#PerempuanRawatBumi: Kisah Perempuan Penenun Sampah
Di teras rumah bermural ikan giru di Kampung Rawageni, Cipayung, Depok, Masrifah Satiri, 48, duduk bersila dikelilingi dua baskom hijau besar. Di dalamnya, ratusan kemasan sachet plastik bekas telah dipilah berdasarkan warna dan motif. Dengan gerakan tangan cekatan dan presisi, ia mulai menyusun dan menganyam sampah-sampah itu ke dalam pola yang teratur.
Melalui tangan Eva—sapaan akrab Masrifah —limbah plastik yang tak terurai itu berubah rupa menjadi tikar, tas, rompi, hingga tanaman hias. Tak lagi terlihat jejak “sampah” dari karya-karyanya; hanya warna-warni yang berpadu harmonis.
Motivasi Eva sederhana: kegelisahan melihat limbah plastik sachet yang kian menumpuk di lingkungannya. Ia menyadari, minuman kemasan instan menjadi konsumsi harian warga, terutama para bapak.
“Bapak-bapak di sini itu suka ngopi ya, lumayan sehari bisa dua kali. Kalau dalam seminggu sampahnya dikumpulin aja sudah sebanyak ini,” ucap Eva sambil menunjukkan kantung plastik kecil berisi kemasan sachet bekas.
Ketimbang dibiarkan mencemari tanah selama ratusan tahun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipayung, Eva memutuskan mencari solusi. Pada 2019, secara tidak sengaja ia bertemu teman yang mengajarinya teknik menganyam sachet. Dalam satu kali sesi belajar, Eva langsung bisa mengikuti. Sejak itu, ia terus mengasah kemampuannya secara otodidak melalui video YouTube.

Tak butuh waktu lama, keterampilannya menarik perhatian warga. Yang awalnya hanya hobi personal, lambat laun menjelma jadi gerakan kolektif. Para ibu rumah tangga ikut belajar, anak-anak dan para bapak pun mulai mengumpulkan sampah sachet dan menyetorkannya ke rumah Eva.
“Kadang ibu-ibu ada yang mau belajar. Terus sekarang ada yang setor ini (sampah sachet). Kalau suka ngopi gitu langsung simpen. Kalau udah seplastik, dikirim ke sini atau dilempar aja,” jelas Eva sambil menunjuk pagar rumahnya.
Baca juga: Dear Pandawara, Sampah Pembalut Bukan Karena Perempuan Jorok tapi…
Dari Bank Sampah hingga Kantin Sampah
Eva bukan satu-satunya perempuan Rawageni yang bergerak. Di kampung yang kini dikenal sebagai salah satu percontohan kampung iklim tingkat nasional, inisiatif kolektif pengelolaan sampah tumbuh subur, dan sebagian besar digerakkan oleh perempuan.
Surtati, 58, misalnya, memilih bertindak sejak 2013. Awalnya ia hanya ingin mengurangi volume sampah rumah tangga yang berakhir di TPA. Namun upaya memisahkan dan menjual sampah anorganik justru terbukti menguntungkan. Ia lalu mendirikan Bank Sampah Barokah di rumahnya, Jalan Rawageni RT 05 RW 07 No.77.

Bank ini awalnya mengadopsi sistem jemput bola. Namun kini, warga datang sendiri membawa sampah mereka sesuai jadwal yang ditetapkan. Surtati mencatat setiap setoran dan aktif memantau harga jual ke pengepul.
“Dari hasil penjualan ini nanti akumulasi terus dibagi ke nasabah. Lumayan, sekarang sudah ada 30 nasabah di Bank Barokah,” katanya.
Tidak berhenti di situ, Surtati juga mengolah sampah organik menjadi kompos. Di belakang rumahnya, ia menyiapkan toren besar dan wadah kecil untuk daun kering dan sisa makanan. Kompos yang dihasilkan digunakan untuk lahan Apotek Hidup. Ini adalah lahan kolektif bersama RW setempat, Sanusi, dan warga lain, yang ditanami beragam tanaman herbal.
“Di situ ada daun saga, daun jarak, kumis kucing, kedondong, jambu kristal, sambiloto juga ada. Umpamanya cucu batuk atau panas dalam (tinggal) petikin daun saga saja,” tutur Tati.

Selain Bank Sampah dan Apotek Hidup, Kampung Rawageni juga punya Kantin Sampah. Gagasan yang mulanya lahir dari Sanusi ini dieksekusi bersama Arianah, 59 dan Yayah, 48 pada 2023. Di sini, sampah bisa dikonversi menjadi kebutuhan pokok. Tiga kilogram plastik atau kardus bisa ditukar dengan sepiring mi instan atau segelas kopi hangat.
“Dari keuntungan ini nanti kita alokasikan buat membetulkan jalan, bangun masjid. Terus tiap Jumat kami masak buat ngasih makan siang gratis buat siapa saja, termasuk anak-anak yatim,” terang Arianah.
Kantin Sampah bahkan bermitra dengan UMKM setempat. Ini memungkinkan setiap transaksi menghasilkan keuntungan Rp2.000 yang ujung-ujungnya bakal kembali ke warga.
Baca juga: Perempuan, Kabut Asap, dan Kerja yang Tak Terlihat
Sampah sebagai Modal Hidup
Transformasi Kampung Rawageni bermula pada 2017. Dari kawasan kumuh, kampung ini berubah menjadi contoh nyata pengelolaan sampah berbasis komunitas. Namun lebih dari sekadar bersih lingkungan, kampung ini juga membuktikan, sampah bisa menjadi sumber pemberdayaan ekonomi.
Yuli, 56, warga lainnya, rutin memisahkan sampah di rumah. Sampah organik ia jadikan kompos, termasuk kotoran kambing, yang kemudian ia gunakan untuk menanam tanaman seperti bayam, jahe, bunga telang, dan sereh.
Hasil tanam itu ia olah menjadi makanan dan minuman. Kripik bayam, minuman telang, dan wedang jahe buatan Yuli dijual di bazar atau secara daring.
“Suami saya dulu sebelum Covid-19 pemain musik, tapi setelah ada Covid-19 jadi sepi, jarang ada job. Makanya saya sangat terbantu sekali dengan adanya tanaman sendiri. Dari seluruh dagangan, saya kira-kira itu (dapat) Rp1,5 juta per bulan,” ucap Yuli.

Pengalaman serupa dirasakan Surtati. Ia tak hanya menjual botol plastik dan kardus, tapi juga barang bernilai tinggi seperti tembaga dan aluminium.
“Harganya lumayan kalau kita rajin memilah. Botol Rp3.300, gelas plastik Rp1.000, buku bekas, aluminium Rp10.000. Aku bulan Juli menjual ke rongsok tembaga 2 kg seharga Rp200.000,” kata Tati.
Ilmunya kini banyak dicari, dari komunitas hingga kelurahan. Ia beberapa kali menjadi narasumber pelatihan dan mengaku telah mengumpulkan Rp4 juta dari aktivitas ini.
Baca juga: Dari Kompos ke Komunitas: Perempuan Petani Kota Menanam Harapan di Tengah Beton
Kampung Terjaga, Perempuan Berdaya
Pengelolaan sampah di Rawageni bukan sekadar cerita soal daur ulang. Ini adalah bukti upaya menjaga lingkungan bisa menjadi ruang bagi perempuan untuk mengambil peran aktif, mengubah krisis menjadi kekuatan.
Dengan mengolah limbah, mereka bukan hanya menyelamatkan Bumi dari pencemaran. Mereka juga menciptakan nilai ekonomi, menumbuhkan solidaritas komunitas, dan memperkuat posisi perempuan di ranah sosial.
Dalam gerakan ini, setiap helai plastik, setiap genggam kompos, setiap botol bekas menyimpan kisah tentang ketekunan, kreativitas, dan keberanian para perempuan.
Karena ketika perempuan bergerak, riaknya mengubah dunia—dimulai dari kampung mereka sendiri.
Purnama Ayu, Syifa Maulida, Allaam Faadhilah, dan Rose Hendrika membantu dalam peliputan di Rawageni.
Artikel ini merupakan bagian dari serial liputan kolaborasi #PerempuanRawatBumi bersama media anggota Women News Network (WNN), didukung oleh International Media Support (IMS). Informasi soal WNN bisa diakses di https://womennewsnetwork.id/
















