Coldplay untuk kali pertama, bakal menggelar konser di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, (15/11). Mengangkat tajuk Music of The Spheres World Tour 2023, konser ini jadi momen yang paling ditunggu Coldheads–sebutan untuk fansnya–juga mereka yang sekadar FOMO. Enggak heran jika pre-sale tiket kemarin ludes dalam waktu 10 menit saja.
Namun, di tengah ramainya perbincangan soal Coldplay, perhatian kita terarah pada klaim penolakan Presidium Alumni 212 (PA 212), organisasi yang berisikan kelompok-kelompok yang bergabung Aksi 212 atau Aksi Bela Islam. Mereka dengan tegas menolak kehadiran Coldplay di Indonesia dan mengancam akan membubarkan konser tersebut.
Melansir dari BBC Indonesia, Wasekjen PA 212 Novel Bamukmin beralasan penolakan dan ancaman itu perlu karena Coldplay menganut Atheisme dan mendukung LGBT. Sangat enggak Pancasilais pokoknya. Novel juga bilang, jika promotor enggak segera membatalkan konser Coldplay, mereka akan menggelar aksi besar: Memblokir lokasi dan mengepung bandara.
Baca Juga: Rancangan Perda Anti-LGBT: Lagu Lama di Musim Pemilu
Bukan Kasus Penolakan yang Pertama
Penolakan ini membelah publik jadi dua: Kubu pendukung PA 212 dan yang menganggap penolakan itu sangat konyol. Kubu kedua beranggapan, terlepas dari bagaimana Coldplay pro-LGBT atau ateis, ini tak ada sangkut pautnya dengan konser mereka. Toh, Coldplay tak akan serta merta mengonversi orang jadi LGBT atau mengajak penonton jadi ateis berjemaah.
Masalahnya, penolakan konser semacam ini bukan kali pertama terjadi di negara kita. Sebelum Coldplay, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah duluan menolak kedatangan dua aktor sekaligus musisi Thailand PP Krit dan Billkin yang berencana menggelar fan meeting di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, (10/6) nanti. PP Krit dan Billkin sendiri adalah aktor dan penyanyi yang terkenal di mata pecinta drama Thailand di Indonesia berkat aktingnya di drama Boys Love (BL coming-age) I Told Sunset About You (2022).
“Semestinya pemerintah Indonesia melarang mereka untuk melakukan fan meeting atau temu publik dengan warga negara Indonesia karena hal demikian berarti pemerintah mentolerir praktek LGBT,” kata Anwar Abas, Wakil Ketua Umum MUI kepada CNN Indonesia.
Anwar lalu menyinggung Indonesia yang memiliki konstitusi Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Di dalamnya dinyatakan Indonesia merupakan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga sudah sepatutnya LGBT dilarang.
Baca Juga: Asam Garam Konser BLACKPINK: Pengalaman Saya Nonton ‘Born Pink’ ‘Day-2’
Tak lama setelah ramai penolakan itu, promotor Applewood mengumumkan penundaan fan meeting. Pengumuman ini mereka unggah di media sosial sekitar dua jam sebelum penjualan tiket dimulai.
“Dengan menyesal kami menginformasikan bahwa pembukaan penjualan tiket untuk Billkin dan PP Krit Asia Fan Meeting 2023 di Jakarta akan ditunda hingga pemberitahuan lebih lanjut,” keterangan promotor, (12/5).
Jauh sebelum ini, pada 2012, rencana konser Lady Gaga di Jakarta juga ditolak MUI dan ormas agama Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dikutip dari Tempo, MUI menyebut konser Gaga haram karena pakaiannya yang vulgar dan mempromosikan seks bebas. FPI makin ngomporin, kata mereka, Lady Gaga adalah pendukung kuat kelompok LGBT. Tampaknya penolakan ini serius, karena demonstrasi ormas Islam pecah di Bandung dan Jakarta.
Coreng Wajah Politik dan Berdampak pada Perekonomian
Ada benang merah dari penolakan tiga event di atas. Bahwa pihak yang menolak selalu berasal dari latar belakang ormas agama dan alasannya juga serupa. Biasanya dikaitkan dengan dasar negara Ketuhanan di Indonesia dan betapa terlarangnya praktik LGBT. Tak cuma di Islam tapi juga agama lain.
Ini alasan yang relatif enggak mashok mengingat ada pula agama yang justru merangkul dan mengaku eksistensi mereka. Misalnya dalam Buddha, LGBT tidak secara eksplisit dilarang, tutur Dharmika Pranindhi, guru agama Buddha dan alumni kajian gender Universitas Indonesia (UI) dalam wawancara dengan Magdalene. Dalam kitab Tripitaka saja, kehadiran transgender diakui. Mereka adalah perempuan yang seperti laki-laki (vepurisikā), orang yang memiliki ketidakjelasan seksual (sambhinna), seseorang yang memiliki ciri kedua gender (ubhatovyanjanaka), dan sebagainya.
Selain transgdender, imbuh Dharmika, homoseksualitas juga tidak dilarang atau dikecam Buddha. Ini karena dalam agama tersebut, moralitas bukan berdasar pada orientasi seksual seseorang tetapi pada cetana atau niat/kehendak. Tetapi pada niat atau cetana seseorang dalam berpikir, berucap dan bertindak harus terlepas dari tiga akar kejahatan yaitu keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan batin (moha)
“Kalau berpasangan (dengan orientasi seksual selain heteroseksual) itu demi pembebasan, pengembangan batin dan berpasangan punya tujuan masing-masing selama harmless, ya no problem. Justru penolakan itu bentuk kebencian ya,” kata Dharmika.
Baca juga: Ini Konser Kami Juga: Bagaimana Agar Acara Musik Bebas Kekerasan Seksual
Nuran Wibisono, pengamat musik angkat bicara soal ini. Kepada Magdalene ia berkomentar, dominasi penolakan yang dilakukan ormas Islam dan diamnya pemerintah justru berdampak buruk pada wajah politik Indonesia. Apalagi, penolakan itu diikuti dengan ancaman pengepungan bandara sebagai objek vital negara.
“Ini bisa dimasukkan dalam isu keamanan nasional. Dari segi politik, Indonesia bisa kena coreng mukanya sebagai negara yang tak aman untuk event internasional. Ada pihak-pihak yang merasa punya otoritas atau power di ranah yang sebenarnya bukan wewenangnya,” kata Nuran pada Magdalene.
“(Ada) penyalahgunaan wewenang dan pembiaran, yang sayangnya sudah terjadi sejak lama di sini. Pemerintah tunduk pada pemaksaan dari satu kelompok. Ini tentu bukan sesuatu yang bagus dalam percaturan politik luar negeri,” imbuhnya.
Selain mencoreng citra politik, ujar Nuran, penolakan, ancaman, serta pembiaran atas sikap ormas Islam bisa jadi preseden buruk untuk ekonomi mendatang. Agen-agen band atau musisi internasional akan berpikir panjang jika mau konser di Indonesia.
Akibatnya, industri Meeting, Incentive, Conference, dan Exhibition (MICE), termasuk konser dan festival musik, bisa tersendat. Padahal menurut Nuran, sektor ini mempekerjakan banyak orang, dan sudah terbukti menggulirkan roda ekonomi. Banyak orang akan datang dari luar daerah atau kota, juga luar negeri, untuk bisa menonton band idolanya.
Ini adalah bentuk pariwisata. Salah contohnya terlihat dari konser BTS di SoFi Stadium, Amerika Serikat yang memiliki dampak ekonomi melebihi US$100 juta menurut Gene Del Vecchio, yang mengajar pemasaran hiburan di University of Southern California, dikutip dari LA List.
“Dampaknya (perhelatan event besar) domino. Transportasi laris, okupansi hotel tinggi, belum lagi menghitung putaran uang dari sektor informal. Ini nanti kita bisa kembali ke era 2003, usai tragedi Bom Bali. Banyak sekali travel warning, dan musisi internasional takut datang ke sini,” ucap Noran.
Dengan dampak politik dan ekonomi yang bisa ditimbulkan dari penolakan dan pembiaran ormas agama Islam terhadap konser artis luar negeri ini, Noran kemudian mendorong beberapa pihak yang untuk bertindak tegas.
Kepolisian yang bertugas menjaga menjaga keamanan dan yang berwenang harus bersuara dan menjamin bahwa mereka akan menjaga keamanan dan kenyamanan semua pihak: Promotor, artis dan rombongan, juga para penonton.
Jika mau ditarik lebih jauh, pihak-pihak yang berkaitan dengan sektor ekonomi kreatif, juga harus bersuara. Mulai dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), bahkan Kementerian Pertahanan (Kemhan) juga mesti mengeluarkan pernyataan. Kemhan bisa ikut ambil suara, karena sudah ada ancaman pengepungan bandara.
“Ini bisa bicara dalam ranah keamanan negara. Karena ada ancaman PA 212 akan mengepung bandara. Ini obyek vital nasional, lho. Apalagi yang dibicarakan adalah Bandara Soekarno Hatta yang merupakan bandara utama sekaligus terbesar di Indonesia. Kalau misal ancaman ini serius, ya Kemenhan harus bertindak,” tutup Nuran.