Korean Wave

Tanda-tanda Kita Ada di Fandom K-Pop Toksik dan Bagaimana Menyikapinya

Toxic fangirl atau fanboy itu ada dan nyata dan sering kali kita tidak sadar telah terjerumus bersama mereka.

Avatar
  • June 16, 2021
  • 4 min read
  • 1292 Views
Tanda-tanda Kita Ada di Fandom K-Pop Toksik dan Bagaimana Menyikapinya

Sudah bertahun-tahun saya menjadi seorang penggemar K-pop atau lebih sering dikenal dengan sebutan K-popers. Sejauh ingatan saya, K-pop mewarnai hidup saya sejak saya masih kelas 4 atau 5 SD. Waktu itu, informasi mengenai para musisi Korea yang bernyanyi dan menari dengan lagu yang catchy itu hanya bisa saya dapatkan melalui acara televisi—yang belum dipenuhi sinetron azab—dan dari majalah-majalah cetak yang masih berseliweran di toko-toko.

Sampai kini, setelah menginjak 22 tahun, kesukaan saya akan boyband, girlband, solois dan band K-pop semakin kuat. Dulu, playlist lagu Korea saya hanya dipenuhi oleh grup yang itu-itu saja. Kini, isinya menjadi lebih beragam. Bahkan pengetahuan saya mengenai dunia K-pop, mulai dari artis, agensi, hingga cara pemasaran mereka sudah bertambah. 

 

 

Baca Juga: Hadapi ‘Ageism’, Ini Cara Idola Perempuan Bertahan dalam Industri K-Pop

Sebagai K-popers yang mengemari dunia ini sejak lama, saya merasa agak khawatir dengan atmosfer fandom kini. Jika dulu adem-ayem saja, kini kalau seorang penggemar salah gerak dan salah ketik sedikit saja, bisa mengakibatkan perang besar antar-fandom.  

Fanwar di mana-mana, perlombaan streaming sampai menggaet bantuan dari fandom kelompok lain demi mengalahkan fandom grup tertentu sudah jamak ditemukan. Belum lagi interaksi kecil antara idol yang suka dilebih-lebihkan oleh para penggemarnya, dan ini merupakan contoh fandom toxic

Sejauh pengamatan saya sebagai penikmat musik tentunya, ada beberapa pola fangirling atau fanboy yang sudah tergolong sebagai penggemar yang toksik. Kalau bisa saya rangkum, ada beberapa ciri yang bisa mengindikasikan seseorang atau suatu kelompok menjadi toxic fans

Toxic Fans Tak Bisa Bedakan Realitas dan Imajinasi

Para penggemar toksik biasanya tidak dapat membedakan dunia nyata dan dunia industri. Apalagi dengan menjamurnya fanfiction yang membantu para penggemar “merealisasikan fantasi” mengenai idola kesayangan mereka. Terutama para kelompok shipper yang suka menjodoh-jodohkan idola mereka hanya bermodalkan paras dan interaksi. Tidak semua memang, tapi harus diakui banyak yang seperti ini. 

Sebenarnya oke-oke saja membaca fanfiction, tidak salah juga jadi shipper dan nge-ship idola yang satu dengan idola lainnya. Yang jadi masalah adalah kalau hal ini sudah sampai dibawa ke dunia nyata, sampai-sampai tidak terima kalau idolanya berinteraksi atau dekat dengan idola lain yang tidak masuk dalam daftar “kesukaan”-nya. 

Baca Juga: Ulang Tahun BTS dan Bagaimana Mereka Merayakannya

Selain itu, para penggemar toksik sering melihat idola sebagai objek yang dapat dimiliki atau dikuasai. Tidak jarang saya menggeleng-gelengkan kepala ketika mendengar atau membaca komentar dan juga berita yang menggambarkan para penggemar yang tidak terima idola favorit mereka (bias) punya pacar, menikah, atau punya anak. 

Mereka menganggap ketika mereka membeli segala atribut yang dijual agensi mulai dari album, kartu foto sampai cendera mata, itu artinya mereka dengan leluasa dapat mengendalikan tingkah laku dan perbuatan idolanya. Benar apa yang dikatakan oleh BM, personel grup Kard, dalam sebuah episode podcast Dive Studio bahwa mereka (para grup idola) adalah produk dan para penggemar adalah konsumennya. Namun sayangnya, tidak sedikit konsumen yang sudah melewati batas antara konsumen dan jadi “tukang atur-atur hidup orang lain”.

Saya ingat sekali kalimat “yang berlebih-lebihan itu tidak selalu baik”, dan ini berlaku juga untuk dunia fandom. Bagi kelompok penggemar garis keras, apa saja akan mereka lakukan agar idola kesayangan mereka menjadi pemegang rekor jumlah streaming terbanyak, tercepat, dan lain sebagainya. Belum lagi jika ada penghargaan lewat pemungutan suara. Tidak jarang ada “senggol bacok” dengan fandom sebelah agar idola mereka dapat menjadi pemenang dari berbagai jenis persaingan itu.

Penggemar Toksik Nyata Keberadaannya

Sebenarnya, keberadaan para penggemar toksik ini juga tidak terlepas dari bagaimana pola pemasaran grup ini dilakukan oleh agensi-agensinya. Mereka harus mengikuti keinginan pasar yang berisikan penggemar dari beragam kalangan, dengan keinginan yang beragam pula. Siapa yang mau membuang peluang besar pundi-pundi uang semacam itu? 

Toxic fangirling atau fanboy itu ada dan nyata. Tanpa kita sadari, kita telah menjadi bagian di dalamnya dengan berkedok kecintaan kepada para bias. Saya ada dalam lingkungan itu. Setiap hari saya melihat orang berargumen tentang idola mana yang perilakunya paling bagus, yang bajunya paling trendi, yang lagunya bertahan lama di tangga musik, atau siapa yang paling cocok jadi duta ini dan duta itu. Jujur saja, saya hampir meninggalkan dunia K-pop karena lelah dengan persaingan-persaingan itu. 

Baca Juga: Euforia BTS Meal: Salah Alamat Menghujat ARMY

Demi terhindar menjadi bagian dari kelompok-kelompok toksik, saya kini menjadi lebih pemilih, dalam artian mendengarkan lagu atau menonton acara idola karena memang saya ingin, bukan demi jumlah penonton. Saya juga mengelilingi diri dengan kawan-kawan fangirl yang juga punya pemikiran serupa. Kami bahkan tidak segan-segan bercerita tentang kekurangan-kekurangan idola-idola kami.

Saya tidak 24/7 menonton semua konten YouTube idol kesayangan dan juga tidak gila-gilaan streaming kalau memang lagunya biasa-biasa saja di telinga walaupun itu dari grup kesayangan saya sendiri. 

Kita semua bisa terhindar dari dunia fandom yang toksik, tergantung bagaimana kita melihat para idola. Apakah mereka kita pandang sebagai panutan? Apakah kita memandang musik dan karya mereka sebagai seni? Atau, apakah kita melihat mereka sebagai sesuatu yang dapat kita miliki?



#waveforequality


Avatar
About Author

Maria Bernadeth Tukan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *