Timpang Sebelah Beri Hukuman, Qanun Jinayat Tidak Berperspektif Gender
Kasus hukuman cambuk TS dan RJ di Aceh menyorot qanun jinayat tidak berperspektif perempuan dan korban.
Seorang perempuan dengan pakaian serba putih duduk bersimpuh di halaman kantor Dinas Syariat Islam Aceh Timur (13/1). Di sampingnya, berdiri jallad, algojo pemberi cambuk, lengkap dengan pakaian kecoklatan dan topeng untuk menyembunyikan identitasnya. Saat itu, perempuan berinisial RJ tersebut dijatuhi hukuman cambuk sebanyak seratus kali karena ikhtilat, bermesraan dengan seseorang yang bukan pasangannya, dan zina.
RJ tidak sendiri, di hari yang sama laki-laki berinisial TS juga menerima hukuman cambuk sebanyak 15 kali. Mantan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh Timur itu dijatuhi hukuman cambuk karena disebut terbukti melakukan ikhtilat dengan RJ.
Hukum cambuk tersebut merupakan salah satu sanksi pelanggaran qanun jinayat atau Peraturan Daerah Provinsi Aceh No.6 tahun 2014 yang mengatur pemidanaan pelanggaran syariat Islam, seperti ikhtilat, zina, berduaan dengan pasangan bukan muhrim, (khalwat), pemerkosaan, dan LGBT. Aceh satu-satunya daerah di Indonesia yang memberlakukan hukum pidana tersebut.
Dilansir dari Kompas, kasus TS dan RJ sudah bergulir sejak 2018. TS datang ke rumah RJ yang sedang sendiri, keduanya kemudian ditangkap warga atas dugaan bercumbu. Kasus RJ dan TS lalu diproses di Mahkamah Syariah IDI, Aceh Timur tahun lalu. TS divonis hukuman cambuk sebanyak 30 kali dan RJ seratus kali cambuk.
Meski demikian, TS mendapatkan keringanan hukuman setelah mengajukan banding ke Mahkamah Syariah Aceh pada Juli 2021 dan dijatuhi 30 bulan penjara. Dua bulan kemudian TS mendapatkan perubahan hukuman menjadi 15 kali cambuk setelah melakukan kasasi di Mahkamah Agung RI.
Baca juga: Problem Pembahasan Kekerasan Seksual dalam Fikih Islam
Cerita berbeda dialami RJ, dia melakukan banding ke Mahkamah Syariah Aceh dan tetap divonis seratus kali cambuk. Dia kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI dan tetap dijatuhi hukuman yang sama. Perbedaan hukum cambuk dan keringanan setelah mengajukan banding itu kemudian menjadi perhatian publik. Dalam kasus yang sama, mengapa perbedaan itu dapat terjadi?
Diskriminatif Pada Perempuan
Mengutip Ivan Najjar Alavi, Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Aceh Timur di Kompas, selama masa persidangan TS tidak mengakui melakukan ikhtilat, sedangkan RJ mengaku melakukan hal tersebut.
Berkaca dari hal itu, Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh Khairani Arifin mengatakan, TS dan RJ mendapatkan hukuman yang berbeda karena pembuktian hukum jinayat dilakukan berdasarkan pengakuan dari orang yang terlibat dalam satu kasus.
Karenanya, seseorang yang mengakui dianggap bersalah, sementara yang tidak mengaku dianggap tidak bersalah. Hal itu pula yang menjadi permasalahan dalam proses pembuktian hukum jinayat, pasalnya seseorang atau pelaku bisa menolak mengakui perbuatannya.
“Jadi, pembuktian yang kuat itu pengakuan melakukan tindak pidana atau jarimah, dalam bahasa qanun-nya, dari pelaku,” ujar Khairani kepada Magdalene (19/1).
Ia melanjutkan, hukum jinayat bersifat diskriminatif pada perempuan karena perempuan yang diletakkan sebagai tumpuan moralitas masyarakat akan menerima hukuman lebih besar jika dinilai melakukan pelanggaran. Selain itu, perempuan juga disalahkan sebagai penyebab terjadinya zina tersebut.
Baca juga: Pencabutan SKB 3 Menteri tentang Seragam Sekolah Langkah Mundur Toleransi
“Jadi diskriminatif pada perempuan, seperti kasus kemarin (TS dan RJ). Orang yang tidak mengaku akan bebas dari kesalahan, kalau pun dihukum dia mendapatkan yang ringan,” tandasnya.
Tidak Melindungi Korban Kekerasan
Khairani melanjutkan, hukum jinayat juga tidak berpihak pada korban kekerasan seksual karena memiliki kecenderungan untuk reviktimisasi korban. Dalam kasus pemerkosaan, misalnya, jika korban dinilai tidak bisa memberikan bukti terjadi pemerkosaan dan pelaku tidak mengakui perbuatannya, korban dapat dituduh melakukan pencemaran nama baik atau fitnah.
“Korban mendapat beberapa hukuman, pertama karena tuduhan berzina, kedua karena dia dianggap mencemarkan nama baik orang lain akibat pelaku yang tidak ingin mengaku,” tandasnya.
Karenanya, qanun jinayat menjadi sorotan aktivis perempuan dan anak sebab membebaskan atau tidak memberikan hukuman pada pelaku. Kasus MA dan DP, misalnya, pelaku pemerkosaan anak berusia 10 tahun yang dibebaskan dari hukuman Mei lalu.
Mahkamah Syariah Aceh membebaskan pelaku setelah mengajukan banding, walaupun sebelumnya dituntut 16,5 tahun penjara.
Aktivis menyebut hakim gagal berpihak pada korban karena menilai video kesaksian korban tidak memadai sebagai bukti. Selain itu, visum juga tidak dikategorikan sebagai bukti karena tidak menunjukkan siapa pelaku. Sementara visum dimaksudkan untuk menunjukkan terjadinya tindak kekerasan.
“(Hukum jinayat) belum bisa memberikan keadilan bagi korban, baik substansinya, penegak hukum, dan kesiapan aparaturnya. Belum cukup memberikan keadilan bagi korban atau pelaku yang ‘dikorbankan’,” kata Khairani.
Baca juga: Kasus SMKN 2 Padang Momentum Hentikan Pemaksaan Jilbab di Sekolah
Tumpul ke Atas, Runcing ke Bawah
Khairani mengatakan, hukum jinayat juga cenderung tumpul ke atas dan runcing ke bawah karena pejabat yang terlibat sebagai pelanggar hukum syariah akan menerima hukuman ringan atau tidak sama sekali.
Seseorang yang memiliki status tinggi, uang, dan kekuasaan cenderung memiliki akses mudah untuk membebaskan dirinya, seperti meninggalkan Aceh karena qanun jinayat tidak bisa diberlakukan di daerah lain, imbuhnya.
“Kalau perempuan mereka akan sulit pergi karena secara ekonomi dan sosial perempuan tidak mudah berpindah, seperti mereka dengan jabatan tinggi serta memiliki tingkat perekonomian yang baik,” ujarnya.
Ia juga berujar, qanun jinayat juga tidak berpusat pada hal lebih penting terkait pelayanan masyarakat, seperti pemberantasan korupsi. Sedangkan yang ingin diterapkan dalam hukum Islam adalah menyejahterakan masyarakat, toleransi, dan adil untuk semua. Qanun jinayat pun dinilai bukan jawaban efektif sebagai produk hukum.
“Ini juga ada politik agama bukan sekadar praktik murni ingin melaksanakan syariat Islam secara baik. Pasti ada kepentingan politik di dalamnya,”
Khairani pun mengatakan, revisi qanun jinayat yang diusulkan masuk program legislasi Aceh 2022 menjadi peluang besar untuk memberi masukan agar substansinya menjadi adil, tidak diskriminatif, dan mengatur hal yang memiliki urgensi di Aceh. Selain itu, hukum seperti RUU TPKS dapat melindungi korban kekerasan dan memberikan mereka keadilan.
“Kalau dalam prinsip hukum saya rasa yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang rendah. Jadi UU mengalahkan Perda walaupun banyak yang berkilah hukum spesifik menang dibanding hukum umum, RUU TPKS dapat menjadi landasan perlindungan korban,” jelasnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari