Lifestyle

Mereka Pilih Menjomblo 25 Tahun, Kenapa?

Alasan seseorang melajang sejak lahir beragam, seperti belum siap atau memang tidak ingin, tapi tidak berarti mereka pantas untuk dipermalukan.

Avatar
  • September 30, 2021
  • 6 min read
  • 1002 Views
Mereka Pilih Menjomblo 25 Tahun, Kenapa?

Swipe kanan terus kiri dan begitu terus sampai lupa waktu. Belakangan ini pastikan saya berselancar di aplikasi perkencanan kalau waktu telah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Saya diajak mencari jodoh oleh bot yang berperan sebagai cupid-nya sambil melototi puluhan foto orang asing yang mencari cinta. 

Walaupun bermain aplikasi kencan, tidak berarti saya mencari pacar di sana. Bagi saya, pacaran adalah konsep yang sangat asing. Di usia seperempat baya–yang sebagian orang habiskan dengan tunangan, menikah, sampai, berkeluarga–saya belum pernah merasakan menyukai orang, mungkin belum bertemu dengan yang klop atau memang tak romantis saja.  Yah, singkatnya saya seumur hidup tidak pernah pacaran. 

 

 

Untuk beberapa orang, status jomblo dari lahir adalah hal yang ‘memalukan’. Bagaimana tidak, jomblo shaming adalah bagian dari budaya kita yang tampaknya susah mati. Menurut Aliah Novianti, yang juga jomblo sejak orok, menganggap rendah seseorang hanya karena status lajang sangat lebay. Pasalnya, status lajang itu bukan pertanda ‘nilai’ seseorang rendah daripada mereka yang memiliki pasangan.

“Terus single shaming langgeng karena adat kita yang mengharuskan seseorang untuk punya pasangan,” ujarnya. 

Untuk Aliah sendiri, statusnya itu bukan suatu hal yang memalukan karena menjadi lajang sejak dulu bukan sesuatu yang harus ditutup-tutupi. Selama ini dia juga mengaku tidak pernah diejek dan ketika ada komentar terkait itu semuanya dalam bentuk guyonan. Keluarga pun tidak memaksanya untuk memiliki pasangan, layaknya keluarga Asia pada umumnya pendidikan nomor satu. 

“Saya dan circle-ku bawa santai aja semua. Komentarnya enggak pernah yang buat sakit hati sampai risi,” ujar perempuan yang seusia dengan saya. 

Kalau ditanya soal kenapa melajang sampai saat ini Aliah pasti menjawab karena memang tidak kebelet mau pacaran. Meski begitu, dia masih terbuka karena meluaskan relasinya dengan aplikasi kencan, tapi akan cepat bosan karena lagi-lagi belum ingin menjalin relasi.Mengutip perkataannya kepada saya: “Kadang pengen, kadang juga tidak. Soalnya relasi romantis bukan prioritas. Kalau ada (yang suka dan mau pacaran) ya Alhamdulillah, kalau tidak ya biasa saja.”

Baca juga: Dicari: Khatib Nikah yang Tidak ‘Cringey’

Perkara tidak memprioritaskan pacaran ini juga agak mirip dengan teman semasa SMA saya, “Lana”. Sama seperti Aliah, Lana juga memilih fokus menyelesaikan tesis yang tidak ada habisnya. Tapi, pilihannya menjadi lajang juga sebagian besar didorong atas ketakutannya akan komitmen. 

“Saya sejujurnya takut melihat orang pacaran, menikah, atau hubungan jangka panjang karena harus terikat dengan orang lain. Saya enggak pengen seperti itu, jadi kurang bebas,” kata Lana. 

Dia belum tahu pasti penyebab dari ketakutan atas komitmen itu, namun yang jelas Lana bukan seseorang yang memang fokus pada aspek romansa kehidupan. Bukan genre yang dia sukai, ujarnya. Saya pun bertanya apakah dia sebenarnya anti-romantis?

“Sebenarnya tidak juga, karena kalau saya membaca cerita tentang pasangan fiksi kesukaan saya pasti luluh juga, tapi untuk percintaan di dunia nyata malah sebaliknya, masih belum luluh,” ujar Lana.  

Baca juga: Alasan Sebenarnya Orang Gemar Lecehkan Lajang

Kami dan Jo March ‘Little Women’

Alasan Aliah dan Lana melajang agak mirip dengan saya karena memang belum mau saja. Namun, Andi Hana, perempuan lajang seusia dengan kami punya alasan yang cukup berbeda. Hana mengatakan, sebenarnya dia ingin menjalin relasi dengan seseorang secara romantis karena nantinya ada yang bisa diajak bercanda receh sampai disetirin. Tapi, dia belum siap menjalin hubungan yang serius karena pasti ada konflik yang mungkin ia tidak bisa selesaikan dengan baik. 

“Saya mau punya pacar, tapi saat ada masalah dan buat berantem caraku menyelesaikan masalah bisa bikin relasinya makin buruk. Jadi sabotase hubungan sendiri. Saya juga masih ada isu people pleaser, attachment, dan abandonment issues,” kata Hana. 

Hana memang bertemu dengan laki-laki secara virtual, tapi kandas karena ketakutan itu dan memang lebih memilih bertemu di dunia nyata atau secara organik. Namun, akibatnya Hana merasa kesepian, afeksi dari teman dan keluarga tidak cukup. Pasalnya, semandiri apapun seseorang pasti membutuhkan afeksi yang membuatnya merasa nyaman, ujarnya. 

Perkataannya pun mengingatkan saya pada Jo March dalam film Little Women (2019) garapan sutradara Greta Gerwig. Karakter yang diperankan Saoirse Ronan itu mengucapkan satu hal yang selama ini saya rasakan, tapi tidak tahu cara mengungkapkannya.

Women have minds and souls as well as just hearts, and they’ve got ambition and talent as well as just beauty. And I’m sick of people saying that love is all a woman is fit for. I’m, so sick of it! But, I’m so lonely,” ujarnya.  

Sebetulnya pesan yang disampaikan Jo March cukup powerfull, ia ingin menunjukan perempuan itu punya lebih banyak hal yang bisa dilihat ketimbang hanya kecantikan semata. Namun, dia juga tidak menampik rasa kesepian yang dirasakan. Jo menyampaikan pesan tidak apa-apa bersikap jujur dengan rasa kesepian. 

Baca juga: Melajang Bukan Karena Tak Ketemu Jodoh, Tapi Karena Jodoh Tak Sesuai Harapan

Bagi saya, menjadi feminis juga tidak menolak afeksi dari orang lain. Namun, ekspektasi yang mengkotakkan itu, juga mengolok-olok mereka yang berstatus lajang adalah sebuah kesalahan yang harus segera diperbaiki. Apalagi jika belum pernah merasakan berada dalam hubungan romantis seumur hidup. Layaknya tamu undangan salah kostum, orang akan menganggapmu aneh.

 Memang argumen hidup berpasangan itu lebih menyenangkan dan memang cukup valid. Tapi, tidak peduli seberdaya apapun seseorang dan dalam status apapun, sebagai makhluk sosial pasti membutuhkan orang lain. 

Hana juga menyampaikan hal senada yang diumpamakan seperti ini, sebagai seorang giver atau orang yang selalu memberi untuk orang lain, dia akan tetap merasa kosong jika terus memberi tanpa diapresiasi. Karenanya, rasa kesepian itu pun muncul, ujarnya. 

“Misalnya saya dan kamu. Saya bantu terus dan tidak memperlihatkan sisi vulnerable. Saya mau dilihat kuat. Tapi ada bagian kosong karena saya tidak cukup menerima. Kita bisa memberi dan memiliki afeksi, tapi kesepian juga,” kata Hana. 

“Menurutku, kesepian itu sesuatu yang tidak bisa dihindari karena ada satu bagian (dalam diri seseorang) yang merasakan itu,” 

Lana yang keras soal cinta-cintaan juga mengaku kadang merasa kesepian dan iri ketika melihat  temannya dimanja sang pacar. Tapi itu tidak membuatnya tergoda untuk segera punya pasangan karena kadang kesepiannya butuh afeksi platonic dari teman. 

“Saya memang sering tweet kalau kesepian dan butuh afeksi, tapi perasaannya di situ saja. Hanya momen sepersekian detik dan setelahnya hilang lagi. Perasaan itu pergi secepat dia datang,” ujarnya.

Dia memang sangat kukuh belum ingin pacaran dan menikmati kemandirian untuk mengenal dirinya lebih dalam. Namun, saya tidak bisa menahan tanya apakah sikapnya akan tetap sama dua atau lima tahun ke depan?

“Suatu saat sih mungkin akan berelasi romantis dengan seseorang. Dalam jangka panjang saya juga mikir sepertinya harus menikah, tapi ini yah lagi-lagi karena saya anak pertama dan perempuan,” balasnya. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Tabayyun Pasinringi

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *