Mengatasi Cemburu karena Pacar ‘Nge-Like’ Instagram Perempuan Cantik
Rasa cemburu berlebihan karena pacar nge-like foto-foto Instagram perempuan cantik adalah hasil pertalian kapitalisme dan patriarki.
Baby, I am jealous
On the pictures that you like
Baby, I am jealous
Of the girls with lighter eyes
Bebe Rexha ft Doja Cat – Jealous
Lagu Bebe Rexha feat. Doja Cat berjudul Jealous ini berkali-kali saya putar dalam beberapa hari terakhir. Lupakan penggambaran yang tidak akurat tentang hak-hak perempuan dalam sejarah Amerika dalam video klipnya. Saya sangat menyukai lagu ini. Buat saya, lagu ini tertancap di kepala sekaligus menarasikan dengan akurat bagaimana permasalahan yang dialami berbagai pasangan heteroseksual hari ini: Cemburu akibat pacar nge-like pada foto-foto perempuan cantik di Instagram.
Saya perhatikan dalam grup Facebook “Curahan Hati Istri”, rasa cemburu berlebihan akibat akun Instagram milik suami adalah permasalahan umum yang sering muncul dalam diri istri. Mengapa perempuan mudah sekali merasa cemburu? Apakah perempuan dan istri-istri di masa lalu mengalami permasalahan yang sama seperti kita di masa sekarang? Padahal kita bisa dengan santai memakai Instagram untuk menemukan tutorial menggambar alis dengan lebih baik daripada stalking akun suami.
Baca juga: Jangan Menikah Karena Lihat Konten ‘Uwu’ di Media Sosial
Suami saya menikmati akun Instagram yang baru ia buat. Ia mengikuti banyak akun Aquascapes dan bonsai. Sejauh ini, dia tidak punya hasrat untuk mengikuti model perempuan seksi di Instagram. Dia bilang hal-hal semacam itu tidak muncul dalam lini masa. Mungkin karena algoritme. Dia tidak ikuti hal seperti itu karena mungkin saya bisa cemburu, tapi dia berpikir realistis: Gambar model perempuan seksi di Instagram banyak diubah dan menggunakan teknik fotografi tertentu. Selain itu, dia merasa sadar diri, tidak mungkin mendapatkan perempuan-perempuan seksi tersebut.
Saya paham bahwa tidak semua laki-laki seperti suami saya, yang menyadari kenyataan yang ada. Mungkin beberapa lelaki juga berjuang dengan maskulinitasnya yang rapuh. Bisa jadi mereka melihat foto-foto Instagram perempuan cantik hanya untuk senang-senang saja karena jauh dalam dirinya, mereka menyadari mereka tidak akan mendapatkan gadis secantik itu dalam hidupnya. Apa pun alasannya, bukan tanggung jawab kita sebagai pasangan untuk “memperbaiki” pasangan kita. Walau begitu, perasaan cemburu saat melihat pasangan menyukai gadis cantik di Instagram menyergap seperti kilat di tengah hujan.
Baca juga: Operasi Plastik: Antara Otoritas Tubuh dan Tuntutan Masyarakat
Saya juga memiliki rasa insecure tersebut, dan pasangan saya mengerti bahwa rasa tersebut pasang surut seperti ombak—dia tidak hilang dan selalu ada di sana. Hal ini dijelaskan juga dalam lagu Bebe Rexha, “This is me/I am loving a kind of me, I love me until I don’t.”
Saya rasa, Instagram membuat perasaan tidak percaya diri perempuan menjadi semakin buruk.
Kapitalisme dan kepercayaan diri perempuan
Hampir 100 persen konten Instagram adalah iklan. Saya yakin dengan pendapat ini karena bahkan beberapa teman dekat saya mengunggah foto tempat mereka berlibur padahal mereka tidak dibayar sama sekali! Atau gaya hidup kita memfoto makanan dan mengunggah fotonya di restoran, dan bagaimana satu per satu teman kita menjadi “influencer” dan semakin banyak unggahan produk yang menjadi sponsor mereka.
Iklan tampil secara terang-terangan maupun halus. Iklan mengisi lini masa kita dengan barang-barang dan hal-hal yang tidak kita butuhkan tetapi kita ingin miliki. Seperti saya misalnya, semakin lama saya menghabiskan waktu di Instagram, keinginan untuk membuat roti adonan masam (sourdough) semakin kuat, sebab algoritme instagram saya memang terisi dengan roti dan kue-kue sebagai hobi memasak saya. Begitu pula dengan pakaian-pakaian lucu dan wajah yang mulus.
Sebagai perempuan yang hidup dan dibesarkan dalam pola pikir kapitalis, kita cenderung memosisikan diri sebagai objek dan berkompetisi tanpa akhir dengan perempuan yang lain. Pertalian kapitalisme dan patriarki kemudian menghasilkan sebuah lingkaran setan yang menjebak perempuan. Pertama-tama, mereka membuat standar kecantikan, kemudian mereka membuat kita berada dalam kompetisi mencapai standar cantik tersebut.
Kita terus membanding-bandingkan diri kita dengan perempuan lain dan merasa insecure. Rasa tidak percaya diri itu dipupuk dan dijadikan umpan produk-produk kecantikan untuk memberikan solusi instan, padahal produk tersebut tidak menyelesaikan masalah utama kompetisi dan ketidakpercayaan diri perempuan. Kita terus menerus membandingkan pencapaian dan rasa ingin dicintai sebagaimana dinyanyikan Bebe, “Cause insecurity told me you don’t love me. All it takes is a girl above me on your timeline to make me nothing “
Baca juga: Di Internet, Perempuan ‘Influencer’ Tak Pernah Bisa Jadi Diri Sendiri
Karena saya memiliki insecurity juga, saya tidak hendak mengajarkan perempuan dalam tulisan ini, hanya berefleksi bersama tentang masalah sehari-hari yang kita alami. Hidup ini tidak mudah karena kita terlanjut berada dalam sistem kapitalisme. Tapi saya menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak mampu saya raih, sebab bukan saya yang membuat standar tersebut. Jika saya merasa cemburu dengan pasangan karena dia menyukai perempuan seksi di instagram, saya akan membuat diri saya berpikir realistis bahwa toh, dia tidak akan bisa mendapatkan gadis-gadis itu.
Saya akan berusaha memikirkan sisi positif pada diri saya yang tidak ada hubungannya dengan penampilan saya. Seperti bahwa saya adalah kekasih yang mencintai dia sepenuh hati dan saya pandai memasak. Saya berusaha menghindari pola pikir kompetisi dan membanding-bandingkan saya dengan perempuan lain supaya saya merasa lebih baik. Saya juga tidak berupaya meretas, membuka, atau melarang suami saya mempunyai akun Instagram.
Sejauh ini, metode-metode tersebut ampuh. Selain metode tersebut saya juga terus berjuang dalam feminisme untuk turun ke jalan atau membuat esai memprotes standar yang dibuat oleh patriarki dan kapitalisme. Karena pada akhirnya, “This is me, a woman in dichotomy.”