Lifestyle

Oleh-oleh dan Perkara Kesenjangan yang Terlupakan

Sebagian dari kita mungkin kontra membeli oleh-oleh setelah bepergian. Namun, bukan berarti kita bebas nyinyir kenapa seseorang melakukan ini.

Avatar
  • December 16, 2021
  • 6 min read
  • 810 Views
Oleh-oleh dan Perkara Kesenjangan yang Terlupakan

Sepulang berpelesir, studi, atau bekerja dari tempat nan jauh dari kampung halaman, lazim sekali orang membawa sejumlah oleh-oleh untuk keluarga dan teman-temannya. Sebagian dari mereka boleh jadi membawanya karena titipan, yang lainnya mau memperlihatkan aksi kebaikan atau tak mau dianggap pelit. Ada juga yang membeli oleh-oleh karena ingin menunjukkan, “Gue baru pulang dari sini, lho,” sekadar ingin menunjukkan gengsi kepada sanak saudara dan sahabat. 

Lantas seiring “membudayanya” kegiatan membeli oleh-oleh ini, sebagian orang lain mulai mengkritiknya karena dianggap memberatkan seseorang yang baru bepergian. Memang dikira membeli oleh-oleh enggak pakai uang? Apalagi kalau yang diberi bukan cuma satu dua orang. Belum lagi tambahan beban yang harus diangkutnya ketika cenderamata yang dibawa lumayan berat. Seruan untuk setop meminta oleh-oleh pun kerap kita dengar sekarang ini.

 

 

Terlepas dari dua pandangan berbeda soal membawa oleh-oleh ini, saya punya cerita sendiri yang menyiratkan makna berbeda dari tindakan itu.

Pada awal Desember lalu, asisten rumah tangga saya, Nela kembali ke kampungnya di Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk seterusnya setelah hampir setahun bekerja di Jakarta. Keputusannya ini didasari keinginan untuk mengurus anak yang ia tinggalkan sejak usia tiga bulan. Meski berat, saya tentu saja tak dapat menghalanginya pergi karena saya bisa membayangkan sulitnya berpisah dengan anak sendiri yang masih sangat muda.

Baca juga: Oleh-olehnya Jangan Lupa!

Sesaat sebelum mudik, Nela meminta tolong pada saya untuk mencetakkan foto-foto yang ada di ponselnya. Ia yang sudah saya ajari belanja online juga membeli berbagai barang untuk dibawa pulang. Mulai dari baju untuk anak, adik, dan keponakannya, mainan bocah, sepatu untuk mama dan suaminya, alat cukur, pakaian untuknya sendiri, tas, selimut, hingga gorden. Hampir tiap hari tukang paket datang mengantar barang-barang pesanannya itu, sampai saya bertanya-tanya, berapa uang yang sudah dia habiskan untuk ini? Bukankah gaji yang diterimanya lumayan mepet untuk belanja segini banyak?

Mungkin ada orang di luar sana ada yang berpikir, ya elah, ngapain, sih beli barang-barang kayak gitu? Norak amat. Kayak enggak ada aja di sana.

Memang, barang-barang yang Nela beli bukan barang khas Jakarta dan bisa ditemukan di tempat asalnya. Namun, kita tak boleh lupa ada kesenjangan kondisi kota dan pelosok yang membuat tindakan membeli oleh-oleh Nela jadi masuk akal dan sangat bisa dimaklumi.

Saat anak saya sedang memainkan rebana, Nela pernah bertanya harga barang itu. Saya jawab, murah kok, enggak nyampe 20 ribu. Lantas dia bilang, di kampungnya, alat musik itu sering dipakai di kelas-kelas sekolah Minggu anak-anak dan kelompok musik, dan harganya jauh lebih mahal. “Malah ada yang 100 ribu, Kak,” kata Nela. Tak heran, sedikit anak yang punya rebana macam milik anak saya itu. 

Kemudian, ia juga bercerita soal tas yang di sini dibanderol 20-50 ribuan, di kampungnya bisa dijual di atas 100 ribu. Perbedaan harga yang dua kali lipat atau lebih juga diakuinya untuk kaus-kaus oblong yang sering dijajakan di pasar malam di Jakarta.

Baca juga: Ruang (Ny)aman: ‘Solo Traveling’ Penting Bagi Perempuan

Dengan adanya fasilitas e-commerce, tentu berbelanja kian mudah dan banyak pilihan produknya saat ini. Namun tetap saja, bagi orang-orang seperti Nela, melakukan itu enggak gampang. Mau memesan barang murah meriah dari toko yang ada di Pulau Jawa? Tetap saja Nela mesti bayar mahal karena ongkos kirimnya enggak ketulungan. Saya pernah mengirim paket seberat enam kilo ke kampung Nela yang menghabiskan uang setengah juta rupiah. Itu pun tibanya sampai membikin rindu, hampir sebulan baru sampai di tangan mama Nela dan mesti dijemput di kantor agen ekspedisinya di pusat kota, karena alamat Nela susah dicari dan ponsel mamanya sedang tak bisa menerima telepon. 

Pernah juga saya mencoba mencari toko di e-commerce yang menjual boneka, yang lokasinya paling dekat dengan kampung Nela–kebanyakan di Kupang, NTT. Kalau harganya tak dobel, ongkos kirimnya masih saja mahal. 

Karenanya, barang-barang yang Nela beli, yang sering kali taken for granted oleh orang-orang kota sebagai barang yang jamak, murah, basic needs yang gampang didapat, menjadi barang yang “wah” baginya. Ia sampai bela-belain menghabiskan sekian ratus ribu gajinya untuk hal itu, mau membawa-bawa tas besar sampai empat buah saat pulang kampung, dan saya bisa sangat memakluminya. Terlebih ketika ia bilang baju anaknya sangat terbatas, tak ada mainan bayi di rumahnya, serta tas dan sepatu di rumah sudah pada jebol. 

Membeli oleh-oleh jelas bukan perkara gengsi bagi Nela, melainkan memenuhi kebutuhan “remeh” yang masih saja sulit ia jangkau ketika ada di kampung. Hal itu juga merupakan upayanya mengatasi kesenjangan yang mungkin luput dari perhatian kita. 

Pernah saya sisipkan obat penurun demam dan vitamin untuk anak Nela dalam paket seharga setengah juta tadi, setelah Nela bercerita anaknya sering sakit. Ini saya lakukan setelah Nela bercerita, apotek hanya ada di pusat kota dan tentu harga barang-barang itu lebih mahal dari di Jakarta. 

Soal anak Nela yang sering sakit, saya duga salah satu faktornya adalah kurangnya asupan gizi dalam makanan yang anaknya makan. Betapa tidak, sehari-hari sejak usia empat bulan, anaknya hanya diberi bubur tok, tanpa lauk, tanpa sayur. Alasan mamanya yang mengurus anak Nela, selain masalah uang yang kurang (anggota keluarga di rumah Nela yang harus diberi makan ada enam), nanti kalau si anak sering diberi lauk, jadi manja dan enggak mau makan apa adanya. Yasalam… 

Sependek pengetahuan saya, justru memberi asupan gizi cukup yang mengikutsertakan protein dan vitamin jauh lebih penting sejak bayi dibanding nanti setelah lebih besar. Ini kesenjangan lain yang bikin saya menelan ludah juga saban Nela bercerita tentang keluarga dan kampungnya. Kalau bukan karena membuat Nela repot membawa-bawa banyak tas, mungkin saya juga sudah membekali Nela dengan berkardus-kardus susu juga yang, lagi-lagi, lebih murah harganya di Jakarta.

Tinggal di Pulau Jawa atau kota-kota besar di Indonesia jelas suatu privilese yang masih tak disadari oleh banyak orang. Kemudahan akses ke berbagai fasilitas umum dan menjangkau bermacam barang tanpa menguras kocek adalah hal yang belum dapat dinikmati semua warga negara ini, khususnya teman-teman kita di pelosok Timur sana. 

Karenanya, langsung memandang negatif orang yang membawa banyak sekali oleh-oleh untuk keluarganya bisa jadi merupakan hal yang tak bijak. Kita tak pernah tahu kan, kondisi mereka di kampung seperti apa, kebutuhan mereka dan persediaan di sana bagaimana?   

Ilustrasi oleh Karina Tungari 

 


#waveforequality


Avatar
About Author

Patresia Kirnandita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *