
Di negara yang katanya menjunjung tinggi pendidikan, tahun 2025 justru datang dengan kabar muram: anggaran pendidikan melorot ke angka 14,3 % dari APBN—angka terendah dalam beberapa tahun terakhir. Tapi, seperti biasa, penurunan ini hanya menimbulkan kehebohan sebentar. Setelah itu, ya sudah yang bergerak? Lagi-lagi para ibu.
Ini bukan tulisan yang meminta ibu-ibu bekerja lebih keras lagi. Justru sebaliknya, ini pengakuan. Bahwa di tengah sistem yang pincang, ibu-ibu sudah bekerja terlalu banyak: sebagai guru, konselor, juru masak, moderator konflik, bahkan kurator konten edukatif. Para ibu adalah “majelis berjalan”. Bukan majelis taklim yang membahas surga dan neraka, tapi majelis literasi, nutrisi, bahkan terapi emosi—karena negara tampaknya lebih tertarik mengurus infrastruktur beton daripada struktur masa depan anak-anak.
Baca juga: Anggaran Pendidikan dan Riset Dibabat Habis, Mimpi Negara Maju Cuma ‘Omon-omon’
Dari Pengajian ke Pendidikan Kritis
Di banyak rumah, ibu bukan hanya pendamping tugas sekolah, tapi penyaring informasi dari TikTok, penengah konflik antara anak-anak, hingga motivator pribadi. Kita sering melihat ibu-ibu mengobrol soal parenting, nutrisi, hingga isu sosial di grup pengajian, arisan, atau WhatsApp kelas. Ini bukan obrolan remeh. Ini, kalau kata Paulo Freire, adalah praktik pendidikan yang membebaskan.
Freire dalam Pedagogy of the Oppressed mengkritik pendidikan satu arah yang memperlakukan murid seperti celengan kosong. Guru datang, setor ilmu, lalu pergi. Tapi di rumah, ibu tahu betul bahwa anak bukan celengan. Mereka butuh dialog, bukan ceramah. Butuh dipahami, bukan disuruh diam.
Dan tanpa pelatihan formal, ibu-ibu sudah melakukan semua itu—belajar sambil mengajar, membesarkan anak sambil merenung tentang masa depan mereka, menjadi murid-guru dan guru-murid sekaligus. Tanpa gaji, tanpa jam kerja jelas, dan tanpa cuti.
Ketika gawai cepat rusak dan aplikasi belajar sering ngadat, para ibu tetap berinovasi. Dari kardus bekas mereka ciptakan alat edukatif. Dari dapur yang sempit mereka ajarkan logika ekonomi rumah tangga. Dari drama Korea, mereka ajarkan empati. Semua terjadi sambil nyambi masak dan mengecek promo popok di e-commerce.
Di masa ketika negara lebih suka bangun jalan tol daripada memperbaiki kurikulum, para ibu justru sibuk mencari cara agar anak mereka tidak tumbuh jadi generasi asal scroll. Tapi, peran ini butuh pengakuan. Bukan tepuk tangan, tapi dukungan: akses, waktu, dan ruang refleksi.
Baca juga: Ibu Tunggal Dikambinghitamkan dalam Pendidikan Anak
Antara WiFi gratis dan bandwidth emosional
UNESCO pada 2025 melaporkan bahwa 73 persen siswa dunia belajar lewat platform digital, tapi hanya 28 persen yang mampu membedakan mana informasi kredibel dan mana hoaks. Dalam dunia yang algoritmanya lebih tahu isi kepala anak ketimbang wali kelasnya sendiri, siapa yang bertugas menyaring semua ini kalau bukan orang tua?
Teori self-determination dari Deci dan Ryan mengajarkan bahwa manusia, termasuk anak-anak, butuh rasa otonomi, kompetensi, dan keterhubungan. Tapi ketika tugas daring lebih banyak bikin stres daripada paham, siapa yang membantu mereka membangun motivasi belajar dari dalam?
Jawabannya sering kali: ibu. Bukan sebagai pengawas tugas atau penjaga layar, tapi sebagai pendamping yang tahu kapan harus memberi ruang dan kapan harus mendampingi. Yang tahu kapan anak perlu belajar, dan kapan mereka cuma butuh dipeluk.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2025 menunjukkan bahwa 63 persen anak usia SD menghabiskan lebih dari 5 jam per hari di depan layar, tapi hanya 21 persen dari mereka yang mendapat pendampingan belajar aktif dari orang tua. Artinya, peran keluarga, khususnya ibu, semakin penting dalam membangun kesadaran belajar anak. Tapi ini bukan ajakan agar ibu harus “serba bisa”. Ini ajakan agar peran ibu diakui dan didukung secara sistemik.
Seperti kata Freire, pendidikan yang membebaskan adalah tindakan dan refleksi yang menghasilkan transformasi. Dan transformasi itu sering dimulai dari rumah—dari meja makan, dari obrolan ringan, dari pertanyaan sederhana: “Kenapa kamu percaya semua yang dibilang YouTuber itu?”
Baca juga: Beban Timpang antara Ibu dan Ayah dalam Pendampingan Belajar dari Rumah
Pendidikan seperti teh hangat
Apakah harus selalu ibu? Tentu tidak. Pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama. Tapi selama negara belum menjamin sistem pendidikan yang berpihak pada anak, selama sekolah masih terlalu sibuk mengejar peringkat dan tidak peduli pada kapasitas unik tiap anak, maka para ibu akan tetap menjadi garda depan. Maka daripada menyalahkan ibu yang tak “aktif” mendampingi anak, lebih baik kita tanya: sudahkah kita mendampingi para ibu?
Pendidikan bukan peluru emas yang menyelesaikan semua masalah. Ia seperti teh hangat di pagi hari: tidak langsung menyembuhkan, tapi memberi napas, kehangatan, dan arah. Dan ibu, entah dia lulusan Harvard atau kampus kehidupan, sering tahu persis kapan harus menyeduh teh itu. Kapan harus membiarkan anak berproses. Kapan harus memeluk, dan kapan harus berkata: “Yuk, kita belajar bareng.”
Karena pada akhirnya, pendidikan bukan soal hafalan atau angka rapor. Tapi tentang siapa yang hadir. Dan banyak dari mereka, hadir di rumah—dalam wujud seorang ibu.
Foggy FF adalah novelis dan esais, seorang ibu yang aktif bergiat kampanye tentang isu kesehatan mental dan kesetaraan gender.
