Potensi ‘Sustainable Fashion’ di Indonesia
Potensi sustainable fashion di Indonesia cukup menjanjikan selama itu dilihat sebagai kebutuhan, bukan tren.
Nida Priatna, 32, telah lama tertarik dengan isu sustainable fashion atau mode keberlanjutan. Namun, dia baru menemukan orang-orang yang satu pemikiran dengannya ketika bergabung dengan sebuah komunitas pencinta buku di Semarang beberapa tahun belakangan. Mereka sering berbagi referensi mengenai tempat membeli baju-baju yang memenuhi prinsip sustainability, baik di toko daring maupun luring.
“Aku lebih sering pakai baju buatan penjahit dan mencari kain berkualitas tinggi dan tak banyak menghasilkan limbah. Tas beli di Yogyakarta dan sudah menggunakannya selama lima tahun,” ujar Nida, yang bekerja sebagai karyawan swasta tersebut.
Sementara itu, Alfi Widoretno baru mengetahui keberadaan produk pakaian olahraga dengan konsep sustainable belum lama ini.
“Aku baru tahu ada merek-merek dengan produk sustainable pada tahun ini. Aku memiliki perhatian terhadap isu lingkungan hidup, tetapi kalau boleh jujur, branding mereka terkait sustainable clothing itu lebih bagus. Adidas dan Nike, misalnya, menaruh sustainable fashion brand di halaman depan webnya,” kata perempuan 26 tahun yang bekerja sebagai aparatur sipil negara di Jakarta ini.
Menurutnya, sustainable apparel memang lebih mahal, tetapi harganya tak berbeda jauh dari produk-produk mode pada umumnya.
“Harga legging Nike yang sustainable hanya berbeda Rp100.000 dengan yang tak menggunakan konsep itu,” ujar Alfi.
Bahan ramah lingkungan
Menurut laporan PBB, industri mode menyumbang 10 persen dari total emisi karbon dunia. Hal ini mendorong sejumlah konsumen dan produsen untuk beralih ke produk yang lebih ramah lingkungan.
Selama belasan tahun terakhir, banyak usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia yang mengusung konsep sustainable fashion, salah satunya merek Kanawida dan Kana Goods, yang diluncurkan oleh Sancaya Rini.
Sejak 2007, ketika mulai menjual kain batik, Sancaya tak pernah menggunakan pewarna sintetis. Dia memanfaatkan tanaman di rumahnya sebagai pewarna alami.
“Saya menggunakan daun ketapang, jambu, mangga, dan rambutan. Untuk kayu, saya memakai kayu secang dan nangka. Saya juga memanfaatkan kulit buah rambutan, jengkol, dan manggis,” katanya.
Baca juga: Bisnis Baju ‘Preloved’ Stabil Selama Pandemi
Pada 2011, Sancaya memproduksi pakaian batik berwarna biru indigo dengan merek Kana Goods, yang menyasar segmen anak muda. Untuk pewarnaan, dia menggunakan tanaman indigofera tinctoria dan strobilanthes. Sancaya juga mengurangi bahan tak terurai dan menerapkan konsep pemakaian kembali (re-use).
“Kami mengganti karet dan kancing plastik dengan tali. Jika batik sudah mulai kusam dan konsumen ingin agar terlihat baru, produk tersebut bisa dibawa ke tempat kami untuk diwarnai ulang,” katanya.
Myra Juliarti, co-founder dan desainer merek Siji, baru betul-betul menggunakan konsep sustainable tiga tahun setelah meluncurkan produknya pada 2011.
“Sebelumnya, kami masih memakai bahan poliester. Pada 2014, kami pindah ke Bali dan membangun konsep baru, salah satunya menggunakan kain belacu,” ujarnya.
Meskipun demikian, dia tak langsung dapat menerapkan konsep sustainable lainnya.
“Meskipun saat itu kami telah memakai bahan alami, kami masih menggunakan printing dan memproduksi dalam jumlah banyak. Sekarang, kami sudah berhenti printing karena menggambar sendiri,” ujarnya.
Berbeda dengan Sancaya dan Myra, Vania Santoso, co-founder heySTARTIC tertarik dengan isu lingkungan sejak remaja. Kepeduliannya berawal dari kejadian banjir di Surabaya pada awal 2000an, yang kemudian membawanya aktif pada isu manajemen sampah inovatif pada 2005.
Sembilan tahun kemudian, dia dan kakaknya, Agnes Santoso, mendirikan heySTARTIC, yang fokus pada penjualan tas, dompet, dan sandal dari kertas bekas.
“Kardus susu dimanfaatkan sebagai sisi dalam tas dan kertas semen sebagai sisi luarnya. Sisa-sisa kertas pun masih bisa dikreasikan menjadi gelang, gantungan kunci, dan lain-lain,” kata Vania via e-mail.
Mengurangi dampak lingkungan saja tidak cukup
Sudah banyak merek-merek UMKM lokal yang berusaha meminimalisasi dampak pencemaran lingkungan. Aktivis Safina Maulida dari Fashion Revolution memuji inisiatif UMKM tersebut, namun ia mengatakan hal itu tidak cukup.
“Di Indonesia, melepaskan diri dari rantai industri adalah langkah besar. Dengan membuat produk sendiri, mereka tak ingin bergantung (pada pemodal besar). Ini langkah besar tapi kita ingin lebih dari itu,” ujarnya.
Baca juga: Berapa Harga Kaos ‘Girl Power’-mu? Fakta tentang Femvertising
“Kami di Fashion Revolution ingin mengetahui bagaimana sebuah produk dibuat, dari mana bahannya didapatkan, dan apakah produsen melakukan fair trade. Kami juga ingin agar produsen terus mengangkat identitas si pembuat,” tambahnya.
Safina juga menginginkan agar etika tidak dipisahkan dari estetika: “Harus ada value ethics bahwa barang-barang bagus dan indah tidak dibuat dari sebuah keburukan.
Ia memberikan beberapa tips bagi mereka yang ingin memilih produk sustainable agar tidak tertipu dengan greenwashing, atau strategi pemasaran untuk mengesankan sebuah merek itu seolah-olah melestarikan lingkungan hidup.
“Pilih produk lokal. Ini bukan atas dasar nasionalisme, tetapi terkait dengan rendahnya emisi yang dihasilkan,” katanya.
“Selain itu, pilih produsen yang ‘mengangkat’ orang-orang yang melakukan pekerjaan itu. Dan fair trade, please. Nilai surplus juga harus ada di pekerja. Agar konsumen mengetahuinya, pemodal harus menyebutkan hal itu,” tambahnya.
Vania dari heySTARTIC menyadari, estetika produk saja tidak cukup.
“Di heySTARTIC, kami memiliki nilai, ‘artistic outside, ethical inside’. Kami bekerja sama dengan mitra pengrajin lokal, yang mendapatkan manfaat dari fair trade atas hasil produksinya,” ujarnya.
Mahal tapi prospeknya menjanjikan
Masih banyak orang menganggap sustainable fashion cenderung mahal. Myra dari Siji mengungkapkan, harga mahal kadang disebabkan kesulitan mencari bahan organik. Produk-produk Siji dijual mulai dari Rp450.000 hingga Rp600.000.
“Ada produk yang memang harus mahal, tetapi enggak semuanya. Ketika baru mulai (bikin produk), kami harus cari bahan organik dan tak banyak yang menjualnya,” ujarnya.
Sancaya dari Kanawida dan Kana Goods mengakui produknya memang mahal, dengan kisaran Rp250.000 sampai Rp2 juta.
“Apabila dibandingkan dengan produk yang diproduksi massal, produk kami lebih mahal karena dibuat dengan tangan dan waktu pembuatannya lebih panjang,” ujarnya.
Sementara itu, Vania dari heySTARTIC menganggap bahwa mahal atau murahnya produk itu relatif karena tergantung dari bagaimana seseorang melihat imbas sebuah produk di masa depan. Harga produk-produknya bervariasi, mulai dari Rp50.000- 850.000.
“Apabila dibandingkan dengan produk fast fashion yang berdampak negatif bagi lingkungan dan pekerjanya, nilai produk fashion berkelanjutan bisa lebih murah karena memberikan ‘kehidupan’ di masa mendatang,” katanya.
Baca juga: Iklan yang Merisak Perempuan: Tarung Bebas Penjaja Produk Kecantikan
Sebagai orang yang juga memiliki merek mode, Safina dari Fashion Revolution sepakat dengan apa yang dikatakan Vania.
“Fast fashion murah karena pekerjanya menyubsidi harga dari penghasilan mereka yang kecil. Banyak banget merek lokal yang seperti ini. Ada tas yang dijual seharga Rp150.000, tapi pekerjanya hanya dibayar Rp5.000 untuk setiap tas yang dijahit,” katanya.
Tak hanya stigma mahal yang menyulitkan, ujar Vania, tapi proses produksi yang juga lebih lama.
“Pengerjaannya dilakukan dengan tangan. Jika mendadak ada pesanan dalam jumlah banyak, masih perlu koordinasi dan persiapan lebih lanjut,” ujarnya.
Kesulitan lain, seperti yang dihadapi usaha-usaha lain, adalah penurunan penjualan produk selama pandemi, yang kemudian diakali heySTARTIC dengan memproduksi barang-barang lainnya.
“Kami mulai meluncurkan produk seperti pouch untuk membawa alat-alat penunjang protokol kesehatan, kantong donasi yang murah untuk menggantikan kantong plastik, dan hampers produk ramah lingkungan,” kata Vania.
Sancaya mengatakan, Kanawida dan Kana Goods juga mengalami kesulitan karena fokus di segmen tertentu.
“Saya masih fokus di segmen menengah ke atas. Artinya, itu kan niche market, jadi tidak bisa ambil keuntungan besar,” ujar Sancaya.
Sementara itu, Siji kesulitan karena selama ini mengandalkan bazar untuk menjual produk.
“Kami mengurangi jualan di bazar karena tidak punya stok banyak setelah mulai menggambar sendiri. Akhirnya kami gencar jualan online menggunakan sistem pre-order,” ujar Myra.
Banyaknya tantangan tak membuat produsen pesimis dengan prospek bisnisnya di masa depan.
“Sudah banyak pelaku industri mode yang menjalankan bisnisnya secara berkelanjutan. Dari sisi konsumen, isu tujuan pembangunan berkelanjutan juga menjadi salah satu sorotan. Harapannya, hal ini mendorong pola konsumsi yang lebih bertanggung jawab,” kata Vania.
Myra melihat bahwa prospek sustainable fashion akan tergantung dari apakah hal itu hanya akan menjadi tren semata atau kebutuhan.
“Selama produsen dan konsumen sadar bahwa untuk membuat suatu produk itu harus bertanggung jawab dan ada etika yang harus ditaati, menurut saya hal ini tidak hanya akan menjadi tren. Kalau hanya dilihat sebagai tren, maka pada suatu titik, hal ini akan berhenti,” katanya.