Di tengah budaya serba cepat yang menuntut produktivitas dan fokus pada kepentingan pribadi, meluangkan waktu untuk kegiatan sosial kerap dianggap mewah atau tidak relevan. Padahal, tidak semua ruang hidup bisa direspons dengan kecepatan. Di Bandung, sekelompok relawan memilih untuk “melambat” dan hadir melalui cara sederhana: membacakan buku bagi para lansia di panti wreda, mengembalikan suara manusia ke ruang yang kerap sunyi.
Program ini bernama memBACAkan BUKU, yang digagas oleh Indra Wardhana, pendiri Dr. Long Book Free Library—sebuah perpustakaan independen yang dikelola secara pribadi. Berawal dari pengamatan bahwa buku-buku yang disumbangkan ke panti sering tidak optimal dimanfaatkan karena keterbatasan penglihatan lansia, Indra tergerak mengajak relawan untuk membacakan buku secara langsung.
“Para sepuh pun berhak bahagia,” ujar Indra, 53. “Kebahagiaan membaca sering lebih terasa saat dibagikan.”
Baca juga: Membacakan Buku untuk Anak: Praktik Sederhana, Dampak Luar Biasa

Relawan yang bergabung dalam program ini datang dari berbagai latar usia. Mereka bukan sekadar membaca teks, tetapi menghidupkan cerita dengan ekspresi, empati, dan gaya mendongeng. Rama M. Wiratara, 21, misalnya, membacakan potongan kisah dari Max Havelaar dengan cara yang mudah dicerna.
“Saya memilih cerita pendek agar para nenek bisa mengikuti alurnya. Saat mereka bisa menanggapi cerita, rasanya sangat menyentuh,” ujarnya.

Fitri Ramdani memilih cerita pendek “Kue Coklat Buatan Mama,” kisah yang baginya terasa personal karena mengingatkan pada mendiang neneknya. “Rasanya seperti pulang ke rumah,” ujarnya.
Respons para penghuni panti pun beragam—ada yang tersenyum, ada yang tertidur, tapi banyak yang mendengarkan dengan khidmat. “Saya ingin memeluk semua nenek di sana,” kata Fitri, 24, dengan mata berkaca-kaca.
Sementara Elsa Renalia, 27, membawa bacaan dari Chicken Soup for the Soul, cerita ringan tapi menyentuh. Ia mengaku pengalaman ini membantunya mengatasi rasa canggung berinteraksi dengan orang yang jauh lebih tua. “Ternyata bercerita bisa membuka ruang kedekatan yang selama ini sulit saya temukan,” ujarnya.
Siti Nuzulia Astiti Purwanto, 27, membacakan kisah Ramayana, cerita yang akrab bagi banyak orang tua. Ia terkesan pada Nenek Indri—almarhumah penghuni panti—yang selalu menanggapi cerita dengan mengaitkan pada pengalaman hidupnya. “Saya belajar bahwa mendengarkan adalah cara terbaik untuk memahami mereka,” kata Siti.
Baca juga: Buku Asli Tak Terbeli Bajakan Diminati, Apa Solusinya?
Lebih dari sekadar membaca
Kegiatan membacakan buku ini bukan sekadar bentuk hiburan. Banyak lansia kehilangan kemampuan membaca mandiri karena penurunan fungsi penglihatan atau daya konsentrasi. Tapi mereka tetap bisa menikmati cerita—dan itulah yang dihadirkan program ini. Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (2020) menunjukkan bahwa terapi mendongeng dapat menurunkan tingkat depresi pada lansia, meningkatkan keterbukaan, dan menumbuhkan rasa positif terhadap hidup.
Indra mengatakan bahwa tujuannya tidak muluk-muluk. “Kalau ada satu nenek tertawa, suasana bisa berubah seketika. Kehangatan itu menular,” katanya. Dan yang menarik, para lansia tak hanya diam mendengar—mereka merespons, bertanya balik, atau berbagi cerita pribadi. Momen itu menjadikan program ini sebagai ruang dialog dua arah, bukan sekadar pembacaan pasif.
Dampaknya terasa pula pada para relawan. Fitri mengaku lebih bersyukur setelah terlibat. Elsa mulai berani membangun relasi antargenerasi. Siti melihat lansia bukan lagi sebagai kelompok ‘jauh’, tapi sebagai individu dengan cerita dan emosi yang dekat.
Menurut Indra, program semacam ini seharusnya bisa didukung lebih luas. “Literasi jangan berhenti di angka statistik. Harus ada praktik yang menumbuhkan empati,” ujarnya.
Berdasarkan data Perpusnas RI tahun 2024, Indeks Aktivitas Literasi Membaca Indonesia masih berada di angka 59,57 dari skala 100—belum ideal. Program seperti memBACAkan BUKU menjadi contoh nyata bahwa literasi bisa menjangkau kelompok marginal dengan cara yang sederhana dan efektif.
Baca juga: Jadi Lansia di Indonesia, Boleh Kerja tapi Syarat dan Ketentuan Berlaku
Yang paling menyentuh dari kegiatan ini adalah kesadaran baru yang muncul pada para relawan: bahwa membaca bukan hanya soal memahami isi buku, tapi juga memahami manusia lain. Di ruang sederhana itu, para relawan tidak hanya menjadi penyampai cerita, tapi juga pendengar yang hadir sepenuh hati.
Fitri menutup refleksinya dengan kalimat, “Kalau ada kesempatan, saya pasti kembali ke sini. Untuk bercerita, dan memeluk tubuh hangat mereka.” Elsa menambahkan, “Sharing is caring.” Dan Siti menyimpulkan, “Kita bisa berbagi apa pun—bukan hanya materi, tapi juga cerita dan kebahagiaan.”
Barangkali inilah bentuk literasi yang perlu kita perjuangkan hari ini: bukan hanya membaca untuk produktivitas, tapi membaca untuk hadir, untuk terhubung, dan untuk menjadi manusia yang lebih utuh bagi sesamanya.
















