Pengalamanku Tes Papsmear Sebagai Odhiv: Didiskriminasi pada Perempuan Belum Menikah
Permintaanku melakukan tes papsmear pernah ditolak karena kata dokternya, cuma perempuan yang sudah menikah yang boleh melakukannya.
Seks itu tabu bagi mereka yang belum menikah, seks sebelum menikah itu dosa. Kata-kata begini sering kudengar. Terutama dari orang-orang di sekitarku. Masalahnya, mereka sering tak menjelaskan lebih lanjut. Kelak ketika dewasa, aku sadar kalau ilmu tentang seks, seksualitas, dan segala di antaranya amat penting hadir saat kita tumbuh dari kanak-kanak jadi dewasa.
Baca juga: Memahami Kelainan pada Hasil Pap Smear
Usiaku 27, saat aku terinfeksi HIV dari pacar yang adalah pengguna narkotika suntik. Itu hubungan seksual pertamaku. Pacarku sedang sakit waktu pertama mendengar statusku. Kini, dia sudah meninggal. Dulu, kupikir aku akan meninggal di usia muda karena virus itu. Syukur, aku diselamatkan pengetahuan. Setelah mempelajari banyakhak tentang HIV dan isu turunannya, aku jadi punya semangat hidup. Berkat terapi ARV, aku perlahan pulih dan mencapai titik undetectable—situasi di mana virus HIV dalam tubuh Odhiv tidak terdeteksi dan tidak dapat menularkan.
Ternyata ada banyak kemajuan tentang pengobatan dan penanganan HIV dan AIDS yang belum masuk kategori pengetahuan umum.
Waktu itu, aku juga baru tahu bahwa perempuan yang pertama kali melakukan hubungan seksual dengan orang yang positif HIV, akan lebih rentan terinfeksi HIV dan infeksi menular seksual (IMS) karena terjadi luka saat berhubungan seksual. Setelah mendalami isu HIV pula, aku paham bahwa bukan jumlah pasangan seksual yang akan membuat seseorang terinfeksi HIV dan IMS. Melainkan, seberapa banyak pengetahuannya tentang hubungan seksual yang aman dan nyaman.
Belajar pula yang bikin aku merasa “stronger than ever”. Setelah banyak bertemu dengan perempuan-perempuan Odhiv lain di berbagai daerah, aku juga belajar banyak tentang masalah kesetaraan gender, kekerasan, kesehatan reproduksi, dan masalah runtutan lainnya yang berkelindan erat dengan masalah sistemik yang mengelilingi penanganan HIV.
Banyak dari mereka yang harus berjuang bekali-kali lipat karena ditinggal suami, anak terinfeksi, tidak punya pekerjaan tetap, dan jauh dari akses kesehatan dan pendidikan yang layak. Padahal ibu rumah tangga heteroseksual adalah kelompok paling tinggi yang tercatat sebagai Odhiv dan Odha di Indonesia.
Sebagai perempuan yang hidup dengan HIV, kesadaranku terhadap kesehatan reproduksi semakin meningkat. Belakangan, aku juga baru tahu kalau ada yang namanya tes papsmear—pengecekan kesehatan vagina yang harus dilakukan perempuan dan mereka yang punya vagina secara berkala, minimal dua kali dalam setahun. Akhirnya aku memutuskan untuk melakukan tes papsmear.
Baca juga: Perempuan Indonesia Rentan Kanker Serviks: Cegah dengan Vaksin HPV
Aku mencoba akses tes papsmear pertama kali pada 2004. Tahun itu berat sekali buatku karena mendapat penyakit penyerta yang diakibatkan AIDS. CD4—sel darah putih atau limfosit yang adalah bagian penting dari sistem kekebalan (imun) tubuh—ku waktu itu memang di atas 200, tapi belum di takaran wajar antara 500-1600. Tes CD4 adalah tes darah yang biasa dipakai untuk mengukur seberapa baik kondisi imun seseorang yang terinfeksi HIV.
Jadi, aku tengah berjuang untuk menaikan CD4-ku agar sistem imunku lebih baik. Sementara, tes papsmear adalah salah satu cara medis mengecek gejala kanker serviks pada perempuan dan mereka yang lahir dengan vagina. Sementara, data menyebut perempuan dengan HIV lebih rentan terpapar Human Papilloma Virus (HPV)—virus penyebab kanker serviks—dari mereka yang negatif HIV. Meskipun, sebuah penelitian di India pada 2016 menyebut tak ada korelasi antara tes papsmear abnormal dengan status imun (jumlah CD4) dan durasi terapi ARV, pengecekan vagina secara berkala dengan tes papsmear masih amat dianjurkan agar HPV bisa dideteksi lebih awal.
Waktu itu, aku memutuskan mendatangi rumah sakit tempatku mengambil ARV tiap bulan. Kupikir, rumah sakit yang sama bisa menghemat tenagaku untuk tidak menerangkan status HIV-ku berkali-kali pada perawat. Mereka kan punya rekaman medisku.
Aku mendaftar di layanan obgyn, menyerahkan KTP untuk menggenapi permintaan administrasi. Setelah menunggu di lorong rumah sakit bersama perempuan lain, seorang perawat membawa rekaman medisku memanggilku masuk ke ruangan. Ia menanyakan beberapa hal, terutama identitas. “Nama, tanggal lahir?” katanya. “Apakah sudah pernah melakukan papsmear sebelumnya?”
“Belum,” kataku.
Selanjutnya si perawat menanyakan apakah aku sudah pernah menikah.
“Belum,” jawabku lagi. Kali ini disusul tatapan dengan dahi mengernyit dari si perawat.
“Kamu tertular infeksi HIV dari mana?” tanyanya lagi.
Aku menjawab, dari pacar. Lalu aku disuruh menunggu di luar karena ada hal yang harus dikonsultasikannya pada dokter yang sedang bertugas.
Beberapa saat kemudian aku dipanggil ke dalam ruangan kembali, kali ini langsung berhadapan dengan sang dokter. Pertanyaan dokter pun sama dengan yang ditanyakan perawat. Lalu, dokter itu mengatakan kepadaku bahwa dia tidak bisa memeriksa papsmear karena cairan yang diambil dari bagian vagina saya itu dari bagian dalam vagina. Aku yang belum menikah menurutnya tidak bisa melakukan prosedur itu. Aku sempat terdiam dan berpikir keras.
Ia juga sempat bilang kalau rumah sakit itu adalah rumah sakit pendidikan, sehingga prosedur papsmear pada perempuan yang belum menikah tidak bisa dilakukan karena merupakan pendidikan yang tidak baik bagi masyarakat. Berhubungan seksual sebelum menikah adalah perbuatan melanggar agama dan dosa.
Saat itu aku mendebat, “Dok, saya ini sudah dewasa. Sudah melakukan hubungan seksual dan positif HIV. Saya ingin sekali tes papsmear supaya tahu kondisi kesehatan organ reproduksi saya.” Tapi, si dokter tetpa menolak. Aku pun pulang.
Aku sempat merasa kotor dan terhina sekali. Sempat berpikir, apa baiknya aku berbohong saja dan bilang sudah menikah siri. Mungkin prosedur papsmear ini bisa dijalankan.
Setelah kejadian itu aku melakukan konsultasi dengan beberapa dokter yang juga bekerja di rumah sakit itu. Aku menceritakan pengalaman yang tidak menyenangkan itu. Jawaban mereka sama, peraturan rumah sakitnya sudah seperti itu dan tidak bisa dilanggar. Risikonya, perawat dan dokter bisa ditindak, apalagi kalau sampai ada tuntutan dari pasien. Rumah sakit intinya tak mau repot.
Baca juga: 5 Hal yang Perlu Kamu Ketahui Soal Kanker Serviks Serta Gejalanya
Tapi, “Kalau semuanya berakhir jadi salah sistem, dan kesalahan ditujukan pada sistem. Kenapa tidak mengubah sistemnya? Kenapa mempertahankan sistem yang mendiskriminasi perempuan belum menikah, perempuan dengan HIV?” pikirku.
Dampak diskriminasi itu panjang dan dalam. Tahun 2o22 ini, aku setidaknya bertemu lima teman perempuan Odha meninggal karena kanker serviks. Mereka adalah istri, ibu, sahabat, dan anak dari orang tunya.
Seandainya pendidikan kesehatan reproduksi dan kesehatan organ genitalia dimudahkan dan tidak ditutup-tutupi pakai kelambu tabu, mungkin mereka masih hidup. Atau, kalau surga membolehkan mereka menulis esai seperti yang saya sampaikan saat ini, kita akan membaca kritik panjang tentang sistem rumah sakit dan kesehatan Indonesia yang masih bapuk dan mengecewakan mereka. Saat ini usiaku sudah 45 tahun, masih HIV, masih belum menikah, dan masih rajin memeriksakan kesehatan reproduksiku. Semoga aku masih sempat melihat perubah sistem itu, perubahan yang tidak lagi mendiskriminasi dan sampai menghilangkan nyawa.
ilustrasi by karina tungari