Bau Amis Pernikahan Politik Ketua MK dan Adik Jokowi
Kalau memang cinta, melepas jabatan publik harusnya pilihan mudah.
“Saudara Profesor Doktor Haji Anwar Usman SH MH Bin Haji Oesman, saya nikahkan dan saya jodohkan dengan saudari perempuan saya, Idayati binti Notomiharjo nikah dengan engkau…”
Akhirnya pernikahan itu terjadi. Ketua Mahkamah Konstitusi (MM) Anwar Usman resmi menjadi suami adik Presiden Joko Widodo, Idayati, minggu lalu. Proses ijab kabul itu langsung dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan Ketua MK Anwar Usman.
Baca juga: Jokowi dan Citra Keluarga Harmonis: Warisan Kolonialisme dan Orde Baru
Rencana pernikahan itu sudah hadir sejak Maret lalu, ketika Usman meminang Idayati. Buatnya, cinta adalah cinta. Dalam beberapa kali tatap muka dengan wartawan, Usman selalu bilang hubungannya dengan Idayati bukanlah pernikahan politik, melainkan takdir. “Saya enggak berani melawan kuasa Allah,” katanya beberapa kali.
Namun, pernikahan Anwar dan Idayati bukan pernikahan biasa. Jabatan Anwar sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dan status Idayati sebagai adik Presiden bersinggungan karena keduanya merupakan lembaga negara. Hubungan ipar itu jelas punya beban etis karena jabatan publik yang mereka pegang. Tak bisa dibaca sedangkal: “Jodoh sudah ada yang mengatur” dan melempar tanggung jawabnya pada takdir.
MK punya kewenangan dan kewajiban yang amat bersinggungan dengan presiden. Sebagai lembaga yudikatif, ia berwewenang menguji undang-undang—yang dibikin/ diusulkan oleh presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat—terhadap UUD 1945. Tugas ini genting dan penting, mengingat tak semua usulan lembaga eksekutif dan yudikatif selalu berpihak pada kita, rakyat.
Masih ingat betapa berdarah-darahnya kita menolak UU Cipta Kerja, yang tetap disahkan negara meski telah didemo berjilid-jilid? Lewat MK, UU itu bisa digugat dan diperjuangkan kembali untuk ditolak. MK sendiri menyebut UU Cipta Kerja inkonstitusional meski bersyarat.
Baca juga: Indonesia Memang Negara Kaya Kultur, Kecuali dalam Urusan Kawin Campur
Status ipar antara Jokowi dan Anwar semakin kritis karena selama masa menjabat sebagai presiden, pemerintahan Jokowi punya ide “macam-macam” untuk mengotak-atik konstitusi. Paling terakhir dan anyar, sekaligus paling ditolak, adalah rencana memperpanjang jabatan presiden. Dalam pengujian undang-undang, MK sering kali adalah harapan terakhir publik jika mencium aturan-aturan merugikan rakyat dan mengandung kepentingan golongan elite seperti ide perpanjangan periode jabatan tersebut. Sehingga, bagaimana mungkin hubungan Ketua MK yang sudah jadi adik ipar presiden tak diendus sebagai konflik kepentingan?
Melihat rekam jejaknya, Anwar sendiri tercatat sejarah sebagai salah satu hakim MK yang mengeluarkan putusan nomor 56/PUU-XVII/2019. Isinya memperbolehkan mantan narapidana korupsi tetap bisa maju Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), setelah bebas lima tahun.
Putusan itu adalah satu dari sekian putusan kontroversial MK dalam periode Anwar menjabat. Anwar juga tercatat sebagai satu dari empat hakim yang menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat atas putusan MK yang menolak permohonan uji materi Pasal 284, 285, dan 292 KUHP dari Aliansi Cinta Keluarga (AILA). Anwar jadi salah satu hakim yang setuju dengan permohonan uji materi—yang kala itu dikritik karena berusaha mengkriminalisasi kelompok rentan minoritas gender.
Selain itu, Anwar juga tercatat sebagai satu dari empat hakim yang menyatakan dissenting poin dalam putusan 91/PUU-XVIII/2020 tentang uji formil Omnibus Law UU Cipta Kerja, November 2021 lalu. Ia sepakat dengan pemerintah, dan merasa UU Cipta Kerja dapat diadaptasi dan diterapkan.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari bilang pada Tempo, “Penting bagi kita semua untuk memiliki peradilan konstitusi yang taat dengan nilai-nilai peradilan yang merdeka dari segala relasi kekuasaan.”
Ia bahkan menyebut, dalam keterangan tertulis 22 Maret 2022 lalu, pernikahan Anwar-Idayati menimbulkan dampak ketatanegaraan, sehingga mendesak Anwar untuk meninggalkan jabatannya.
Beberapa orang berpendapat lain. Mereka menganggap Anwar tak perlu sampai melepas jabatan karena tak melanggar hukum dan kode etik Hakim MK. Salah satu yang vokal tentang ini adalah Hamdan Zoelva, Ketua MK periode 2013-2015. Ia diwawancarai sejumlah media, dan selalu bilang kalau pernikahan Anwar-Idayati tak sampai pada konflik kepentingan.
Baca juga: Tiga Alasan Menolak Penundaan Pemilu 2024
Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman disebutkan, hakim harus mundur apabila memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang diperiksa. Salah satu undang-undang hasil pemerintahan Jokowi yang sedang diuji MK adalah UU Ibu Kota Negara (IKN). Sebagai salah satu hakim MK, sekaligus Ketua MK, Anwar tak mungkin lepas dari konflik kepentingan karena Presiden—pihak termohon dalam proses pengujian undang-undang itu—adalah kakak iparnya.
Konflik kepentingan akan selalu muncul dalam tiap pengujian undang-undang karena presiden adalah lembaga eksekutif yang punya wewenang mengusulkan ataupun membuat undang-undang. Sementara, hakim yang baik harusnya bebas dari pengaruh apa pun, termasuk kekuasaan, apalagi kekerabatan dengan penguasa.
Selain dalam menguji UU, MK juga punya wewenang lain yang erat kaitannya dengan jabatan dan kekuasaan presiden. Misalnya, kuasa untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara, dan memutuskan perselisihan hasil Pemilu. MK bahkan wajib memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan wakil presiden.
Potensi konflik kepentingan itu nyata, tak peduli seberapa seringnya Anwar menampik dan berlindung di balik cinta, atau keberpihakan media.
Jika memang cinta belaka, melepas jabatan publik harusnya pilihan mudah.