Perempuan Bukan Sumber Fitnah, Pentingnya Pahami ‘Mubadalah’
Tuduhan perempuan sebagai sumber fitnah lahir dari konstruksi masyarakat misoginis. Kemudian dilengkapi dengan proses memahami hadis yang parsial.
Lingkup masyarakat misoginis dan patriarkal kerap meletakkan perempuan di posisi yang direndahkan kemanusiaannya. Karena itu, perempuan dituduh sebagai sumber fitnah dan kembali disalahkan ketika jadi korban kekerasan seksual. Alih-alih menyorot dan menuntut hukuman pada pelaku, korban akan dibombardir dengan komentar menyudutkan, seperti pakaian yang terlalu terbuka atau keluar di waktu malam.
Tidak setuju dengan ungkapan perempuan sumber fitnah, cendekiawan Islam Faqihuddin Abdul Kodir mengatakan, laki-laki maupun perempuan sejatinya bisa menjadi sumber fitnah. Namun, di saat bersamaan keduanya juga adalah sumber rahmat. Dengan demikian, yang menjadi poin penting bukan menilai seseorang sebagai sumber fitnah atau tidak, tetapi cara manusia menjadi anugerah untuk kemaslahatan bersama.
“Praktik dasarnya hidup ini semua fitnah, tapi juga rahmat. Yang fitnah itu juga tidak perempuan, tapi anak, keluarga, dan laki-laki. Terpenting adalah bagaimana cara kita mengolah masalah memandang perempuan itu hanya fitnah, tanpa ada akal, budi, dan peran. Ini yang salah kaprah,” ujarnya dalam peluncuran buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah yang diselenggarakan penerbit Afkaruna (1/9).
Buku yang ditulis oleh Faqihuddin itu juga menunjukkan pandangan perempuan sumber fitnah tersebut semakin mengakar di masyarakat, ketika hadis dipahami secara literal saja. Karenanya, perlu pembacaan teks dengan metode mubadalah yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang setara dalam literatur keagamaan
“Hadis daif (yang kesahihannya lemah) banyak dipercaya orang, terutama di media sosial. Hadis itu tidak ada rujukannya. Ketika validitas hadis tidak bisa dipertanggungjawabkan, mubadalah yang menjadi perisai, penyaring, sekaligus alat kita berhadapan dengan hadis itu,” ujarnya.
Ulama feminis Kyai Husein Muhammad menilai mubadalah adalah golden rule yang menuntun manusia untuk maju ke depan. Relasi manusia, tidak hanya dalam konteks gender tapi seluruh keragaman primordial, dapat terus dikukuhkan dan mencapai puncak kedamaian dengan metode tersebut. Senada dengan hal itu, Lies Marcoes, aktivis perempuan dan Direktur Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) mengatakan, metode mubadalah tersebut juga mengikis nilai misoginis dalam hadis yang menempatkan perempuan sebagai objek.
“Betapa beratnya menjadi perempuan mencintai Nabi melalui hadis yang dihadirkan secara misoginis. Semacam orang Papua yang diminta mencintai NKRI sementara hal sebaliknya (represi) terjadi pada orang Papua,” ujar Lies.
Akademisi bidang Tafsir dan pendiri Ngaji KGI (Keadilan Gender Islam), Nur Rofiah mengatakan, melihat kemanusiaan perempuan dan laki-laki secara utuh dan setara menjadi penting agar kemungkaran dapat dicegah. Selain itu, melihat perempuan sebagai manusia utuh dan tidak sebagai makhluk fisik dan objek seksual.
“Untuk melengkapi kesetaraan itu juga harus ada perhatian pada perbedaan, perempuan memiliki pengalaman biologis dan sosial yang berbeda dengan laki-laki. Agar keduanya bisa mendapatkan kemaslahatan maka ketidakadilan yang menambah ‘sakit’ perempuan tidak boleh terjadi,” jelasnya.
Baca juga: Buku Sejarah Melenyapkan Perempuan dalam Islam
Tantangan Hapuskan Perempuan Sumber Fitnah
Ulil Abshar Abdalla, akademisi dan pengampu Ngaji Ihya mengatakan, pandangan yang menuduh perempuan sebagai sumber fitnah sudah mulai terkikis di kalangan muslim tradisional. Perlahan-lahan mulai muncul kesiapan dan keterbukaan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam ruang publik. Ia melihat di kalangan masyarakat pesantren dan NU (Nahdlatul Ulama) tidak lagi mempersoalkan perbedaan itu dalam kegiatannya. Meskipun begitu, ada kecenderungan yang berbeda untuk masyarakat muslim kota yang mulai mempercayai kembali perempuan sumber fitnah.
“Muslim di kota justru ada arah sebaliknya dan mempercayai kembali pandangan itu karena aktif dalam komunikasi publik. Artinya pendapat itu berpotensi menyebar. Cara terbaik untuk melawan itu dengan buku ini (mubadalah untuk melawan miskonsepsi tentang perempuan,” ujarnya.
Sayangnya, komedian muslim Sakdiyah Ma’ruf mengatakan, untuk menyebarkan ajaran mubadalah itu sudah tidak cukup dengan membaca buku karena kebiasaan masyarakat sekarang ‘belajar’ melalui media sosial. Ilmu dan informasi menjadi semacam kudapan yang dikonsumsi sedikit demi sedikit dengan medium kekinian, seperti meme. Selain itu, jika melakukan dialog dengan kelompok yang memiliki sudut pandang berseberangan, mentalitas us vs them atau kita melawan mereka harus dieliminasi agar tidak menciptakan jarak.
“Perlu membangun jembatan untuk keluar dari echo chamber komunitas sendiri dan merangkul seluasnya muslim dan muslimah,” kata Sakdiyah.
“(Ketika berdialog) jangan lihat pimpinannya, tapi adik-adik di sekolah dan kampus yang memiliki sudut pandang seperti itu karena belum tahu atau terpapar. Kalau didekati dengan cara yang judgemental, maka akan menimbulkan antipati yang lebih jauh,” imbuhnya.
Baca juga: Feminisme, Islam, dan Permainan Waktu
Senada dengan hal itu, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Inayah Rohmaniyah mengatakan, dialog tersebut juga diperlukan agar ajaran tidak berhenti di tataran wacana yang menghasilkan perdebatan dalam diskusi. Selain itu, agar mubadalah menyebar dan dipahami lebih banyak orang, memang perlu dilakukan dialog dengan pihak otoritas keagamaan arus utama.
Pihak otoritas tersebut tentunya melibatkan tokoh keagamaan laki-laki arus utama yang menjadi superior karena konstruksi sosial. Dengan demikian, tokoh keagamaan seperti Faqihuddin, Kyai Husein, dan Ulil menjadi semacam tombak untuk melangsungkan dialog dengan pihak otoritas itu, ujarnya.
Baca juga: Seminar Poligami: Komodifikasi Agama Secara Terang-terangan
“Agar banyak yang memahami mubadalah perlu gerakan kolektif dari masyarakat dan juga merangkul figur publik. Ini penting disosialisasikan agar tidak berhenti jadi wacana. Kita ada modal bergandengan dengan tokoh laki-laki. Memang tampak seperti PR, tapi ini strategi efektif untuk sukses dengan modalitas kerjasama di jaringan luas,” jelasnya.
Lies juga memiliki pandangan serupa bahwa diperlukan lebih banyak ‘pasukan’ laki-laki untuk mendorong metode mubadalah tidak hanya di ranah nasional, tetapi juga secara global. Walaupun referensi pengalamannya adalah Indonesia, metode mubadalah dapat digunakan siapa pun dan di mana pun.
“Ketika dunia terbelalak dengan situasi di Afghanistan saya merasa cara pikir yang disampaikan Faqihuddin, Ulil, dan Husein bisa menjadi harapan. (Buku ini) juga bisa menjadi referensi dunia untuk melihat ada cara dan ada harapan lain,” kata Lies.