Madge PCR

Menjanda, Apakah Perceraian Pantas Dirayakan?

Perceraian tak melulu menyedihkan. Terkadang, merayakannya sama dengan membebaskan seseorang dari beban dan penderitaan.

Avatar
  • August 19, 2022
  • 6 min read
  • 1586 Views
Menjanda, Apakah Perceraian Pantas Dirayakan?

Butuh waktu tiga tahun bagi “Fitri” untuk akhirnya merayakan status jandanya. Sejak 2015, ia ingin melayangkan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Namun, keinginan itu selalu kandas karena mantan suami menganggap, tak ada yang salah dengan pernikahan mereka.

Padahal, selama sembilan tahun berumah tangga, Fitri menyimpan segudang keluhan. Mulai dari buruknya komunikasi, nihil pembagian peran domestik, tak ada permintaan maaf dan koreksi diri, juga meremehkan istri serta keluarga.

 

 

“Bahkan, aku enggak diperbolehkan merawat ibu yang sedang sakit. Katanya, aku cuma harus mengabdi pada suami,” ceritanya pada Magdalene, (17/8).

Mulanya, Fitri mengamini perkataan mantan suami. Namun lama-kelamaan, wiraswasta asal Surabaya itu menyadari ada lubang dalam pernikahannya. Sebab, ia selalu disalahkan sebagai perempuan. Sementara, dalih yang dipakai lelaki itu selalu lama: Istri harus patuh pada suami karena ini perintah agama. 

“Dandananku enggak boleh berlebihan karena perempuan itu sumber fitnah,” ujarnya. “Relasi pertemanan juga harus dengan perempuan aja.”

Ia mulai memberontak dengan memberikan alasan logis pada mantan suami, tapi selalu mental. Kondisi ini makin parah lantaran keluarga suaminya menganggap beban ganda dalam rumah tangga sebagai hal wajar.

Padahal, di balik perceraian ada hal-hal baik yang dapat diperoleh, seperti dijelaskan penulis Ann Gold Buscho di Psychology Today. Salah satunya adalah demi kebaikan anak-anak. Alasan tersebut kerap digunakan untuk mempertahankan pernikahan, agar anak tetap memiliki orang tua yang lengkap.

Alasan semacam itu pernah menjadi pilihan bagi Fitri. Sepanjang 2016 hingga 2017, ia berusaha memperbaiki rumah tangga seperti di awal pernikahan, dengan berfokus pada anak-anaknya.

Namun, menurut Buscho, mempertahankan pernikahan yang beracun bukan berarti keputusan yang baik untuk anak. Mereka harus menyaksikan pertengkaran orang tuanya, yang pada akhirnya akan meninggalkan trauma.

Akhirnya pada 2018, dengan mantap Fitri memutuskan bercerai. “Saya memutuskan bercerai, agar tidak berimbas lebih panjang ke kedua anak laki-laki saya,” tuturnya, yang juga mulai belajar tentang feminisme dari psikolog anaknya.

“Dari situ saya mulai banyak membaca, dan merefleksikan perilaku ayah ke ibu. Jadi ngeliat kenapa perempuan yang salah terus,” jelasnya.

Baca Juga: Beranilah untuk Berpisah

Lebih Baik Bercerai ketimbang Bertahan dalam Pernikahan Toksik

Bagi sejumlah orang, perceraian enggak melulu kesedihan akibat perpisahan, justru ada yang menganggap suatu cara untuk mengawali kehidupan yang lebih baik.

Saya teringat dengan perempuan asal Bojonegoro, Jawa Timur, yang viral setelah mengambil akta cerai di Pengadilan Agama. Dalam video itu, ia tampak bahagia dan mengatakan, “Lebih baik menjanda daripada punya suami tiada guna.”

Mungkin sebagian masyarakat belum familier dengan hal tersebut, karena perceraian dapat menjadi peristiwa yang sangat emosional. Bahkan, Psych Central mengatakan, perasaannya serupa dengan berduka akibat kehilangan sosok yang dicintai.

Kendati demikian, perceraian bisa menjadi momen memerdekakan diri bagi segelintir orang. Sebab, pernikahan yang dibina justru menjerat dan menciptakan keterbatasan. 

Dalam tulisan yang sama, Buscho mengungkapkan beberapa hal baik lainnya dari perceraian. Di antaranya, mengembangkan dan menguatkan diri, karena bertahan dalam hubungan yang buruk malah menghambat pertumbuhan seseorang sebagai individu.

Ketika menikah dengan mantan suaminya, ia dilarang bekerja. Padahal, di usianya yang saat itu baru mau menginjak 23 tahun, Fitri bekerja di perusahaan ponsel dan akan pindah pekerjaan ke perusahaan layanan finansial. Sayangnya, ia terpaksa menolak karena tuntutan dalam rumah tangga.

Hari-harinya diisi dengan melakukan pekerjaan domestik. Sesekali Fitri berjualan rendang ke kerabat dekat lewat platform online. Pun tujuannya hanya meneruskan resep ibu, dan sebagai sambilan di rumah.

Alhasil, perasaan lega seketika dirasakan Fitri begitu hakim mengetuk palu di hadapannya. Ia tidak lagi terkekang, dan tidak memerlukan proses untuk mengikhlaskan. Namun, bukan berarti sudah sepenuhnya sembuh dari luka yang disebabkan oleh pernikahan tersebut.

“Sekarang saya lega, tapi ada sisa trauma yang menghantui dari pernikahan sebelumnya,” ceritanya. Setidaknya lewat perceraian, Fitri bisa mengembangkan diri, karier, dan mengenal diri sendiri tanpa terbebani dengan label apa pun. 

Baca Juga: Memang Kenapa Kalau Janda?

Perceraian yang Patut Dirayakan

Tak sedikit yang mempublikasikan di linimasa media sosial, berbagai cara orang merayakan perceraian. Mulai secara simbolis—membeli divorce cake, menggelar pesta, dan membeli cincin untuk diri sendiri—sampai melakukan sesuatu yang memberdayakan.

Bahkan, di sejumlah negara, terdapat budaya yang menandakan transisi dari kehidupan berumah tangga menuju singlehood. Di Jepang, pasangan yang bercerai menghancurkan cincin pernikahan dengan palu. Sementara dalam Yahudi, pembubaran pernikahan secara rohani dilakukan dengan suami yang memberikan gett—dokumen perceraian—kepada istri, di hadapan saksi dan para rabi.

Namun, menurut psikolog klinis asal Amerika Serikat, Dr. Carla Marie Manly, fokus dari perayaan perceraian bukanlah mengejek mantan pasangan. Kepada Oprah Daily ia menekankan, pesta tersebut seharusnya menyambut masa depan dengan awal kehidupan yang baru.

Baca Juga: 25 Tahun dan Hidup Melajang, Siapa Takut?

Hal itu yang dilakukan oleh Fitri. Pada akhir 2018, perempuan 35 tahun itu memutuskan untuk memberdayakan diri, dengan mendirikan sebuah komunitas. Tujuannya adalah membuka akses bagi semua kalangan untuk belajar, produktif, dan saling berbagi pengetahuan.

Namun, ini bukan perjalanan singkat bagi Fitri untuk membangun ruang komunitas tersebut. Setelah bercerai dengan mantan suami, ia memulai kehidupannya dari nol, termasuk secara finansial.

Dalam tulisan berjudul How Divorce Affects Men and Women (2022)Kurt Smith, konselor dan direktur klinis dari Guy Stuff Counseling & Coaching—lembaga konseling di Amerika Serikat menuturkan, perceraian cenderung berdampak bagi perempuan pada sisi kestabilan ekonomi.

Tulisan Smith terbukti pada yang terjadi dengan Fitri. Dari menemukan kontrakan yang bersedia dibayar per bulan, mengutang sana-sini, berjualan rendang yang sampai saat ini laris di pasaran, hingga memiliki jejaring komunitas. Semua itu dilalui dan membawanya sampai pada titik saat ini.

Baca Juga: Mimpi Buruk Baru: Mengurus Perceraian di Tengah Pandemi

“Alhamdulillah di akhir 2018, ruang komunitas saya dapat grant besar dari Non-Governmental Organization (NGO). Di 2020 juga saya keterima kerja di dua NGO,” kata dia, mengenang kembali perjuangannya.

Kini, komunitas yang mengusung konsep seperti coworking space itu menyediakan mentor dan peralatan workshop, serta tidak memungut biaya bagi kelompok rentan yang memerlukan fasilitasnya.

Terlepas dari jatuh bangun yang dihadapinya, Fitri merasa perceraian layak untuk dirayakan. Pasalnya, momen itu yang membebaskan seseorang dari beban dan penderitaan. Bahkan, ia menganggap masa menjanda sebagai salah satu masa terbaiknya dalam hidup.

“Meskipun pada kasus sebagian orang wujudnya perpindahan dari satu penderitaan ke lainnya, perceraian itu wujud dari kemenangan kita dalam menyelamatkan dan mencintai diri sendiri,” ungkapnya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.