk bagi semua orang, termasuk laki-laki itu sendiri. 

Baca Juga: Kurang Merasa Jantan? Jangan Salahkan Perempuan

Laki-laki dituntut untuk selalu gagah, tegas, dan dingin, segala perasaan harus dipendam tidak boleh ekspresif. Kecuali bahasa kemarahan apalagi diikuti oleh aksi penyerangan dan perusakan.

Maka jangan heran, dalam keseharian lumrah ditemui budaya-budaya kekerasan di lingkar kehidupan kelompok laki-laki. Ada perundungan, perkelahian, tawuran, hingga bacok-membacok. Laki-laki harus menindas laki-laki lainnya untuk menunjukkan kedigdayaannya.

Kompetisi menjadi kata kunci dalam kehidupannya. Laki-laki bertemu dengan sesamanya untuk saling pamer jumlah mantan, ukuran panjang penis, jabatan di pekerjaan, atau sekadar level gim di hp-nya. Laki-laki juga harus menahan kesakitan pada dirinya sendiri dari mulai sayatan benda tajam hingga berani mengambil risiko sekalipun itu kematian. Dirinya tidak boleh cengeng, tidak boleh bilang tidak bisa.

Di hadapan perempuan, laki-laki harus tetap arogan. Jangan sampai perempuan yang memimpin dirinya. Laki-laki yang ideal didefinisikan punya pendirian, yang dalam praktiknya harus egois. Jantan itu mengusik perempuan, di trotoar maupun di warung. 

Dalam mengerjakan apapun harus bersama dengan tindakan yang melecehkan, minimal catcalling atau bercanda seksis. Laki-laki harus bisa menaklukan perempuan. Apalagi pada gender lainnya, harus bisa menyingkir dan hilang. 

Michael Kaufman mengenalkan istilah triad of men’s violence atau tiga serangkai kekerasan pada laki-laki untuk menjelaskan fenomena di atas. Kekerasan tersebut meliputi kekerasan laki-laki terhadap perempuan, kekerasan laki-laki terhadap laki-laki, dan kekerasan laki-laki terhadap dirinya sendiri. Ketiganya dapat dipahami sebagai hierarki. Pertama, laki-laki yang berada di puncak yakni laki-laki yang bisa melawan laki-laki lainnya. Setelah itu, laki-laki yang bisa melawan perempuan. Terakhir, laki-laki yang melakukan kekerasan pada dirinya sendiri.

Baca Juga: Melawan ‘Toxic Masculinity’ di Kantor, Laki-laki Harus Dilibatkan

Ilustrasi mengenai hierarki tersebut misalnya, terjadi pada laki-laki pegawai yang ditekan oleh bos laki-lakinya di kantornya. Dalam pandangan budaya kekerasan, ia seharusnya bisa melawan bosnya tersebut, setidaknya mampu beradu argumen yang anti kritik. Namun, bagi laki-laki yang berada pada lapis kedua, kekerasan justru dilimpahkan kepada istri atau pacar perempuannya.

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) atau Kekerasan dalam Pacaran (KDP) mungkin terjadi seperti ini yang berarti bukan sebagai peristiwa tunggal semata. Jika seorang laki-laki tidak bisa melakukan kekerasan pada dua bentuk sebelumnya, maka sangat mungkin laki-laki tersebut harus melukai dirinya sendiri. Bisa berupa mencabuti rambut atau memukul-mukul kepalan tangannya pada tembok.

Konsep yang digagas oleh Kaufman tersebut dapat digunakan untuk mengurai lebih dalam akar kekerasan berbasis gender, khususnya kekerasan terhadap perempuan.

Ternyata ada semacam lingkaran setan yang menjerat kehidupan laki-laki. Lingkaran tersebut merupakan skema relasi kuasa yang saling terhubung. Laki-laki harus selalu mengalahkan orang lain, baik dari kelompoknya maupun bukan, termasuk dirinya sendiri.

Dalam paradigma ini pelaku kekerasan tidak bisa diposisikan sebagai sepenuhnya ‘orang jahat’. Semua pelaku adalah korban juga dari budaya maskulinitas beracun. Dengan begitu pelaku kekerasan tidak boleh dimusnahkan, misalnya dengan dihukum mati. Pelaku seharusnya diberi ruang untuk belajar yang menuju ke arah perubahan. Hukuman yang berkaitan dengan tragedi kekerasan berbasis gender bukan ajang saling berbalas dendam, tapi hukum yang bisa memulihkan korban.

Kasus laki-laki yang melukai dirinya sendiri perlu mendapatkan perhatian juga. Ada status pelaku dan korban dalam waktu bersamaan pada diri yang sama. Keberpihakan pada kemanusiaan bukan seenaknya menghakimi orang terkait dengan nasihat-nasihat yang malah membuatnya makin terpuruk. Laki-laki yang berada pada posisi ini adalah bukti kejamnya budaya kekerasan yang begitu kuat mengakar sampai ada pada diri seorang laki-laki. 

Baca Juga: Mengenal Islam Pelangi: Teologi yang Rangkul Keberagaman Gender dan Seksualitas

Ada perasaan inferioritas dan kegagalan menjadi laki-laki karena sifatnya yang mungkin tidak bisa memenuhi ekspektasi masyarakat. Ilusi maskulinitas beracun juga menyangkali kelemahan dan kerapuhan identitas kelaki-lakiannya.

Tiga serangkai kekerasan pada laki-laki juga melihat tragedy kekerasan sebagai fenomena yang holistik. Beragam pendekatan  keilmuan bisa berlaku bagi setiap bentuk kekerasan, dari sosiologis yang melihat aspek komunal manusia hingga psikologis yang menganalisis akar kekerasan pada ruang-ruang kejiwaan manusia. Tentu konsep Kaufman ini bisa menjembatani beragam kesulitan yang mungkin hanya tampak di permukaan dan sebaliknya mampu melihat dampak privat-psikologis ke ruang publik yang lebih luas.  

Sebagai upaya menghadirkan kehidupan yang lebih setara dan damai, hal yang perlu diperbaiki bukanlah meniadakan maskulinitas tapi mengubahnya. Khususnya budaya maskulinitas beracun yang melegitimasi kekerasan kepada semua orang, menjadi maskulinitas yang berani tampil untuk membela orang-orang yang rentan.

Upaya ini juga bukan berarti laki-laki harus mengurangi apalagi menghilangkan sisi maskulinnya. Maskulinitas yang baik harus bisa menghargai sesamanya, baik perempuan, laki-laki maupun gender yang lain.

 

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Arfi Pandu Dinata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *