Kekerasan Seksual 1998 Disangkal: Kampus Harus Lebih Aktif Bergerak
Lebih dari dua dekade setelah Reformasi 1998, luka kekerasan seksual terhadap perempuan masih belum benar-benar diakui negara. Seperti luka yang dibiarkan terbuka, peristiwa itu terekam tapi juga ingin dihapus dari memori publik.
“Di antara euforia dan air mata atas kejatuhan rezim Orde Baru, perempuan menjadi tubuh perlawanan sekaligus medan penderitaan. Reformasi lahir bukan dari kemenangan, melainkan dari kehilangan yang tak terhitung.”
Kalimat itu terpampang di dinding aula kantor Komnas Perempuan di Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pameran memperingati 27 tahun lembaga itu, setiap panel di dinding memuat perjalanan panjang perjuangan perempuan di Indonesia—termasuk salah satu bab tergelapnya: kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa pada 1998.
Tak banyak orang tahu, tragedi itu adalah salah satu alasan berdirinya Komnas Perempuan. Karena itu, pada ulang tahunnya yang ke-27, lembaga ini kembali menegaskan pentingnya menjaga memori—bukan sekadar mengenang, tapi melawan penyangkalan yang masih berlangsung hingga hari ini.
Yang terbaru, penyangkalan itu bahkan datang dari pejabat negara. Dalam sebuah wawancara, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mempertanyakan kembali kebenaran pemerkosaan massal yang terjadi saat kerusuhan Mei 1998.
“Ada pemerkosaan massal? Betul enggak? Kata siapa itu? Enggak pernah ada buktinya. Itu cuma cerita,” katanya pada Juni lalu.
Kalimat itu mungkin terdengar ringan bagi sebagian orang. Namun bagi banyak perempuan, terutama penyintas, seperti mengulang kekerasan yang sama: Kekerasan dalam bentuk penghapusan.
Baca juga: Pemerkosaan Massal 1998, ini Saatnya Dengarkan Suara Perempuan Tionghoa
Melawan Penyangkalan lewat Dunia Akademik
Bagi Ruth Indiah Rahayu, atau Yuyud, peneliti dari Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena), penyangkalan semacam ini tak boleh dibiarkan.
Dalam acara peringatan ulang tahun Komnas Perempuan, ia mengatakan bahwa dunia akademik seharusnya bisa menjadi ruang baru untuk melawan penyangkalan itu.
Menurutnya, penelitian akademik bukan sekadar catatan ilmiah—ia bisa menjadi alat perlawanan.
“Kalau begini terus, kita akan terus dihadapkan pada pertanyaan: ‘Benar enggak kejadiannya?’ atau ‘Ada enggak sih korbannya?’. Saya rasa kita butuh ruang baru, dan penelitian ilmiah adalah ruang itu,” kata Yuyud.
Yuyud sudah lama memperhatikan penelitian-penelitian tentang kekerasan seksual 1998. Namun, sebagian besar masih berhenti di permukaan: menganalisis pemberitaan media, membahas representasi di komik, atau melihatnya dari jarak aman. Belum banyak riset yang benar-benar menempatkan penyintas sebagai subjek utama—bukan sekadar objek penderita dalam narasi besar sejarah.
Sebagai perbandingan, Yuyud menyebut penelitian Saskia Wieringa, yang meneliti fitnah seksual terhadap anggota Gerwani pada tragedi 1965. Dalam risetnya, “Sexual Slander and the 1965/66 Mass Killings in Indonesia”, Wieringa membongkar bagaimana tuduhan kebejatan seksual digunakan sebagai alat propaganda politik untuk membenarkan kekerasan massal.
Penelitian itu menunjukkan bagaimana tubuh perempuan kerap dijadikan alat legitimasi kekuasaan—dan bagaimana narasi itu harus diurai secara ilmiah untuk menemukan kebenaran.
Baca juga: 5 Fakta yang Jarang Dibicarakan dari Pemerkosaan Massal 1998
Menulis Ulang Sejarah Lewat Penelitian Feminis
Bagi Yuyud, upaya serupa perlu dilakukan terhadap kekerasan seksual 1998. Dunia akademik bisa dan harus mengambil peran, bukan hanya dengan menyusun data, tapi dengan menulis ulang sejarah dari perspektif perempuan.
Pandangan ini juga sejalan dengan pemikiran Penny Jane Burke, profesor di Universitas Newcastle, Australia. Dalam tulisannya “Writing Ourselves Differently Through Feminist Praxis”, Burke menyebut dunia akademik sering kali justru memperkuat ketimpangan pengetahuan. Sebab, itu terlalu lama menempatkan perempuan sebagai objek yang diamati, bukan subjek yang bersuara.
Penelitian feminis, bagi Burke, adalah praktik politis atau cara menulis ulang dunia agar perempuan bisa kembali memiliki hak atas ceritanya sendiri. Ia menyebutnya writing ourselves differently — menulis diri kita sendiri dengan cara yang berbeda, agar narasi yang selama ini dihapus bisa kembali hidup.
Dalam refleksinya, Yuyud juga membagikan pengalaman saat tergabung dalam Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tahun 1998. Ia menyebut metode yang digunakannya sebagai “mengupas bawang bombay”—mencari kebenaran dengan menyibak lapisan demi lapisan informasi, dari yang paling kabur hingga yang paling inti.
Setidaknya, kata Yuyud, ada tujuh lapisan yang perlu ditelusuri, dari kabar angin, cerita orang, saksi dengar, saksi mata, kesaksian profesional (dokter, psikolog, rohaniawan, pendamping), hingga akhirnya sampai pada korban itu sendiri.
Baca juga: Dari Fiksi yang Bicara Kebenaran ke Sejarah yang Dijadikan Fiksi
Setiap lapisan membawa kita lebih dekat pada inti kebenaran yang sering disembunyikan oleh ketakutan dan stigma.
Metode ini, menurut Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, mencerminkan pendekatan feminis yang sangat penting.
“Pendekatan seperti itu sangat antropologis yang microscopic lenses karena bisa menembus detail-detail kecil yang sering diabaikan dalam penelitian konvensional,” katanya.

Ilustrasi oleh Karina Tungari
















