Culture

‘Fetish’ terhadap Hubungan Gay: Ketika ‘Ship’ dan ‘Fanfiction’ Jadi Toksik

‘Fetish’ terhadap hubungan sesama jenis atau gay dalam ‘fanfiction’ adalah sesuatu yang problematik.

Avatar
  • October 26, 2020
  • 8 min read
  • 2558 Views
‘Fetish’ terhadap Hubungan Gay: Ketika ‘Ship’ dan ‘Fanfiction’ Jadi Toksik

Beberapa malam yang lalu, saya berbaring di kasur dalam gelap gulita sambil menelusuri lini masa akun Twitter rahasia saya, atau lebih tepatnya, akun fandom K-pop saya. Saya sedang menertawakan beberapa meme ketika sebuah twit menarik perhatian saya. Twit tersebut ditulis oleh seorang penulis grup fanfiction K-pop yang saya ikuti—sebut saja dia “Lyla”.

Cuitan tersebut kira-kira berbunyi seperti ini, “Coba bayangkan jika diserang oleh seorang penulis fanfiction karena ‘memiliki fetish terhadap hubungan sesama jenis’, sementara (mereka) menulis mengenai sebuah hubungan yang tidak konsensual.”

 

 

Tampaknya, Lyla dituduh memiliki fetish terhadap hubungan sesama jenis karena ia menulis fanfiction mengenai hubungan sesama jenis. Sementara, seseorang yang telah menuduhnya tersebut, menulis mengenai non-con (kependekan dari non-consensual atau tidak konsensual), di mana sebuah hubungan dibangun tanpa persetujuan pihak lain, sebuah topik fanfiction yang sangat popular namun problematik.

Sebuah catatan kecil sebelum saya membahas hal ini lebih jauh, artikel ini akan menggunakan beberapa istilah yang mungkin asing bagi mereka yang tidak terlalu mengerti dengan budaya penggemar (fandom). Saya akan mencoba sebaik-baiknya untuk menjelaskan beberapa istilah yang sangat sering dipakai.

Fanfiction (atau fanfic) adalah berbagai cerita yang ditulis oleh fans atau penggemar, terkadang dengan berbagai plot yang berbeda dari versi aslinya atau sebaliknya mengenai hal yang benar-benar terjadi pada versi aslinya (karena itu, muncullah sebuah semesta lain alias Alternate Universe atau AU).

Bagi sejumlah perempuan pemuja gay dalam fanfiction, sebuah hubungan sesama jenis tidak lebih dari sebuah hiburan yang dapat memuaskan fantasi mereka. Perilaku tersebut meniru perilaku laki-laki heteroseksual yang mengobjektifikasi hubungan lesbian.

Namun, cerita dalam fanfic tidak selamanya berada di AU. Terkadang bisa saja cerita tersebut hanya mengalami sebuah perubahan kecil dari alur cerita asli atau premis. Cerita-cerita ini dipublikasikan pada situs-situs seperti Fanfiction.net atau Archiveofourown.org (AO3). Pemerintah Indonesia telah memblokir Fanfiction.net, jadi mari berdoa hal tersebut tidak akan terjadi pada AO3.

Selanjutnya adalah istilah ship, yang berasal dari kata “relationship” atau hubungan. Ship muncul ketika penggemar menggabungkan beberapa karakter tertentu dengan karakter lainnya. Terkadang, mereka datang dari fandom yang sama, kadang tidak. Mereka yang menuliskan ship disebut “shippers”.

Sekarang, mari kita kembali membahas twit di awal tadi.

Setelah membaca twit tersebut, saya segera mengecek tanggapan-tanggapan yang masuk untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Saya ingin mengetahui apa yang sedang dipergunjingkan: Siapa yang sedang bertengkar dengan siapa. Melalui tanggapan-tanggapan di Twitter, saya menemukan dua twit yang sangat menarik.

Salah satu dari mereka mengatakan bahwa pihak yang telah menuduh seorang penulis fanfic yang menulis mengenai hubungan sesama jenis dan memiliki fetish terhadap hal tersebut, sesungguhnya adalah seorang homofobia. Kemudian dijawab dengan sarkastis, “Apakah orang-orang gay tidak boleh dituliskan pada sebuah fiksi dan media karena hal tersebut akan di-fetish-kan? Sungguh aneh ketika berpikir bahwa menjadi seorang penyuka sesama jenis adalah lebih buruk dari non-con.

Baca juga: ‘Fanfiction’ dan Perdebatan Dua Sisi

Hal ini membuat saya berpikir, apakah menuliskan atau membaca mengenai hubungan sesama jenis adalah sama dengan memiliki fetish terhadap hal tersebut? Dan apakah hal tersebut juga sama dengan menyatakan bahwa seseorang memiliki fetish sebagai sebuah perilaku homofobik? Saya berusaha untuk menemukan jawabannya, namun hal tersebut adalah sebuah topik yang sensitif untuk dibicarakan di dalam fandom–sebegitu sensitifnya sampai dapat memicu sebuah pertengkaran.

Fetish gay dalam fanfiction

Beberapa saat yang lalu, saya dan teman saya, Cat, mengobrol tentang memiliki fetish terhadap hubungan gay dalam fandom K-pop. Memiliki fetish terhadap hubungan sesama jenis selalu saja menjadi sebuah perdebatan, bukan hanya pada fandom K-pop, namun juga pada hampir semua fandom yang pernah ada. Pertanyaan intinya adalah: Apakah benar hal tersebut adalah bentuk fetish atau bukan?

Selama kami mengobrol, kami menemukan sebuah pola yang menarik. Sering kali mereka yang memiliki fetish terhadap hubungan sesama jenis adalah perempuan-perempuan heteroseksual yang memiliki kecenderungan homoseksualitas. Terkadang kami menemukan mereka di Twitter atau platform media sosial lainnya (jika kamu sangat teliti dan mencari dengan keras). Kamu akan menemukan, contohnya, beberapa penggemar yang mengatakan hal seperti ini, “Oh, aku sungguh menyukai ship ini. Tolong rekomendasikan lagi fanfic bagus yang seperti ini”.

Namun, ketika kamu menanyakan pendapat mereka mengenai  LGBTIQ, mereka akan menjawab, “Aku harap idolaku tidak seperti itu. Aku ingin mereka normal”.

Mereka yang memantaskan hubungan sesama jenis adalah pihak yang sama dengan yang telah menginternalisasi homofobia. Bagi mereka, sebuah hubungan sesama jenis tidak lebih dari sebuah hiburan yang dapat memuaskan fantasi mereka. Perilaku tersebut meniru perilaku laki-laki heteroseksual yang mengobjektifikasi hubungan lesbian karena mereka menganggap hal tersebut “seksi” dan diciptakan untuk memuaskan nafsu seksual laki-laki saja.

Para shippers tersebut hanya merepresentasikan sisi buruk dunia fandom. Ini tidak hanya akan merugikan fandom dan komunitas LGBTIQ+ saja, namun juga menunjukkan dengan terang-terangan mengenai pemikiran misoginis mereka.

Contohnya, beberapa waktu lalu, seorang selebritas perempuan digosipkan berpacaran dengan seorang penyanyi rap dari sebuah grup K-pop yang sangat terkenal. Separuh dari penggemarnya mendukung desas-desus mengenai hubungan tersebut. Mereka menyatakan “Tidak apa. Kenapa juga kami akan membenci mereka kalau mereka berpacaran? Itu adalah hak mereka untuk memacari seseorang.”

Namun separuh lainnya malah bereaksi seperti ini, “Jangan pernah berani untuk memacarinya, dasar perempuan jalang!” Mereka mengirimkan pesan-pesan kebencian pada akun media sosial selebritas perempuan tersebut, namun sama sekali tidak ada pada akun si penyanyi rap dari sebuah grup K-pop yang sangat terkenal itu.

Baca juga: Ketahui 10 Istilah Ini Biar Paham Budaya ‘Fandom’

Tak lama kemudian, agen mereka menyangkal hubungan tersebut, dan keributan pun berakhir. Namun, sebuah kejadian menarik baru terjadi beberapa waktu kemudian. Penyanyi rap yang sama memberikan sebuah hadiah kepada teman laki-lakinya dan para penggemar mulai memasangkan mereka.

Reaksi ship yang terakhir ini yang berbeda ketika seorang selebritas perempuan terlibat di dalamnya. Para penggemar tidak mengirimkan pesan-pesan kebencian seperti yang pernah mereka lakukan kepada sang selebritas perempuan, mereka malah mengutarakan dukungan penuh saat melihat penyanyi rap itu berelasi dengan sesama jenis, hanya karena hal tersebut dapat memenuhi fantasi seksual mereka.

Mereka lebih memilih idola mereka mengencani seorang laki-laki daripada perempuan karena hal tersebut sesuai dengan fetish yang mereka miliki. Atau, mereka lebih memilih idola mereka mengencani laki-laki daripada perempuan karena perempuan tersebut bukan mereka.

Shippers Toksik

Saya ingin mengklarifikasi bahwa ini bukanlah citra sesungguhnya dari shippers. Kita harus memahami bahwa tidak semua shippers memiliki ciri-ciri tersebut. Mereka yang memiliki fetish tergolong pada bagian fandom yang toksik. Mereka tidak dapat membedakan antara fantasi dan kenyataan. Mereka akan memaksakan tujuan mereka dengan mengobjektifikasi hubungan sesama jenis kepada orang lain.

Penggemar yang tidak memiliki fetish mengetahui yang mana kenyataan dan fantasi. Mereka tergolong dalam bagian fandom yang lebih sehat. Mereka akan mendukung idola mereka apa pun orientasi seksual dan percintaan idolanya. Mereka tetap melakukan ship bukan untuk mengobjektifikasi sang idola, melainkan karena mereka menyukai kedekatan idola-idola mereka tersebut sebagai pasangan. Karena itu, mereka mengerti batasan-batasan dan sadar kapan shipping menjadi toksik dan harus dihentikan.

Bagi saya, ship dan fanfiction membuat saya merasa akhirnya direpresentasikan sebagai seorang queer. Saya selalu merasa bahwa acara TV, buku-buku, atau film-film memaksakan sebuah alur dan hubungan heteronormatif yang tidak perlu.

Tidak ada salahnya dengan melakukan shipping hubungan sesama jenis dan membaca fanfic, selama hal tersebut tidak membahayakan orang lain. Masalahnya ada ketika sesorang bertindak untuk memuaskan fetish yang dimilikinya. Hal ini juga berlaku kepada penulis dan juga pembaca.

Bagi saya, ship dan fanfiction membuat saya merasa akhirnya direpresentasikan sebagai seorang queer. Saya selalu merasa bahwa acara TV, buku-buku, atau film-film memaksakan sebuah alur dan hubungan heteronormatif yang tidak perlu. Jarang sekali media menampilkan hubungan queer, dan apabila ada, akan ditampilkan dengan tragis ataupun menyedihkan. Saya sudah muak dengan hal-hal hetero yang penuh percintaan. Yang saya butuhkan adalah melihat sebuah representasi hubungan queer yang bahagia. Fanfiction memberikan apa yang benar-benar saya butuhkan.

Akan tetapi, seseorang yang melakukan ship terhadap hubungan sesama jenis tidak serta merta menjadikan mereka menjadi sekutu. Menjadi seorang sekutu jauh lebih dalam daripada hanya melakukan shipping dalam sebuah fandom.

Ini adalah sebuah wacana penting yang harus didiskusikan dalam sebuah fandom tanpa harus saling meneriaki satu sama lain, agar kita dapat mengakhiri perilaku problematis dan mendukung idola favorit kita dalam sebuah lingkungan fandom yang lebih sehat.

Sering kali saya melihat penggemar yang tidak toksik mencoba untuk mengedukasi melalui sebuah utas Twitter atau ”serangkaian twit” mengenai perlakuan yang menyerang komunitas LGBTIQ+, namun suara mereka kerap menjadi sumbang hanya karena fans lebih suka bertengkar dengan fandom lain daripada mengedukasi diri mereka.

Namun tetap saja, saya menganggap mereka memperjuangkan hal yang baik, menginformasikan kepada para penggemar toksik tersebut bahwa perilaku mereka adalah salah dan tidak dapat diterima. Hal tersebut adalah sesuatu yang harus selalu dilakukan seorang pengemar:  Semakin sering kita membicarakannya, semakin banyak orang pula akan belajar dan mengerti.

Artikel ini diterjemahkan dari versi aslinya dalam bahasa Inggris oleh Bini Fitriani.



#waveforequality


Avatar
About Author

Tabularasa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *