Novel Mantan Idola K-Pop Ungkap Aturan Lebih Ketat Buat Perempuan
Novel ‘Shine’ oleh Jessica Jung menggarisbawahi bagaimana larangan pacaran lebih ketat berlaku bagi idola atau ‘trainee’ perempuan.
Aturan tidak boleh pacaran yang dilekatkan pada idola K-pop atau trainee—sebutan untuk mereka yang sedang menjalani pelatihan untuk idola K-Pop—sebetulnya sudah menjadi rahasia umum. Kesaksian atas aturan untuk mempertahankan status lajang itu sudah didiskusikan banyak penggemar, diusut dalam artikel, dan baru-baru ini dikisahkan dalam sebuah novel yang ditulis oleh mantan idola K-pop, Jessica Jung.
Jung adalah anggota grup idola Girls Generation atau Sonyeo Shidae (SNSD) sebelum ia meninggalkan grup itu pada 2014 dan kini berbisnis fashion dan menulis buku. Meskipun novel Shine, yang diluncurkan pada September 2020, adalah karya fiksi, keseharian tokoh utama bernama Rachel terinspirasi dari pengalaman sang penulis ketika menjadi trainee di salah satu agensi hiburan besar Korea Selatan, SM Entertainment.
Secara keseluruhan Shine seperti kritik dari Jung akan aturan seksis industri K-Pop, seperti aturan K-Pop tanpa pacaran yang secara spesifik lebih menyasar idola perempuan. Ia menyampaikannya lewat Rachel, remaja Korea-Amerika 17 tahun yang bermimpi menjadi idola K-Pop. Ia menjalani masa pelatihan di DB Entertainment, dan kemudian terpilih untuk menyanyikan lagu bersama Jason, bintang kebanggaan industri, dan trainee saingannya, Mina. Saat itu pula ia menjalani hubungan rahasia dengan Jason dan melihat bagaimana agensi melanggengkan standar ganda lewat aturan itu.
Baca juga: Fanatisme atas K-Pop dan Opresi Terhadap Perempuan
Larangan memang berlaku untuk laki-laki dan perempuan, baik trainee maupun idola. Meskipun begitu, Rachel dan kawan trainee perempuan lainnya harus mengikuti pelatihan khusus untuk menanamkan kalimat “terlalu sibuk” atau “belum ingin menikah” agar ketika menjadi idola nanti bisa memberikan jawaban dengan mulus saat diwawancarai. Tentu juga untuk menyenangkan hati eksekutif agensi dengan status lajang mereka. Sementara idola laki-laki bahkan trainee tidak menerima perlakukan yang sama dan menganggap itu sebagai gertakan semata untuk membuat mereka takut, tulis Jung dalam novel ini.
Sudut pandang Rachel yang tampak seperti refleksi pribadi Jung, bagaikan jendela baru dan memberi afirmasi bahwa industri dan agensi memang “memiliki” seorang idola, terlebih perempuan. Jika idola perempuan K-pop melanggar aturan itu, mereka harus membayar mahal lewat penciptaan citra buruk agar si idola perempuan menderita dan dirundung publik. Sedangkan untuk idola laki-laki, mereka bisa melenggang bebas tanpa harus menerima hukuman, seperti idola perempuan. Mengutip dari buku ini: “It’s one set of rules for them and another set of rules for us.”
Jung menyiratkan bahwa dalam industri K-Pop, perempuan adalah korban. Eksekutif agensi hanya menginginkan idola perempuan yang sempurna, mudah diatur sesuai standar agensi, dan lajang agar tetap diinginkan publik.
Sebagai penggemar K-Pop, saya hanya bisa menyaksikan dari kursi penggemar ketika ada informasi seorang idola berkencan. Tidak mungkin saya menerima informasi dari “orang dalam” industri, saya hanya bisa melihat agensi memberi tanggapan itu benar, tidak benar, bahkan tidak menjawab. Meskipun begitu, saya bisa menyaksikan standar ganda dan seksisme ini juga dilanggengkan penggemar, bahkan hanya jika terlibat sedetik dengan idola laki-laki.
Baca juga: BTS dan ARMY: Bongkar Hegemoni Industri Musik dan Stereotip Fangirl Obsesif
Dalam Shine, situasi itu dialami Rachel dan Mina. Bagaimana publik kerap melontarkan komentar merendahkan, slut shaming, dan menyerang fisik karena mereka menyanyikan lagu bersama idola laki-laki favorit mereka. Penggemar tidak ingin keduanya berasosiasi dengan Jason karena si idola laki-laki “pantas” mendapatkan yang terbaik. Tentu saja di dunia nyata tidak semua penggemar suka melemparkan komentar misoginis kepada idola perempuan. Namun, aksi yang dilakukan penggemar yang toksik masih bisa disaksikan sampai saat ini.
Karakter dua dimensi
Standar ganda tidak berhenti di situ saja, staf dan pelatih agensi melakukannya lewat standar fisik mencekik seperti harus tetap kurus dan fit. Jika tidak bisa menyesuaikan dengan standar itu, maka harus bermental baja dan siap menerima komentar kejam para staf. Ketika Rachel dan Mina mengalami kenaikan berat badan, mereka dianggap lalai dan tidak mematuhi peraturan. Jauh berbeda dengan Jason yang lebih leluasa untuk berperilaku dan menikmati apa yang ia inginkan.
Mina dan Rachel yang memiliki status trainee dan seorang perempuan membuat mereka gampang dijadikan kambing hitam. Keduanya disalahkan oleh staf dan pelatih agensi untuk hal kecil yang juga dilakukan idola laki-laki. Bahkan dalam wawancara bersama Jason, mereka dianggap bukan subjek menarik dan hanya menerima pertanyaan yang tidak relevan dengan karya musik mereka.
Hubungan Rachel dan Mina sangat krusial karena mereka sadar akan seksisme yang dihadapi. Sayangnya, Jung lebih berfokus pada persaingan remeh temeh antar perempuan. Mina digambarkan sebagai anak manipulatif yang suka menyalahgunakan kekuatan ayahnya. Dalam pemahaman dan gaya drama murahan, Mina dianggap patut dibuat jera.
Shine menjadi sebuah ironi karena melakukan protes atas aturan industri yang melemahkan perempuan, tapi di saat bersamaan cenderung menjatuhkan sesama perempuan.
Penggambaran Mina sebagai karakter dua dimensi yang hadir sekedar sebagai mean girl untuk menyiksa Rachel sangat disayangkan. Dalam konteks lebih besar dan bagaimana Jung terus menggarisbawahi seksisme, ia bisa menjadikan keduanya sebagai agen pendorong perubahan melawan standar ganda industri K-Pop. Jung yang fokus pada permusuhan perempuan juga dikritik penggemar karena dianggap menyudutkan SNSD.
Shine menjadi sebuah ironi karena melakukan protes atas aturan industri yang melemahkan perempuan, tapi di saat bersamaan cenderung menjatuhkan sesama perempuan.
Rasialisme terhadap imigran
Di antara segala tantangan menghadapi standar ganda dari publik maupun agensi, Rachel juga takut dirinya akan melewati “masa prima” sebagai remaja dan mempersempit kesempatan untuk debut. Ketika seorang idola K-Pop perempuan telah dianggap ‘berumur’ maka akan sangat sulit untuk melejitkan karier.
Lalu di antara semua kesulitan yang ia hadapi, apa yang membuatnya bersikukuh menjadi idola Kpop?
Saat tinggal di New York Rachel menghadapi aksi rasisme, seperti diolok-olok karena budayanya, dianggap semua orang Asia berwajah sama, dan diteriaki untuk pulang ke negaranya. Ia merasa ditolak dunia dan satu-satunya hal yang membuatnya merasa diterima dan nyaman dengan identitasnya adalah K-Pop.
Serupa dengan Rachel, Jung berasal dari Amerika, tepatnya San Francisco. Meskipun begitu, Jung tidak pernah bercerita secara eksplisit tentang pengalamannya menghadapi rasialisme di Amerika. Pandangan yang dia sampaikan dalam buku ini menjadi protes perbuatan rasialis masyarakat global dan pengucilan orang yang dianggap “asing” di Korea Selatan.
Baca juga: Menjadi Fangirl Oppa dan tetap Berdaya: ‘Mission Possible!’
Ketika Jung mengumumkan novel pertamanya tentang perjalanan trainee K-Pop untuk debut, fans secara global geger dan mengatakan Jung akan “menumpahkan teh” tentang sisi gelap industri. Informasi yang akan dipaparkannya melalui Rachel menjadi penting karena Jung adalah sosok besar di industri dengan pengalaman dari salah satu agensi top Korea Selatan. Ini seperti menerima informasi dari narasumber utama sebuah berita.
Meskipun begitu, kehidupan trainee tentang sisi persaingan ketat dan harus mengikuti evaluasi bulanan dari para eksekutif yang ditulis Jung sudah diketahui penggemar K-Pop. Hal serupa disampaikan dalam dokumenter Light Up The Sky milik BLACKPINK serta unggahan video seorang mantan trainee di YouTube, sehingga tidak ditemukan informasi baru tentang kehidupan trainee.
Shine lebih mengingatkan pada novel teenlit yang mudah dicerna dengan plot yang cheesy, tapi juga merangkum semua isu yang dihadapi perempuan di industri K-Pop. Ini adalah buku pertama dari Jung. Tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti Jung akan membuat semacam The Princess Diarist—memoar dari mendiang aktris Carrie Fisher tentang hidupnya selama masa jaya Star Wars—versinya tentang K-Pop. Mudah-mudahan jika saat itu tiba, ia akan lebih mengemukakan emosi mentah dari kacamatanya langsung tentang industri, seperti yang dilakukan Fisher bersama memoarnya.