Perda Penyimpangan Seksual Bogor: Ngawur dan Diskriminatif
Lagi, Perda diskriminatif pada kelompok LGBTQ menyerang amanat UUD 1945. Kali ini datang dari Pemkot Bogor.
Fenomena Pemerintah Daerah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif kembali terjadi. Kali ini datang dari Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto dengan Perda Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S), 21 Desember lalu.
Aturan ini terang-terangan diskriminatif pada kelompok LGBTQ. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Keberagaman Gender dan Seksual menilai, Perda ini bahkan berpotensi melahirkan tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Sebagaimana Perda-perda diskriminatif lainnya yang pernah hadir, Perda P4S ini juga didasarkan pada sains yang tidak update dan melanggar aturan-aturan terdahulu.
Berikut adalah alasan mengapa Perda ini ngawur dan perlu didesak untuk dibatalkan.
Baca juga: Queer Hingga Lesbian, Riset Ungkap Reaksi Muslim Soal Identitas Gender
1. Definisi Menyimpang yang Menyimpang
Dalam Bab III Bentuk Perilaku Penyimpangan Seksual, Perda ini mendefinisikan perilaku-perilaku yang menurutnya menyimpang. Beberapa di antaranya adalah homoseksual, lesbian, dan waria, yang bertentangan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Dalam International Classification of Diseases yang dikeluarkan World Health Organization (Badan Kesehatan Dunia), transgender telah dinyatakan bukan gangguan jiwa.
Definisi yang menyimpang ini dapat memperparah diskriminasi dan persekusi yang dialami kelompok LGBTQ. Menurut rilis Koalisi yang diterima Magdalene, dampak Perda ini bahkan bisa membuat aparat sewenang-wenang melakukan penangkapan sewenang-wenang. Dalam pasal 8 Perda ini, terdapat pula pembentukan lembaga lintas sektoral yang sangat mungkin digunakan untuk melanggar HAM individu yang dipersekusi.
Dampak misinformasi dari Perda ini juga bisa memperkuat penolakan dan kebencian pada kelompok minoritas gender. Selain itu juga bisa menjadi alat untuk terus menyebarkan informasi keliru tentang orientasi seksual dan identitas gender.
Baca juga: Apa Pun Sakitnya, (Bukan) Ruqyah Jawabannya
2. Wacana Rehabilitasi yang Menentang Permensos Standar Rehabilitasi Nasional
Dalam Perda ini ada poin rehabilitasi yang dianggap sebagai upaya “menyembuhkan” kelompok LGBTQ. Namun, poin tersebut sebetulnya bertentangan dengan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 22 Tahun 2014 tentang Standar Rehabilitasi Nasional. Di sana, orientasi seksual bukan sasaran rehabilitasi karena bukan sebuah penyimpangan dan gangguan yang dapat direhabilitasi.
Aturan rehabilitasi ini dirinci dalam pasal 9, 12, 15, dan 18. Menurut Koalisi, hal ini akan berpotensi menambah maraknya aktivitas pemaksaan upaya perubahan orientasi seksual dan identitas gender seseorang. Padahal PBB lewat Ahli Independen Prosedur Khusus Victor Madrigal Borloz, menyebut upaya rehabilitasi ini sebagai bentuk penyiksaan.
Pasal 12 tentang Penyelenggaraan Konseling sebagai salah satu upaya preventif juga bertentangan dengan kode etik dan kompetensi dasar Konselor yang ada dalam Permendiknas Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Konselor, di mana konselor seharusnya menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, serta peka, empati, dan menghormati keragaman.
Baca juga: Anak Meninggal Karena Ruqyah, Kesalahan Ada di Mana?
3. Bukan yang Pertama
Perda diskriminatif pada kelompok LGBT bukan terjadi pertama kali di Indonesia. Banyak daerah menggunakan kewenangan otonom daerah untuk membentuk aturannya sendiri meski sadar kalau ini menentang amanat Undang-undang 1945. Di Aceh, misalnya, Mei 2018, sepasang gay dicambuk 85 kali. Dua bulan kemudian, dua gay lain menerima hukuman cambuk di depan umum. Semua bersebab Aceh punya aturan daerah yang secara spesifik menyasar kelompok LGBT.
Mengikuti jejak diskriminatif di Aceh, November 2018, 18 pasangan LGBT ditangkap Satpol PP Padang atas perintah Wali Kota Mahyeldi Ansharullah. Mereka dikirim ke Dinas Sosial untuk di-ruqyah. Sebulan kemudian, Satpol PP Padang kembali menangkap pasangan gay di rumah kontrakan dan menyerahkan ke Dinas Sosial untuk dirukyah. Jalur rukyah ini memang sering kali diambil sejumlah pemerintah daerah karena masih menganggap LGBT sebagai penyakit.
Kebijakan lebih tajam diambil Wali Kota Pariaman Genius Umar pada bulan yang sama. Ia merilis Perda 10/2018 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum, di dalamnya melarang LGBT. Pasal 25 Perda itu menyebutkan, “Setiap orang laki-laki dan perempuan dilarang melakukan perbuatan asusila dengan sesama jenis atau melakukan perbuatan yang dimaksud dengan LGBT.” Sanksinya, bagi yang tertangkap atas tuduhan itu harus membayar Rp1 juta untuk biaya penegakan perda, ditambah pidana denda paling banyak Rp5 juta dan atau tiga bulan kurungan.
4. Memperparah Akses Kesehatan
Perda P4S juga bisa menjadi legitimasi mendiskriminasi kelompok LGBT dalam mengakses layanan kesehatan. Menurut Koalisi, petugas kesehatan, penyedia layanan kesehatan, aparatur daerah dan masyarakat secara umum dapat mengirim individu baik anggota keluarga maupun anggota masyarakat ke pusat rehabilitasi lewat Perda tersebut.
Perda ini juga bertentangan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghapus segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang diskriminatif terhadap orang dengan HIV dan kelompok populasi kunci, yang tertuang di dalam Deklarasi Politik PBB tentang HIV/AIDS tahun 2021. Kebijakan seperti ini, akan menjadi hambatan besar terhadap respons HIV yang efektif menuju Indonesia bebas AIDS pada 2030.