December 5, 2025
Issues Politics & Society

Reformasi Kepolisian ala Polri dan Prabowo: Gimik atau Otentik? 

Tim reformasi kepolisian kembali dibentuk. Namun tanpa transparansi dan pelibatan masyarakat sipil, langkah ini berpotensi berhenti sebagai formalitas semata.

  • September 27, 2025
  • 4 min read
  • 1667 Views
Reformasi Kepolisian ala Polri dan Prabowo: Gimik atau Otentik? 

Usai bertemu beberapa tokoh dari Gerakan Nurani Bangsa (11/9) di Istana Negara, Presiden Prabowo dikabarkan setuju membentuk Komisi Reformasi Polri. Dari laporan KBR, langkah ini jadi respons pemerintah terhadap kritik publik pada institusi tersebut. 

Masih dari media yang sama, langkah ini dilanjutkan dengan pelantikan Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat dan Reformasi Kepolisian (17/9) lalu. Di lain tempat, menyitir laman resmi Polri, Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo juga resmi membentuk tim transformasi reformasi Polri internal. 

Meskipun baru dibentuk sekarang, sebetulnya, tekanan untuk mereformasi tubuh kepolisian sudah datang dari beberapa tahun ke belakang. Seperti yang terjadi pada 2021 lalu, Koalisi Reformasi Sektor Keamanan pernah mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR RI untuk mempercepat reformasi Polri. Melansir CNN Indonesia desakan ini muncul setelah maraknya kritik masyarakat lewat tagar #PercumaLaporPolisi. Keriuhan disinyalir datang dari kekecewaan masyarakat yang sudah menumpuk. 

Baca juga: Reformasi Polisi Bisa Dimulai dari Mendidik Aparat Muda, Begini Caranya 

Sekadar Gimik 

Meski dimaksudkan sebagai langkah transformasi, Maidina Rahmawati, Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menilai tim reformasi bentukan Polri berisiko mengganggu independensi upaya pembenahan kepolisian. 

“Harusnya isinya bukan polisi lagi. Masalahnya kan struktural, enggak boleh ada di proses benerin institusinya,” ujar Maidina. 

Hingga artikel ini ditulis, komite reformasi Polri bentukan Presiden Prabowo masih belum rampung tersusun. Menurut Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, belum ada nama-nama yang terkonfirmasi, meski diperkirakan ada sekitar sembilan orang anggota (Kompas, 22/9). 

Di sisi lain, tim reformasi internal yang dibentuk Polri sudah lengkap dengan 52 anggota polisi aktif, dan dipimpin oleh Kalemdiklat Polri Komjen Pol. Chryshnanda Dwilaksana. 

Kehadiran dua lembaga reformasi polisi membuat publik bingung. Prasetyo Hadi mengaku komisi reformasi Polri besutan Prabowo, dan transformasi reformasi polisi besutan Kapolri akan berbeda tugas. Sejauh ini pengakuan Prasetya Hadi, Mantan Menkopolhukam Mahfud Md telah bersedia bergabung bersama komisi reformasi.  

Maidina menambahkan, keterlibatan Polri dalam reformasi ini dikhawatirkan justru menghambat proses. Secara kultural, kepolisian memiliki corak militeristik dengan jiwa korsa yang mendorong solidaritas antarrekan, bahkan ketika ada anggota yang terbukti bersalah. 

Ia mencontohkan kasus Ferdy Sambo pada 2023, ketika banyak polisi terlibat dalam upaya menutupi kejahatannya. “Ini yang dikhawatirkan kalau polisi juga ikut dalam proses reformasi. Mereka itu punya jiwa korsa yang saling melindungi dan kita punya contohnya pada kasus Ferdy Sambo. Bisa dilihat bagaimana satu sama lain mereka saling melindungi,” jelas Maidina. 

Baca juga: Sejumlah Aktivis Ditangkap, Puluhan Orang Masih Hilang: Kebebasan Sipil Terancam

Dari Mana Seharusnya Memulai Reformasi? 

Keraguan serupa disampaikan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur. Menurutnya, baik komite reformasi bentukan Presiden yang dipimpin Ahmad Dofri maupun tim internal Polri yang diketuai Chryshnanda Dwilaksana tidak akan membawa perubahan signifikan. Ia menyinggung pengalaman sebelumnya saat mantan Kapolri Tito Karnavian meluncurkan motto Promoter (Profesional, Modern, dan Terpercaya), yang juga dinilai gagal mereformasi kepolisian. 

“Jadi kami sih sebenarnya melihat mereka hanya akan memperbaiki soal-soal minor saja, hal-hal teknis saja, tidak secara fundamental, tidak secara struktural, dan sistematis perbaikanya, padahal kebutuhannya memperbaiki secara sistematik,” katanya kepada Magdalene. 

Lebih jauh, Isnur menambahkan untuk mereformasi institusi dibutuhkan rencana, tim, skenario, dan teori-teori perubahan yang lebih radikal. Ia mencontohkan Georgia pernah melakukan tindakan radikal untuk mereformasi polisi. Saat itu Presiden Georgia Mikheil Saakashvili, tercatat memecat tiga puluh ribu anggota polisi yang dianggap korup. Setelahnya ia membuka rekrutmen polisi baru. 

Hasilnya dari pemecatan itu polisi-polisi baru Georgia bersih dari korupsi, masyarakat jadi percaya polisi, dan lebih humanis. “Ini menunjukan jika tidak ada tindakan radikal, maka ini komitmen setengah hati,” ujarnya.  

Selaras, Maidina bilang perubahan memang harus dimulai secara struktural agar lebih maksimal. Hal ini bisa dimulai dari pembedahan substansi undang-undang yang ada, yakni Undang-Undang Kepolisian dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru diimplementasikan ke struktur dan fungsinya. 

Saat ini, Listyo Sigit dinilai Isnur belum menghadirkan perubahan fundamental melalui moto Presisi (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi, Berkeadilan). Ia memang menyebut moto Polri dari masa ke masa terlihat baik secara konsep, tapi selalu gagal menjamin pelayanan maupun reformasi kepolisian yang ideal. 

Isnur menambahkan, momentum reformasi kepolisian kembali menguat setelah demonstrasi pada 28–31 Agustus lalu yang menewaskan sepuluh orang. Berkaca pada peristiwa itu, ia menilai seharusnya Polri mengembalikan peran sebagai alat rakyat, bukan sebagai pengabdi kekuasaan. 

“Dalam posisi demonstrasi mereka justru yang dijaga adalah pejabat negaranya kan, bukan jagain rakyatnya. Makanya gak heran saat sore dibubarkan, dipukul pakai gas air mata,” tutup Isnur. 

About Author

Syifa Maulida and Ahmad Khudori