July 14, 2025
Issues Politics & Society Safe Space

5 Fakta yang Jarang Dibicarakan dari Pemerkosaan Massal 1998

Pak Menteri Fadli Zon wajib baca ini agar tak terus-menerus ‘denial’ terhadap pemerkosaan massal 1998.

  • July 2, 2025
  • 6 min read
  • 738 Views
5 Fakta yang Jarang Dibicarakan dari Pemerkosaan Massal 1998

*Peringatan pemicu: Gambaran kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual. 

Publik dibuat geram atas penyangkalan Menteri Kebudayaan Fadli Zon atas pemerkosaan massal saat kerusuhan Mei 1998. Ia menuturkan, peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut sebatas rumor dan nirbukti. Wajar saja jika kemudian sejumlah koalisi masyarakat sipil dan aktivis HAM, seperti Ita Fatia Nadia, Tim Relawan Kemanusiaan Kemanusiaan Mei 1998, mengutuk keras pernyataannya tersebut. 

Walau dapat kecaman dari berbagai pihak, Fadli tetap bersikukuh. Dikutip dari Kompas.com, Fadli bilang di IPDN Jatinangor, Jawa Barat, (24/6), “Jadi itu harus ada fakta-fakta hukum, ada (bukti) akademik, jadi ada siapa korbannya, di mana tempatnya, mana kejadiannya, itu kan harus ada.” 

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah dalam wawancara eksklusif bersama Tempo menyebut, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1998 mendata sedikitnya ada 52 korban kekerasan seksual. Hasil penyelidikan tersebut lalu dipakai Tim ad hoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam menyusun investigasi pelanggaran berat HAM jelang Reformasi. Tim ad hoc lantas menemukan dugaan peristiwa kekerasan seksual terjadi di Jakarta Utara. 

Dengan data ini pula, Anis kembali mengingatkan bahwa pemerintah telah mengakui peristiwa kerusuhan 1998 sebagai pelanggaran berat HAM. Karena itu, jika Fadli Zon masih menyangkal, maka ia telah melukai rasa keadilan korban. 

Agar publik tak terlena dengan pernyataan pejabat publik macam Fadli Zon, Magdalene merasa perlu merawat kembali ingatan para pembaca tentang peristiwa tersebut.  Untuk itu kami menyusun beberapa fakta tentang pemerkosaan massal 1998, yang dirangkum dari pelbagai sumber: 

Baca juga: Tentara Pelaku Femisida dan Peradilan Militer yang Tak Transparan

Dilakukan di Kediaman Korban, Dilanjutkan dengan Penjarahan  

Saat kerusuhan mencapai puncaknya pada pertengahan 1998, pemerkosaan tercatat banyak terjadi di rumah korban. Mengutip laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bertajuk “10 tahun Tragedi Mei 1998: Saatnya Meneguhkan Rasa Aman, Langkah Maju Pemenuhan Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual” disebutkan, penyerangan dan pemerkosaan seksual juga terjadi bersamaan dengan pembakaran dan penjarahan rumah korban. 

Dalam dokumentasi tersebut, beberapa saksi atau pendamping yang namanya disamarkan menyebut kejadian berlangsung sangat cepat. Salah seorang korban bahkan dikejar oleh beberapa pelaku sampai ke lantai dua kediamannya dan berujung patah tulang lantaran terjun untuk menghindari pemerkosaan.  

“Menyimak perilaku pelaku yang memang menargetkan pada dirinya, korban pun menjadi sangat ketakutan bahwa ia juga akan diperkosa. Karenanya, korban melompat keluar dari jendela lantai dua untuk menyelamatkan diri. Akibat tindakan tersebut, korban menderita patah tulang punggung dan sempat tidak bisa jalan,” ungkap P5, relawan yang memberikan kesaksian pada Komnas Perempuan.  

Anak sampai Perempuan Lansia Jadi Korban 

Dari penuturan para relawan dan pendaming dalam catatan Komnas Perempuan yang sama, ditemukan, pemerkosaan banyak terjadi pada anak. Salah satu relawan bahkan menyebut, ia mendampingi dua anak sekaligus yang usianya masing-masing 12 dan 15 tahun.  

Dari penuturannya, pemerkosaan dilakukan secara bergilir oleh beberapa pria terhadap anak tersebut. Korban sendiri bahkan sampai tak sadarkan diri dan hanya mengingat bahwa ia didorong, direbahkan, ditelanjangi, dan disebut sebagai ‘amoy kecil’ oleh para pelaku.  

Selain pada anak, pemerkosaan juga dialami perempuan lanjut usia. Komnas Perempuan bilang, korban pemerkosaan tertua berusia 50 tahun. Salah satu yang kisah yang dituliskan dalam laporan tersebut ialah seorang ibu dari dua anak. Dari penuturan relawan yang mendampinginya, korban diperkosa di dalam taksi, dan ketika berupaya meminta bantuan ke warga sekitar, ia keluar dalam keadaan sudah telanjang. 

Baca juga: Luka yang Dilahirkan dan Dikuburkan dalam Mei 1998

Perempuan Etnis Tionghoa Jadi Korban Terbanyak 

Meskipun terjadi pada perempuan dari berbagai etnis, nyatanya pemerkosaan massal 1998 mayoritas menimpa perempuan etnis tionghoa. Bukan sebuah kebetulan, Komnas Perempuan menyebutkan korban memang dipilih secara sengaja berdasarkan etnisnya.  

Riset “Etnis Tionghoa pada Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta” (2019) mencatat penyerangan terhadap etnis Tionghoa dilatarbelakangi oleh sentimen rasial yang mengakar. Kesenjangan ekonomi dan prasangka anti-Tionghoa menjadi faktor utama di balik penyerangan brutal ini. 

Komnas Perempuan menghimpun berbagai kesaksian korban, termasuk cerita menyayat hati dari seorang perempuan yang hampir menjadi korban pemerkosaan. Para pelaku menghentikan aksinya ketika mengetahui ibunya berwajah Melayu dan tidak bermata sipit. 

“Pada saat kejadian, hanya ada saya dan Ibu yang ada di rumah. Ibu menjerit ketakutan ketika api mulai menjalar ke dalam rumah. Ia tambah panik dan histeris ketika ada sejumlah orang mendobrak masuk dan kemudian mencoba untuk memperkosa saya. Mungkin kalau bukan karena Ibu saya berwajah pribumi, saya sudah habis diperkosa hari itu,” tutur KI, korban percobaan pemerkosaan, dalam catatan Komnas Perempuan. 

Gang Rape: Pola Kekerasan Seksual Paling Umum 

Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat bentuk kekerasan seksual paling dominan dalam tragedi ini adalah gang rape atau pemerkosaan berkelompok. Korban kerap diperkosa secara bergiliran oleh sejumlah orang dalam waktu bersamaan, bahkan di depan anggota keluarga mereka sendiri. Mereka yang melawan mendapat kekerasan tambahan, dari pemukulan hingga diludahi. 

TGPF menjelaskan kekerasan ini tidak dilakukan secara acak. Modusnya sistematis, dengan pola serupa seperti dalam perusakan dan pembakaran rumah warga. Pelaku menggunakan senjata tajam dan menyiksa korban secara fisik saat melakukan pemerkosaan. Jenis kekerasan seksual seperti ini mengikuti pola tindakan yang sangat serupa—terorganisasi dan dilakukan secara menyeluruh. 

Salah satu kesaksian paling kelam datang dari seorang kerabat korban, yang menggambarkan peristiwa tragis yang dialami R, seorang penyintas, dan kedua adik perempuannya. 

“Sekelompok orang tak dikenal memasuki ruko korban dan menjarah barang-barang. Sebagian lainnya menelanjangi R dan memaksanya menyaksikan kedua adiknya diperkosa. Setelah diperkosa, kedua gadis itu dilempar ke lantai bawah yang sudah mulai terbakar. Kedua gadis itu mati, sedang R berhasil selamat karena ada yang menolong,” ungkap keluarga korban R, L, M, kepada Komnas Perempuan, dalam peristiwa 14 Mei 1998. 

Baca juga: Misteri Geger Dukun Santet Tahun 1998-1999: Mereka Diburu dan Dibantai 

Teror terhadap Usaha Pencarian Fakta 

Sejak awal pembentukan tim pencari fakta, teror mulai menyasar korban, keluarga, tenaga medis, dokter, relawan, hingga warga etnis Tionghoa secara luas. TGPF mendokumentasikan teror ini dilakukan secara sistematis, dengan pola brutal khas militer Orde Baru—melibatkan preman bayaran, gali, aparat bersenjata, dan penyebaran desas-desus. 

Surat kaleng menjadi alat ancaman utama. Relawan dan keluarga korban menerima intimidasi langsung dari aparat. Korban ditekan lewat telepon. Warga Tionghoa diteror melalui penyebaran foto korban pemerkosaan dan desas-desus yang sengaja disebarkan untuk menanamkan ketakutan. 

Dua insiden teror yang dicatat TGPF menunjukkan pelaku memiliki data pribadi para relawan. Mereka tahu nama anggota keluarga, sekolah anak-anak, hingga rutinitas keluarga relawan. Data ini digunakan untuk mengintimidasi secara psikologis. 

“Gerakan untuk mencari korban jangan diteruskan. Kalau diteruskan, akan tahu akibatnya. Ingat, saudara punya keluarga kan? Kalau masih sayang diri sendiri atau keluarga, harus menurut saya. Awas, saya tidak main-main!” (Cuplikan surat kaleng kepada relawan, Juni 1998). 

“Apa granat masih kurang? Saya tahu anak-anak kamu sekolah dimana, seragamnya apa, jam berapa berangkat dan pulang sekolah…” (Ancaman dari penelpon gelap kepada seorang relawan, Juni 1998). 



#waveforequality
About Author

Jasmine Floretta V.D and Syifa Maulida