July 14, 2025
Issues Politics & Society

Jadi Lansia di Indonesia, Boleh Kerja tapi Syarat dan Ketentuan Berlaku 

Dunia kerja hari ini tak cukup memberi ruang buat lansia. Namun, ada sejumlah pelaku usaha yang memilih jalan berbeda.

  • June 13, 2025
  • 6 min read
  • 605 Views
Jadi Lansia di Indonesia, Boleh Kerja tapi Syarat dan Ketentuan Berlaku 

Rustinah, 81, masih ingat bagaimana keluarga sempat keberatan ketika ia menyampaikan niat untuk kembali bekerja. Keraguan anak-anaknya bukan tanpa alasan: Usia senja, keterbatasan fisik, dan kekhawatiran akan beban kerja. Namun, Rustinah bertekad untuk tetap aktif dan merasa dirinya belum selesai. Ia pun meyakinkan anak-anaknya untuk memberi kesempatan. 

Setelah beberapa kali berdiskusi, mereka akhirnya mengizinkan. Rustinah lalu bekerja di Uma Oma Cafe, tempat makan di bilangan Blok M, Melawai, Jakarta Selatan, yang secara khusus membuka kesempatan kerja bagi para lansia. Sudah satu tahun lebih ia bekerja di sana bersama tiga rekan seusianya. 

Empat lansia ini menjalani pekerjaan sebagai staf penyambut tamu, mengantar pelanggan ke meja, menyajikan menu, hingga berbincang santai dengan pengunjung. Aktivitas ini bukan hanya pekerjaan rutin, tetapi juga jadi sarana interaksi sosial yang memperkaya pengalaman dan memperbaiki suasana hati. Rustinah mengaku awalnya sempat canggung dan butuh waktu untuk beradaptasi, terutama dalam memahami ritme kerja dan teknologi baru yang digunakan di kafe. Namun perlahan ia mulai terbiasa. 

“Saya bilang juga ke anak kalau nanti saya enggak betah (kerja di Uma Oma Cafe) saya berhenti. Namun ternyata betah, anakku mendukung setelahnya,” ujarnya kepada Magdalene. Menurutnya, dukungan keluarga membuatnya lebih percaya diri menjalani aktivitas sebagai pekerja aktif di usia lanjut. 

Rasa senang juga muncul dari dampak fisik dan mental yang ia rasakan. Ia mengaku lebih sehat dan bersemangat sejak bekerja. “Saya jadi tambah sehat karena bekerja, badannya juga tambah fit, gembira, pokoknya happy aja deh,” katanya. 

Cerita Rustinah mewakili suara banyak lansia yang masih ingin terlibat aktif di masyarakat, namun terbentur pada sistem kerja yang belum inklusif. 

Baca Juga: Jangan Jadi Lansia di Indonesia 

Pekerja Lansia dan Dunia Kerja yang Belum Setara 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024, jumlah lansia di Indonesia mencapai 33 juta jiwa, atau sekitar 12 persen dari total populasi. Di tengah angka ini, realitas menunjukkan lansia belum sepenuhnya mendapatkan tempat dalam dunia kerja. 

Sebagian besar perusahaan masih menetapkan batas usia maksimal dalam proses rekrutmen, bahkan untuk posisi yang tidak memerlukan tenaga fisik besar. Dalam praktiknya, kebijakan ini menciptakan diskriminasi usia yang tidak selalu didasarkan pada evaluasi kemampuan aktual individu. 

Penelitian Jati Waskito dari Universitas Muhammadiyah Surakarta bertajuk “Faktor-faktor Pendorong Keniatan Pekerja Lansia untuk Melanjutkan Bekerja”  menunjukkan, pekerja lansia sering dianggap sebagai opsi terakhir. Ini enggak lepas dari stereotip negatif seperti dianggap lambat, kurang adaptif terhadap teknologi, atau sulit diarahkan. Padahal, jika diberi pelatihan dan pendampingan, banyak di antara mereka yang masih sangat mampu berkontribusi. 

Operational Manager Uma Oma Cafe Almanzo Komasula, mengakui tantangan utama justru datang dari persepsi industri terhadap kelompok lansia. 

“Karena katanya takut tidak harmonis di cafenya. Malah ternyata lansia dan pekerja muda bisa bersinergi dan harmonis. Justru gap umur antara oma dengan yang muda bukan masalah,” ujarnya. 

Ia menambahkan para lansia datang dengan semangat tinggi, bahkan sering kali membawa nilai-nilai disiplin dan etos kerja yang luar biasa. 

Cerita serupa juga muncul dari industri kuliner besar. Boga Group, perusahaan makanan dan minuman dengan lebih dari 200 outlet di Indonesia, membuka ruang bagi pekerja lansia. Presiden Direktur Boga Group Kusnadi Rahardja bilang, perusahaan pada awalnya memang mempertanyakan produktivitas pekerja lanjut usia. Namun setelah beberapa kali mencoba, hasilnya mengejutkan. 

“Bagi kami, ini bukan sekadar membuka lapangan pekerjaan untuk kepentingan perusahaan, namun lebih dari itu, ini adalah bagian dari tanggung jawab sosial kami,” jelas Kusnadi. Ia menyebut rekrutmen dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Di antaranya tanpa batasan administratif yang rumit, tanpa seleksi usia, dan hanya dengan satu syarat utama—lulus tes kesehatan dasar. 

Keputusan ini turut mengubah narasi tentang lansia di dunia kerja. Seorang pengguna media sosial bahkan mengunggah kebanggaannya karena sang ayah—seorang lansia—diterima bekerja di Boga Group. Unggahan tersebut disambut dengan antusias oleh warganet, yang mengapresiasi perusahaan yang dianggap memberi ruang pada semua kelompok usia.

Tangkapan layar di X (dulu Twitter) seorang anak perempuan yang mengunjungi ayah saat bekerja.  

Baca Juga: ‘Aging Society’ dan Kesejahteraan Lansia yang Dipandang Sebelah Mata

Membangun Dunia Kerja Inklusif bagi Lansia 

Langkah afirmatif seperti yang dilakukan Uma Oma Cafe dan Boga Group masih jarang ditemukan. Survei Australian Human Rights Institute (AHRI) dalam laporan “Employing and Retaining Older Workers” (2023) menunjukkan, banyak perusahaan di berbagai negara enggan mempekerjakan lansia karena anggapan tentang keterbatasan adaptasi teknologi, serta ekspektasi gaji yang dianggap tidak sebanding dengan produktivitas. 

Namun, bukti lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Dengan pelatihan yang tepat, banyak pekerja lansia tetap mampu memberikan kontribusi signifikan. Bahkan, dalam beberapa aspek seperti kesabaran dalam melayani konsumen dan pengalaman komunikasi interpersonal, mereka justru unggul. 

Rustinah dan rekan-rekannya adalah contoh umur bukan hambatan selama diberikan kesempatan. Mereka aktif, bahagia, dan merasa dihargai. Begitu juga Kusnadi dan Almanzo, yang membuktikan, membuka ruang kerja bagi lansia tidak merugikan perusahaan. Sebaliknya, langkah tersebut memperkuat identitas sosial perusahaan dan menumbuhkan loyalitas pelanggan. 

Kebijakan negara juga mulai bergeser. Pada awal 2025, Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 6/HK.0.4/2025 tentang Peluang Kerja Inklusif. Dalam edaran ini, perusahaan diimbau tidak menetapkan batasan usia secara kaku, dan diminta mengembangkan sistem kerja yang ramah lansia. 

“Bekerja tidak hanya untuk mencari nafkah, tapi juga sebagai bentuk aktualisasi diri dan menjaga kesehatan mental. Untuk mendukung pekerja usia lanjut di Indonesia,” kata Anwar Sanusi, Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kemenaker, dikutip dari Suaraglobal.id. 

Namun, surat edaran tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Tanpa regulasi yang lebih kuat atau insentif yang jelas, perubahan sistemik sulit tercapai. 

Almanzo menyatakan peran pemerintah perlu lebih aktif dalam menciptakan ekosistem kerja yang benar-benar inklusif. “Harusnya sih pemerintah juga terlibat dalam pemberdayaan lansia,” katanya. 

Senada dengan itu, Kusnadi menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor. Menurutnya, “Kita mulai bersama-sama dengan langkah-langkah kecil. Satu orang melangkah mungkin tidak begitu kelihatan, tapi jika 1.000 atau bahkan 100.000 perusahaan melangkah bersama, pasti hasilnya akan terasa lebih berdampak.” 

Baca Juga: Danny Yatim: Gencar Suarakan ‘Active Aging’ demi Lansia Berdaya 

Stigma terhadap pekerja lansia sebagai kelompok tidak produktif memang masih kuat. Namun, praktik baik dari Uma Oma Cafe dan Boga Group menunjukkan, pendekatan baru sangat mungkin diterapkan. Dunia kerja yang lebih inklusif bukan hanya memberi ruang bagi lansia untuk tetap berdaya, tetapi juga memperkaya lingkungan kerja dengan nilai-nilai lintas generasi. 

Dalam konteks Indonesia yang segera memasuki masa bonus demografi terbalik—di mana jumlah penduduk usia produktif menurun dan jumlah lansia meningkat—membangun sistem ketenagakerjaan yang inklusif bukanlah pilihan, melainkan keharusan. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality
About Author

Ahmad Khudori and Aurelia Gracia