Ada Aroma Politik dalam Penobatan Gelar Pahlawan Nasional
Penobatan gelar pahlawan nasional, kini hanya menjadi ‘agenda tahunan’ yang sarat kepentingan politik.
Setidaknya, pemerintah secara resmi menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada lima tokoh. Mereka adalah HR Soeharto dari Jawa Tengah yang merupakan dokter pribadi Presiden Sukarno, KGPAA Paku Alam VIII dari Yogyakarta atas jasanya di bidang pendidikan, Raden Rubini Natawisastra dari Kalimantan Barat, Salahhudin bin Talabuddin dari Maluku Utara atas perjuangan politiknya melawan Belanda, serta Kyai Haji Ahmad Sanusi dari Jawa Barat. Kelima-limanya sudah meninggal dunia.
Keputusan itu dikukuhkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) tentang penganugerahan gelar pahlawan nasional.
Ini menambah deretan panjang daftar nama pahlawan nasional yang dimiliki oleh Indonesia. Sejak 1959, pemerintah menyematkan gelar pahlawan nasional kepada tokoh yang dianggap ‘berjasa’ bagi negara dan bangsa.
Prosedur penetapan seorang tokoh menjadi pahlawan nasional terbilang cukup rumit. Tapi, faktanya berbagai daerah masih antusias mengusulkan nama-nama calon penerima gelar pahlawan nasional.
Barangkali kita patut mempertanyakan, apa urgensi untuk terus menambah jumlah pahlawan nasional? Jika kita terus melanjutkannya, pemberian gelar pahlawan nasional justru akan menjadi festival tahunan saja dan lambat laun akan kehilangan esensi utamanya.
Baca juga: Kepahlawanan Perempuan di Abad 21
Politisasi Pelar Pahlawan
Sejak era pemerintahan Sukarno, pemberian gelar pahlawan nasional sudah menjadi salah satu upaya politik pemerintah untuk membangun ‘citra’ yang baik di mata masyarakat. Sukarno kala itu menjadikan pengangkatan gelar pahlawan nasional sebagai momen untuk memperkuat masyarakat sosialis yang dibangun di bawah nasionalisme, agama, dan komunisme, dengan mengangkat dua tokoh kiri, yaitu Alimin dan Tan Malaka sebagai pahlawan pada 1963.
Di era berikutnya, Soeharto menjadikan momen yang sama sebagai peneguhan peran militer dalam sejarah Indonesia, dengan mengangkat tokoh kunci terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yaitu Mayjen Basuki Rachmat sebagai pahlawan nasional.
Presiden-presiden setelahnya di era reformasi sekadar meneruskan tradisi tersebut. Pemerintah memberikan banyak gelar pahlawan nasional dari berbagai daerah untuk meyakinkan publik, mereka telah memerhatikan ‘pemerataan daerah’ dan telah bersikap adil, termasuk dalam hal pengakuan tokoh bangsa.
Pada masa ini, pemberian gelar pahlawan menjadi semakin politis, bahkan bisa diskriminatif. Tidak semua yang ‘berhak’ atas gelar tersebut bisa benar-benar menyandangnya. Status pahlawan saat ini cenderung hanya bisa diraih dengan dukungan privilese dan akses terhadap kekuasaan.
Tidak semua orang bisa mengusulkan calon penerima gelar pahlawan nasional. Biasanya hanya tokoh-tokoh daerah setempat yang memberikan usulan nama-nama individu yang layak mendapat gelar pahlawan nasional. Nama-nama yang terpilih di tingkat daerah kemudian mendapat rekomendasi dari gubernur untuk diserahkan ke Sekretariat Negara, sebelum Presiden menyetujui atau menolaknya. Penganugerahan gelar pahlawan itu kemudian diteken langsung oleh Presiden.
Nama-nama yang diusulkan namun tidak lolos dianggap belum memenuhi kelayakan. Padahal, persyaratan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, Dan Tanda Kehormatan sebenarnya sederhana. Namun, kelayakan mereka kerap kali terganjal masalah politik, pertimbangan ideologis, dan sejauh mana tokoh tersebut dapat memberikan manfaat bagi pemerintah semata.
Misalnya, selama beberapa tahun berturut-turut, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengangkat tokoh dari luar Jawa sebagai pahlawan nasional. Ini kemungkinan besar ia lakukan untuk mengambil simpati politik, misalnya di 2014 salah satu tokoh yang dianugerahi gelar pahlawan adalah KH Wahab Chasbullah, yang dikenal luas sebagai tokoh penting Nahdlatul Ulama (NU).
Tahun ini, muncul nama HR Soeharto yang memiliki kedekatan dengan Keluarga Sukarno, tepat di saat pemerintahan Jokowi sedang gencar membersihkan nama Sukarno dari dugaan pengkhianatan dan keterlibatannya dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sudah sejak awal rezim Jokowi telah gencar memberikan perhatian pada daerah luar Jawa dalam pembangunan. Kemungkinan besar ini menjadi salah satu senjata utama kepemimpinan Jokowi selama dua periode.
Pengangkatan pahlawan dari luar Jawa adalah satu strategi dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Kondisi ini mencerminkan adanya nuansa politik yang kental dalam penetapan pahlawan nasional, sehingga tujuannya bukan lagi demi kepentingan sosial kemasyarakatan.
Padahal, bisa jadi ada tokoh yang diusulkan, yang memiliki jasa yang cukup besar, namun tidak juga mendapatkan gelar bergengsi tersebut. Misalnya, siapa yang tidak mengenal Chairil Anwar, yang puisi-puisinya begitu bergelora dibacakan oleh anak usia SD hingga orang dewasa? Begitu pula dengan Sugondo Djodjopuspito, tokoh yang namanya selalu muncul di buku mata pelajaran sekolah sebagai pemimpin Kongres Pemuda. Keduanya hingga kini tidak kunjung mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional.
Dengan banyaknya deretan nama individu atau tokoh yang berhak disebut pahlawan nasional, yang seharusnya pemerintah lakukan adalah melakukan pendataan, bukan serta merta menobatkan gelar pahlawan.
Baca juga: Karlina Supelli Soal Kartini dan Perlawanan Perempuan Hari Ini
Pendataan Bukan Penobatan
Jika kita melihat sejarah Indonesia dari 1945 hingga 1950 saja, ada cukup banyak warga negara yang berjuang untuk bangsa dan jasanya layak dikenang. Belum lagi tokoh yang berjuang melawan penjajah sebelum abad ke-20. Mereka juga punya hak untuk mendapatkan apresiasi dan penghormatan atas jasanya.
Jika ingin objektif, maka negara juga perlu mencatat jasa-jasa dan memberikan penghormatan pada semua individu yang berjuang pada masa itu. Namun, jika semua individu kala itu diberikan gelar pahlawan nasional, maka esensi dari gelar itu bisa berkurang nilainya.
Apa yang pemerintah lakukan setiap tahun mungkin lebih tepat jika bergeser menjadi ‘upaya administratif’ – pemerintah bisa mendata orang-orang yang berjasa di masa lalu, ketimbang menganugerahkan gelar pahlawan. Mendata dan menganugerahkan adalah dua aktivitas yang berbeda. Pendataan menyasar banyak subjek, sedangkan penganugerahan harusnya hanya untuk sedikit subjek dan bersifat terbatas.
Pendataan akan meminimalisasi adanya diskriminasi dan tebang pilih terhadap para individu yang juga ‘berhak’ mendapat pengakuan atas jasa-jasanya bagi bangsa Indonesia.
Sudah semestinya pahlawan nasional diangkat dengan dua tujuan kepentingan, yakni sebagai sumber pengetahuan sejarah sekaligus inspirasi generasi muda. Sayangnya, karena gelar pahlawan sekadar menjadi ajang penganugerahan tahunan yang juga membuat jumlahnya makin banyak, citra pahlawan masa kini menjadi tidak sekuat dulu. Selain hilangnya pengaruh ideologis, pahlawan nasional kini hanya tinggal nama.
Semua itu terjadi karena kita telah salah kaprah memaknai pahlawan dengan cara yang politis dan elitis.
Pemerintah perlu memikirkan ulang mengenai implementasi kebijakan penobatan gelar pahlawan nasional supaya lebih adil bagi yang ‘berhak’ menerimanya, serta memutus konflik kepentingan dalam proses pengusulannya.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.