Jangan Menikah Karena Lihat Konten ‘Uwu’ di Media Sosial
Jangan menikah hanya karena gambar pernikahan di film, novel, hingga konten ‘uwu’ di media sosial.
Belakangan ini, saya sering mendengar cerita teman-teman yang mengeluh tentang pernikahan. Ternyata istriku begini, ternyata suamiku begitu dan bla bla bla. Teman saya menutup keluhan dengan kalimat, “Ternyata menikah enggak seindah di film”.
Hmm, benarkah begitu? Lalu, saya teringat dengan teman yang pernah berkata, “Selama pacaran kalian ini ngomongin apa?”
Kalau dipikir-pikir, teman saya ini ada benarnya. Bisa-bisanya kamu enggak tahu kalau suamimu kasar atau patriarkal akut, padahal sudah lima tahun pacaran. Saya penasaran dengan percakapan mereka selama itu. Apakah mereka pernah menyinggung tentang pasang-surutnya pernikahan atau siapa yang akan keluar mencari nafkah dan mengurus rumah tangga? Keduanya-kah atau salah satu saja? Atau sekadar uwu-uwu-an merangkai masa depan indah setelah lima tahun berpacaran? Berandai-andai akan hidup bahagia selamanya atau tenggelam dalam kalimat romantis berawalan “kalau nikah nanti”.
Bergeser lagi ke teman saya yang menginjak usia 29. Selain tuntutan keluarga untuk mengakhiri masa lajang, teman saya ini “terinspirasi” untuk melakukan taaruf setelah melihat video TikTok yang menggambarkan betapa indahnya pernikahan selebritas Rey Mbayang dan Dinda Hauw. Mengesampingkan fakta kalau hidup mereka adem ayem karena berlimpah materi dan sang lelaki sendiri punya background yang tak kalah stunning sebelum meminang Dinda Hauw.
Baca juga: Menikah Itu Tidak Indah
Mengambil langkah taaruf untuk mendapatkan jodoh tidak salah, tapi alasan yang melatari taarufnya teman saya ini bikin saya geleng-geleng kepala. Ingin taaruf agar dapat suami sempurna seperti Rey Mbayang? Astaga, dia lupa kalau menikah tak selamanya indah dan tentu saja dia bukan Dinda Hauw. Mendapatkan Rey Mbayang 2.0 sebagai jodoh kita seperti mencari jarum dalam sekam. Hampir tidak mungkin.
Ada juga kasus teman lain yang bikin saya ingin menabrakkan kepala saya ke tembok. Teman saya ini tahu bahwa pacarnya kasar. Lalu, muncullah ide untuk menikahi pacarnya itu dengan harapan dia akan berubah nantinya. Kenapa begitu? Teman saya ini termakan kisah inspiratif dari YouTube yang menceritakan bagaimana sang suami berubah dari seorang pecandu narkoba hingga menjadi seorang ustaz.
Teman saya itu berpikir kalau menikah adalah jawaban untuk perubahan sikap pacarnya, tapi yang ada, yang berubah bukan pacarnya, melainkan dia. Dia yang jadi “perkedel” karena dipukuli terus sama suaminya, saya ngedumel dalam hati.
Menikah seakan jadi jawaban dari segala masalah dewasa ini. Mau uwu-uwu-an setiap hari, ya nikah. Mau seseorang berubah, ya nikah. Mau kaya raya, ya nikah, lalu hidup bahagia sampai kakek-nenek dan meninggal, terus masuk surga. Semudah itu, pikir saya dulu sebelum terjebak dalam pernikahan toksik. Kalau hal di atas benar-benar bekerja, saya rasa banyak dari kita sudah masuk surga sekarang, bukannya malah hidup blangsak dengan pasangan yang hobi merisak.
Baca juga: Menikah Saat Pandemi: Adaptasi dan Redefinisi Makna Pesta Pernikahan
Melihat kenyataan ini, saya teringat sebuah kutipan dari serial The Crown, bahwa sebenarnya rintangan dalam hubungan menentukan pandangan seseorang pada sebuah pernikahan. Pernikahan yang bukan lagi sebagai euforia, melainkan sebuah pertualangan.
Sekarang ini, sering kali kita dibuai oleh banyak konten media sosial yang uwu bertebaran di Instagram, Wattpad, atau TikTok. Sementara berkaca dari era sebelumnya, kisah picisan tentang koneksi magis antar sepasang manusia yang bisa saling mengerti tanpa saling bicara bisa kita dapati di rom-com atau novel best-seller yang kita baca. Hal-hal ini membuat banyak dari kita menggebu-gebu ingin menyudahi masa lajang demi mewujudkan dongeng yang selama ini dicekoki oleh media.
Doktrin-doktrin ini membuat kita mengesampingkan fakta kalau tak semua dongeng itu nyata. Tak semua pernikahan itu indah. Tak semua pernikahan itu berhasil. Raisa beruntung punya suami yang family man seperti Hamish Daud. Tapi apakah setiap orang akan bernasib sama setelah menikah nanti? Jawabannya, tidak.
Baca juga: Menikah Tapi Tetap Bebas, Bagaimana Caranya?
Ada peran yang harus dipenuhi pasangan agar pernikahan itu berjalan dengan baik. Peran itu enggak melulu suami adalah pencari nafkah dan istri adalah ibu rumah tangga. Kesetaraan peran antar suami dan istri itu harus dikompromikan sebelum memulai hidup bersama. Berkomunikasi tentang bagaimana peran itu idealnya harus diisi sebelum pernikahan terjadi adalah hal yang perlu diutamakan daripada percakapan uwu-uwuan merangkai masa depan semu. Bukan tiba-tiba menikah karena artis panutan hidup bahagia setelah menggelar resepsi pernikahan mahal di hotel bintang lima, lalu menyesal pada hari-hari selanjutnya karena ekspektasi jauh dari realitas.
Di samping mengomunikasikan peran dalam pernikahan, ada faktor lain yang juga berpengaruh terhadap langgengnya hal tersebut seperti perkara komitmen dan peran suami istri di mata masyarakat. Setidaknya, itu pelajaran yang bisa diambil dari gagalnya pernikahan kerajaan yang dielu-elukan oleh media pada masanya. Faktor-faktor seperti kesenjangan, restu, ekonomi, hingga masalah keturunan juga bisa menjadi pemicu sebuah pernikahan babak belur dihantam konflik.
Pernikahan bisa saja menaikkan level seseorang dan menambah kepuasan hidup, tapi jangan lupakan kalau pernikahan juga bisa penyebab penderitaan, beban, dan terkadang menyebabkan kerugian. Menikah karena gambar pernikahan romantis di media sosial saya rasa adalah alasan lucu untuk memulai petualangan bersama pasangan.