Nessie Judge, Miskonsepsi Jurnalisme, dan Pentingnya ‘Consent’ Para Kreator
Belakangan ini netizen mengungkap, Nessie Judge membuat konten daur ulang tanpa izin dari pemilik aslinya. Ini mengingatkan kita, pentingnya ’consent’ dalam produksi konten
Kira-kira dua pekan lalu, Youtuber Nessie Judge masuk jajaran trending di Twitter. Kali ini, Nessie dituding membuat konten daur ulang, tanpa meminta izin pemilik yang bersangkutan. Berdasarkan pengakuan netizen, hal itu tidak dilakukan Nessie sekali dua kali.
Salah satu netizen yang mengalami, adalah pemilik akun dengan handle @evenighx. Ia pernah bikin thread soal penampakan makhluk astral, ketika swafoto di hotel bersama teman-temannya. Kemudian, Nessie mengemasnya menjadi video di Youtube channel-nya, tanpa izin.
Merespons tuduhan konten daur ulang, Nessie mengatakan konten-konten Youtubenya dibuat berdasarkan permintaan subscribers. Lalu mencantumkan sumber agar penonton mengetahui asal kontennya.
Tak dimungkiri, era digital memudahkan akses informasi. Yang masih gagal dipahami, kreator konten menganggap pencantuman kredit sama halnya dengan mendapatkan izin dari pemilik konten. Anggapannya, sesuatu yang viral telah menjadi konsumsi publik, sehingga bebas dinarasikan ulang. Artinya, mereka belum memahami, consent juga diperlukan dalam memproduksi konten.
Pentingnya Consent Saat Bikin Konten
Mungkin selama ini masyarakat lebih familier dengan istilah consent, dalam konteks hubungan seksual. Padahal, consent juga berlaku dalam banyak hal.
Pada dasarnya, consent merupakan prinsip yang didasarkan pada hak asasi manusia, rasa hormat, dan penghargaan. Maka itu, lingkupnya tidak hanya mencakup aspek intimasi seksual, tetapi menjadi etika dalam menghargai orang lain.
Dalam membuat konten, penghargaan dilakukan kreator yang ingin menyadur konten, dengan meminta kesediaan pemilik sebelum menayangkannya. Persetujuan yang diberikan juga harus spesifik, tanpa paksaan, tekanan, maupun manipulasi. Sebab, menyetujui suatu hal bukan berarti berlaku pada yang lainnya.
Salah satu kreator yang melupakan consent adalah Zavilda, pemilik channel Youtube Zavilda TV. Ia memaksa orang-orang yang ditemuinya di jalan untuk berjilbab. Dalam video berjudul “Innalilahi Cewek Cantik Buang Hijab Hingga Buat Ukhti Ini Nangis!!”, Zavilda menghampiri seorang perempuan, kemudian bertanya, “Permisi kak, mau pakai hijab enggak?”
Baca Juga: Konten Prank Sampai Mandi Lumpur: Fenomena Konten-konten Nyeleneh Masa Kini
Awalnya, Zavilda tidak menghiraukan agama yang dianut. Begitu tahu perempuan yang menolak “ajakannya” seorang muslim, Zavilda menceramahinya dengan nilai-nilai ajaran Islam. Tak lupa mengingatkan, hijab adalah kewajiban bagi perempuan muslim. Sampai akhirnya perempuan tersebut berubah pikiran, dan setuju mengenakan hijab.
Sejak awal, perempuan tersebut tidak memberikan consent pada Zavilda. Ia menyetujui permintaan Zavilda, usai dinasihati. Pun bukan berarti kesanggupan itu diberikan atas dasar kesediaan.
Dalam kontennya, Zavilda jelas tidak menghargai jawaban orang lain. Ia tidak menerima pernyataan tidak, dan melanggar batasan yang berusaha ditetapkan lawan bicaranya. Bahkan mengontrol otoritas tubuh orang lain, di balik kedok ajaran agama.
Kontrol itu pula, yang mungkin menggerakan perempuan dalam video-video Zavilda untuk berhijab. Mereka mengatakan “ya” demi memenuhi keinginan sang kreator, bukan atas kesadaran penuh yang bertujuan untuk dirinya. Dengan kata lain, ada relasi kuasa dan tekanan yang dirasakan. Toh tanpa melibatkan consent, seharusnya konten sejenis ini tidak layak diproduksi.
Sementara pada konteks menyadur konten—seperti dilakukan Nessie Judge, ia mengambil keuntungan dari cerita orang lain. Pada 2021, Social Blade, situs analitis media sosial berbasis di Amerika Serikat, mencatat perkiraan penghasilan Nessie pada 2021. Yakni di kisaran Rp104 juta, hingga Rp1,66 miliar. Dengan jumlah subscribers pada saat itu lebih dari delapan juta—kini Nessie memiliki lebih dari sembilan juta subscribers.
Penghasilan dan jumlah subscribers itu menunjukkan popularitas Nessie di dunia maya. Popularitas itulah yang memosisikan Nessie, sebagai figur publik, cenderung memiliki kedudukan lebih kuat dibandingkan audiensnya.
Baca Juga: Tak Mesti Sensasional, Kreator Juga Perlu Buat Konten Berpihak pada Kemanusiaan
Dengan nilai ketokohan tersebut, ada anggapan ia bebas menarasikan ulang konten yang dipublikasikan orang lain—meskipun tanpa persetujuan. Nessie, mungkin juga bersama timnya, menyederhanakan perizinan hanya dengan menyertakan sumber ketika konten dipublikasikan.
Pekerjaan Kreator Konten Berbeda dengan Liputan Jurnalisme
Merespons twit @evenighx, Nessie menyatakan yang dilakukannya merupakan bagian dari liputan—bahkan menyamakan dengan pemberitaan media dalam melaporkan sesuatu yang viral di media sosial. Padahal, terdapat perbedaan antara peliputan oleh jurnalis, dengan konten yang diproduksi kreator.
Pertama, jurnalis memverifikasi informasi dalam melakukan pemberitaan. Hal ini menjadi tanggung jawab jurnalis, menyajikan informasi yang kredibel dan akurat ke publik. Sebagaimana salah satu fungsi pers untuk mengedukasi masyarakat, berita yang disampaikan harus berupa fakta. Tidak mengandung rumor, gosip, ataupun propaganda.
Prinsip tersebut berkaitan dengan sikap kritis dan skeptis yang harus dimiliki jurnalis. Kedua sikap itulah yang membantu mengungkap fakta dari sebuah peristiwa.
Sementara kreator seperti Nessie, kebanyakan membuat konten berdasarkan yang ramai dibicarakan di media sosial, tanpa mengonfirmasi kebenarannya. Mereka melihat pembahasan yang ada berpotensi diolah menjadi konten, dengan menyesuaikan karakteristiknya. Padahal, yang mereka sampaikan kemungkinan adalah rumor atau gosip.
Selain nihilnya konfirmasi, penyertaan sumber yang dilakukan kreator juga belum tentu menunjukkan kredibilitas atas informasi yang disampaikan. Ini menjadi faktor lain yang membedakan jurnalisme, dengan konten dari kreator. Pasalnya, di setiap peliputan, jurnalis perlu melibatkan sumber terpercaya—salah satu bentuk pertanggungjawaban ke publik terkait pemberitaannya.
Hal itu sekaligus menyangkut transparansi dalam menyajikan berita. Dalam hal ini, transparansi dibutuhkan untuk membangun kepercayaan publik, mengingat banyaknya kesalahan informasi yang beredar—terutama di era digital dengan masifnya hoaks dan misinformasi. Maka itu, jurnalis membangun transparansi dengan menjelaskan ke publik, lewat pengambilan keputusan dan pemilihan sumber dalam suatu peliputan.
Baca Juga: Ria Ricis dan Perkara ‘Semua Demi Konten’
Lebih dari itu, berita yang dihasilkan jurnalis juga perlu memiliki dampak dan kedekatan dengan pembaca. Keduanya menjadi penentu, apakah peristiwa layak diberitakan dan terdapat urgensi diketahui publik. Berbeda dengan tujuan pembuatan konten yang menarik perhatian audiens dan calon audiens, dengan menyajikan informasi yang bermanfaat dan interaksi yang berkualitas.
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan jurnalisme dan pembuatan konten merupakan dua hal berbeda.
Perlunya Standar Komunitas di Media Sosial
Berbagai platform media sosial—Google, TikTok, dan Meta—sebenarnya memiliki community guideline dalam pembuatan konten. Kreator pun harus mengikuti panduan tersebut.
Misalnya Youtube. Pedoman mereka mengatur untuk tidak memproduksi konten sensitif, menyangkut hal-hal vulgar dan seksual, bunuh diri dan perilaku menyakiti diri sendiri, serta memperhatikan perlindungan anak. Kemudian menghindari misinformasi, serta konten yang membahayakan dan mengandung kekerasan.
Sayangnya, sejauh ini belum terdapat peraturan tertulis mengenai industri kreator konten. Termasuk batasan memproduksi konten daur ulang. Kekosongan itu memberikan kebebasan bagi kreator dalam menciptakan konten, sehingga mengesampingkan etika dan etiket di media sosial.
Untuk mengatasi permasalahan ini, penyedia platform perlu menyusun standar komunitas. Standar itulah yang akan meregulasi batasan pembuatan konten, sebagai upaya preventif terjadinya pengambilan informasi tanpa izin.
Kemudian, penyedia platform juga dapat mengkurasi konten yang dihasilkan kreator sebelum dipublikasikan. Tujuannya adalah kembali menyeleksi, apakah konten sudah memenuhi standar komunitas yang ditetapkan untuk pembuatannya.
Di samping itu, publik juga perlu meningkatkan literasi terkait consent dalam pembuatan konten. Bahwa setiap opini yang disampaikan di media sosial bersifat pribadi, sekalipun telah disampaikan di forum publik dan menjadi konsumsi orang banyak.
Karena itu, diperlukan consent ketika kreator maupun media hendak melakukan pengutipan, ataupun menyadur dalam bentuk konten. Pun sebagai pemilik konten atau informasi, publik berhak tidak memberikannya.
Lalu, ketika melihat kreator yang konten produksinya mengandalkan hal-hal viral di internet, tetapi tidak meminta consent, publik berhak mengingatkan—supaya menjadi koreksi bagi kreator. Atau menyatakan keberatannya, seperti dilakukan @evenighx lewat cuitannya kepada Nessie.
Sementara kreator yang tidak meminta perizinan, seharusnya pun mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada pemilik informasi. Tanpa bersikap defensif dan mengutamakan ego.