Orang-orang di sekitarku banyak yang mengatakan bahwa cantik itu relatif. Namun, tumbuh dengan penampilan yang tak sesuai standar kecantikan bikin aku sadar, bahwa pernyataan ini hanya bualan belaka.
Selama beranjak dewasa, aku menyadari bahwa supaya bisa dianggap cantik, perempuan tak hanya harus putih dan langsing, tapi juga punya rambut lurus seperti model perempuan di iklan-iklan sampo.
Dengan standar kecantikan seperti ini, aku tak pernah pede dengan penampilanku. Salah satunya karena rambutku yang keriting.
Tontonanku dulu juga enggak membantu sama sekali. Salah satu film favoritku The Princess Diaries (2001), bahkan secara tak langsung mengajariku untuk membenci rambut keritingku.
Mia Thermopolis (Anne Hathaway) sang karakter utama memiliki rambut serupa denganku, keriting dan mengembang. Aku yang ketika itu duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), awalnya merasa senang. Ternyata ada orang lain yang punya rambut yang mirip denganku, tapi perasaan senang itu tak bertahan lama. Selama film berjalan, aku belajar kalau rambut keriting adalah salah satu fitur Mia yang dianggap tidak “cantik”, sehingga harus diubah.
Dalam satu adegan penting dalam film, Mia harus melalui serangkaian tahap makeover agar dirinya pantas jadi putri kerajaan yang dipotret film sebagai definisi anggun dan cantik. Salah satu treatment yang harus dilalui, adalah meluruskan rambut keriting yang ia punya. Bukan cuma dianggap tidak cantik, dari film itu aku menangkap pesan bahwa rambut keriting menandakan seseorang tak bisa merawat dirinya sendiri. Kerangka pikir ini tertanam di diriku sendiri cukup lama.
Baca Juga: Menentang Standar Kecantikan Agar Tubuh Tidak Terjajah
Standar Kecantikan Ala Eropa
Susan L. Bryant dalam penelitiannya, The Beauty Ideal The Effects of European Standards of Beauty on Black Women (2013) memaparkan, definisi cantik yang berarti memiliki rambut lurus sebenarnya berasal dari standar kecantikan Eropa. Standar kecantikan Eropa sendiri adalah gagasan bahwa semakin dekat seseorang dengan fitur Eropa, semakin menarik dan cantik dia dianggap oleh masyarakat.
Standar-standar ini menganggap atribut yang paling erat hubungannya dengan whiteness, seperti kulit putih atau cerah, rambut lurus, hidung dan bibir tipis, dan mata berwarna terang, sebagai hal yang indah.
Dampak dari internalisasi standar kecantikan ini pun berbahaya. Karena tak saja mengikis kepercayaan diri perempuan kulit berwarna, tetapi juga menciptakan bentuk ketidakadilan atau diskriminasi baru di masyarakat.
Di Indonesia, internalisasi standar kecantikan Eropa juga telah hadir lama dan mendarang daging, terutama karena beberapa kali jadi negara jajahan bangsa Eropa.
Bahkan internalisasi menjadikan rambut lurus sebagai primadona masih nyata hingga hari ini. Kita bisa melihat iklan-iklan sampo masih didominasi model perempuan dengan rambut lurus berkilau.
Selain itu, kita juga bisa merasakannya ketika mengunjungi salon kecantikan. Baik salon kecantikan kecil yang terletak di komplek perumahan sampai di mall-mall besar di Jakarta, hampir tak ada satu pun yang bisa menangani rambut keriting. Pelanggan berambut keriting selalu jadi kelas dua.
Dari teknik mencuci rambut, menyisir, hingga mengeringkan rambut, semuanya dilakukan untuk tipe rambut yang sama: Rambut lurus.
Padahal, rambut keriting butuh penanganan yang 180 derajat berbeda. Sering kali bahkan butuh ketelitian khusus. Misalnya saja, untuk mengeringkan rambut, kami yang berambut keriting harus menggunakan hair diffuser. Karena kalau tidak, rambut keriting akan berakhir mengembang, ikalnya tidak terjuntai alami, dan cenderung frizzy.
Atau dalam urusan menyisir, kami dilarang melakukannya saat rambut kering. Menyisir rambut dalam keadaan kering hanya akan membuat rambut keriting jadi mengembang dan susah diatur.
Hal-hal mendasar dan krusial dalam menangani rambut keriting inilah yang sama sekali tidak dimiliki mayoritas hairdresser manapun. Akibatnya, banyak perempuan pemilik rambut keriting yang kesulitan melakukan perawatan rambutnya di salon kecantikan.
Aku sendiri mencoba berbagai macam cara untuk mengatasi rambut keritingku. Mulai dari membeli berbagai macam sisir, memanjangkannya (kata banyak orang akan membuat rambut keriting kita jadi lurus), hingga membeli sampo, masker rambut, vitamin, dan minyak rambut yang diklaim bisa bikin rambut lurus dan mudah diatur.
Aku bahkan sempat mempertimbangkan menjalani perawatan keratin rambut dan sudah mencari-cari informasi salon mana yang menawarkan perawatan keratin terbagus. Perawatan yang dikhususkan untuk membuat rambut jadi lurus berkilau dengan harga yang luar biasa mahal.
Semua tenaga dan uang, aku gelontorkan secara percuma hanya karena aku ingin cantik. Aku tak mau lagi diledek oleh orang terdekatku dengan sebutan macam-macam, seperti rambut singa, atau rambut sarang burung. Alih-alih bersabar dan merawat rambut asliku, aku berusaha keras untuk “membasmi”-nya. Seolah-olah rambut keritingku ini adalah penyakit yang harus diobati.
Semua itu, kulakukan karena perasaan insecure yang tumbuh dari standar kecantikan kita—yang rasis dan diskriminatif.
Baca Juga: Pesanku pada Adik-adik Perempuan Tentang Standar Kecantikan
Proses Menerima Rambut Keritingku
One is not born, but rather becomes a woman.
Inilah pernyataan Simone de Beauvoir, filsuf feminis terkenal abad 21 dalam buku legendarisnya, The Second Sex (1949). Melalui pernyataan ini, Beauvoir ingin bilang bahwa menjadi “perempuan” adalah salah satu dari beberapa hal yang dikonstruksi secara sosial. Dengan kata lain, masyarakat telah mendikte apa yang seharusnya dilakukan dan dicapai mereka yang terlahir sebagai perempuan. Salah satu alat pendisiplinan itu melalui kecantikan feminin yang ideal.
Melalui standar ini, perempuan dibentuk untuk “berjuang supaya cantik” dan dituntut untuk menyesuaikan diri dengan harapan masyarakat tentang “feminitas”. Mereka dibentuk menjadi apa yang diinginkan laki-laki secara fisik, sekaligus memenuhi peran gender tradisional mereka.
Maka tak heran, standar kecantikan akan terus ada sampai kapan pun peradaban manusia masih eksis dan didominasi oleh kuasa laki-laki dan maskulinitas tradisional.
Pernyataan Beauvoir ini menohok untukku pribadi. Selama ini, aku tak sadar bahwa standar kecantikan telah membuatku mengejar validasi orang lain hanya untuk bisa dibilang cantik. Aku masuk dalam sebuah perlombaan konyol yang tak ada habisnya, dan hanya berujung melukai diri sendiri.
Setelah menyadari bahwa standar kecantikan adalah konstruksi, aku perlahan mulai bisa menerima diriku sendiri, apa adanya. Perjalanan yang tak mudah, tapi harus kulakukan.
Baca Juga: Bagaimana Standar Kecantikan Menghancurkan Perempuan?
Dunia yang Mulai Berubah
Pernyataan Beauvoir kemudian disusul kejadian yang membuat persepsiku soal kecantikan berubah.
Sebagai seorang ARMY (istilah untuk penggemar grup Idola BTS) yang aktif di media sosial, aku ikut serta dalam perayaan bulanan fandom. Namanya ARMY Selca Day. Perayaan bulanan yang jatuh tiap minggu pertama ini, mengajak para ARMY seluruh dunia untuk mengunggah foto selfie mereka ke Twitter bersamaan dengan foto bias (idola paling diidolakan) mereka. Tujuannya, sederhana tapi sangat empowering, yaitu merayakan keberagaman dan definisi cantik yang tak tunggal.
Pada saat itu, aku pertama kali mengunggah foto dengan rambut asliku di media sosial. Aku sengaja tak menyisir rambutku setelah keramas, dan tak mengeringkannya dengan hair dryer. Hari itu, kubiarkan rambutku kering sendiri, agar ikalnya terjuntai natural.
Awalnya, cukup was-was. Namun, respons yang aku dapatkan bikin terkejut. Teman-temanku—baik yang sudah kenal aku lumayan lama dan teman-teman ARMY daringku—memujiku cantik dan menyebut rambutku bagus. Pujian dari mereka membuatku menangis. Aku tak menyangka bahwa rambut yang selama ini kubenci, justru dianggap cantik oleh orang lain.
Media sosial juga membantu perjalananku menerima rambut keriting ini. Bisa dibilang, aku dan perempuan-perempuan muda lainnya sekarang beruntung hidup di era digital. Era di mana segala informasi mudah diakses dalam satu sapuan jari. Internet juga membantu gagasan tentang keberagaman tersebar lebih cepat.
Ketika kecil, rasanya jarang sekali melihat seseorang dengan rambut serupa aku. Kini setiap berjelajah di dunia maya—di YouTube, Instagram, atau Twitter—aku melihat ada banyak perempuan yang sama denganku. Mereka memiliki rambut keriting dan mereka cantik!
Mereka sangat pede dengan rambutnya. Tak hanya itu, dalam video-video yang mereka bagikan, mereka juga memperlihatkan cara bagaimana merawat rambut keriting. Sehingga kami bisa saling bertukar informasi dan tips, yang sebelumnya sulit didapatkan karena standar kecantikan cuma merawat informasi tentang perawatan rambut lurus.
Aku juga jadi paham bahwa memiliki rambut keriting tidak sama dengan memiliki kepribadian jorok dan enggan mengurus diri. Sebaliknya, memiliki rambut keriting membuat kita jadi lebih memprioritaskan kebersihan diri dan melatih diri jadi lebih disiplin. Karena punya rambut keriting takes a lot of effort and time to maintain.
Melihat para perempuan-perempuan berambut keriting begitu pede dengan rambut asli mereka, bikin aku sepenuhnya tersadar. Aku cantik dan aku tak perlu mengubah rambut keriting indah yang Tuhan telah berikan kepadaku. Sebab, pada akhirnya, kecantikan itu tak didefinisikan oleh orang lain. Ia didefinisikan oleh diri kita sendiri dan cara kita menyikapi pemberian Tuhan.