3 Alasan Penyandang Disabilitas Intelektual Masih Sulit Dapat Kerja
Penyandang disabilitas intelektual masih sulit mencari kerja karena berbagai hambatan, salah satunya adalah diskriminasi dari perusahaan.
Sebagaimana orang-orang kebanyakan, bagi para penyandang disabilitas, memiliki pekerjaan bukan hanya soal mencari nafkah. Ini juga merupakan kesempatan bagi mereka untuk menjadi mandiri, memiliki kehidupan layak, dapat mengembangkan diri, serta menjaga kehormatan dan harga dirinya.
Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia tercatat lebih dari 30 juta jiwa atau sekitar 11,5 persen penduduk menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional 2019. Jumlah penyandang disabilitas yang masuk usia kerja mencapai 17,7 juta, namun yang bekerja hanya 7,8 juta.
Tidak semua disabilitas tampak jelas bagi masyarakat. Masyarakat mungkin lebih sulit untuk menyadari dan mengenali penyandang disabilitas intelektual.
Tingkat partisipasi kerja para difabel intelektual jauh lebih rendah dibandingkan ragam disabilitas lainnya karena ada kesalahpahaman dan persepsi keliru di masyarakat. Banyak dari mereka menganggap bahwa para difabel intelektual memiliki kualitas kerja dan produktivitas yang rendah.
Disabilitas intelektual merupakan kondisi seseorang memiliki keterbatasan pada fungsi intelektual dan gangguan keterampilan sosial.
Kasus umum disabilitas intelektual yang terjadi di Indonesia adalah lambat belajar, grahita, dan kelainan genetik (down syndrome). Berdasarkan data Kementerian Sosial pada 2018, jumlah difabel intelektual Indonesia mencapai 20.850 orang.
Minimnya pengetahuan dan perhatian masyarakat menyebabkan sejumlah kebutuhan mereka akan layanan kesehatan, pendidikan, dan kesempatan kerja tidak terakomodasi dengan baik.
Terdapat beberapa tantangan yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi kerja difabel intelektual.
1. Buruknya Kualitas Data Statistik Penyandang Disabilitas
Lemahnya penanganan masalah disabilitas, baik intelektual atau ragam disabilitas lainnya, sedikit banyak dipengaruhi oleh carut-marut dan tidak mutakhirnya statistik difabel di Indonesia.
Karena buruknya pendataan penduduk dengan disabilitas, sulit untuk melacak data difabel intelektual yang ada dalam angkatan kerja. Ini menghambat penentuan strategi nasional yang efektif untuk mengatasi masalah rendahnya partisipasi kerja mereka.
Berbagai kementerian memiliki definisi disabilitas yang berbeda-beda yang menyebabkan data prevalensi disabilitas yang dihasilkan tiap lembaga berbeda-beda juga.
Selain itu, beberapa kegiatan pengumpulan data (sensus atau survei, seperti Survei Sosial Ekonomi Nasional, Riset Kesehatan Dasar, atau Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), menghasilkan angka jumlah penduduk dengan disabilitas di Indonesia yang berbeda.
2. Kurangnya Pendidikan yang Menyiapkan Penyandang Disabilitas Bekerja di Sektor Formal
Penyelenggaraan pendidikan bagi para difabel yang banyak dilakukan saat ini juga tidak mendukung difabel intelektual untuk terjun ke dunia kerja.
Institusi pendidikan menengah atau tinggi cenderung menyelenggarakan pendidikan untuk para difabel dengan fokus pada pemberian pelatihan keterampilan yang mengarahkan mereka menjadi wirausaha – seperti di bidang kerajinan tangan, desain dan percetakan, serta kuliner.
Tidak mudah bagi difabel intelektual untuk mengelola usaha. Ada tantangan lain di situ, seperti sulitnya mengakses permodalan, mengelola proses produksi, memasarkan produk, hingga menjaga keberlangsungan usaha.
Dalam penerapannya, mereka butuh bantuan dan dukungan terus menerus dari orang di lingkungan terdekatnya.
Baca juga: Rendahnya Kualitas Hidup Penyandang Disabilitas
Tanpa disadari, hal ini justru menciptakan situasi eksklusif bagi difabel intelektual. Masyarakat menjadi kurang terdorong untuk beradaptasi, menerima, dan memfasilitasi difabel intelektual di lingkungan kerja formal.
3. Pemberi Kerja Tidak Memberi Kesempatan bagi Penyandang Disabilitas
Banyak pemberi kerja, baik dari sektor swasta maupun negeri, cenderung enggan dan meragukan keterampilan dan kualitas kerja para difabel.
Persyaratan dan proses rekrutmen pun masih menggunakan pendekatan ableism, yaitu sikap diskriminatif dan kekeliruan cara pandang serta prasangka terhadap penyandang disabilitas.
Misalnya, pada persyaratan “sehat jasmani-rohani” dalam perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil. Ini tidak adil untuk kelompok difabel intelektual/mental dan semakin mengeliminasi kesempatan kerja para difabel intelektual.
Perlu Inisiatif dari Pemerintah, Lembaga Pendidikan, dan Perusahaan
Pemerintah, institusi pendidikan tinggi, dan industri perlu berkolaborasi untuk meningkatkan partisipasi kerja difabel intelektual.
Penting bagi pemerintah untuk memperbaiki dan memperbaharui data penyandang disabilitas nasional. Merujuk kepada Undang-Undang (UU) No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pemerintah perlu menyiapkan program pendidikan dan kesempatan kerja yang sesuai dengan karakteristik setiap ragam disabilitas, yaitu disabilitas fisik, sensorik, intelektual dan mental, agar lebih tepat sasaran.
Baca juga: UU Penyandang Disabilitas Sudah Ada, Tapi Pejabat Pemerintah Sendiri Belum Paham
Dalam salah satu pasal UU tersebut, pemerintah, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai; dan perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1 persen.
Untuk mendorong target itu, pemerintah dapat memotivasi perusahaan yang telah mempekerjakan difabel, misalnya dengan pemberian insentif.
Bagi institusi pendidikan tinggi, selain menyediakan sistem pembelajaran yang mendukung, pengajar berkompeten, sarana prasarana yang menunjang, serta proses evaluasi pembelajaran yang sesuai, mereka perlu meninjau kembali efektivitas program pelatihan keterampilan kepada difabel intelektual.
Memberikan pelatihan kerja dan melibatkan mereka ke sektor kerja merupakan pilihan yang patut dipertimbangkan.
Lembaga-lembaga pendidikan tinggi juga punya peran strategis dalam menghubungkan dan mencocokkan penyandang disabilitas intelektual dengan sektor kerja. Bekerja sama dengan perusahaan, lembaga pendidikan tinggi dapat menginisiasi program magang bagi difabel intelektual untuk memberikan pengalaman kerja serta meningkatkan peluang diterima kerja.
Lebih lanjut, lembaga-lembaga pendidikan tinggi juga perlu memberikan edukasi, pelatihan, serta konsultasi kepada perusahaan swasta, BUMN, atau instansi pemerintah untuk mendorong kesiapan mereka menerima karyawan difabel intelektual.
Lalu, sangat penting agar pemberi kerja mengubah cara pandang terhadap difabel intelektual.
Pemberi kerja jangan lagi menilai mereka dari keterbatasan (apa yang tidak dapat mereka lakukan), melainkan dari kemampuan mereka (apa yang dapat mereka lakukan dengan atau tanpa bantuan sumber daya yang tersedia).
Lalu, perusahaan juga dapat mengupayakan penyesuaian proses rekrutmen dan evaluasi, serta mempersonalisasi pekerjaan berdasarkan karakteristik dan kemampuan difabel intelektual.
Sebuah penelitian di Italia pada 2015 menyebutkan bahwa difabel intelektual dapat menjadi sumber daya yang berpotensi dan berharga bagi perusahaan karena mereka memiliki karakteristik mampu dilatih (khususnya dalam menyelesaikan pekerjaan yang bersifat rutin dan berulang), dapat diarahkan, stabil, dan loyal.
Sektor jasa dan hospitality (pariwisata, perhotelan, dan lain sebagainya) adalah contoh bidang pekerjaan yang cocok bagi difabel intelektual.
Setiap tanggal 21 Maret, kita memperingati Hari Down Syndrome Sedunia. Hari tersebut bukanlah sebatas perayaan, tetapi hendaknya menjadi momen untuk meningkatkan kesadaran terhadap hak-hak individu dengan Down Syndrome serta difabel intelektual lainnya.
Komitmen dan peran serta seluruh pihak melalui berbagai strategi tersebut diharapkan dapat menciptakan lingkungan kerja yang inklusif khususnya bagi difabel intelektual agar mereka juga berkesempatan memperoleh kehidupan yang layak.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.