Environment Issues People We Love

Aeshnina Azzahra: Aktivis Lingkungan Muda yang Kritik Sampah Plastik

Di usia muda, Aeshnina Azzahra aktif mengkritisi sampah plastik. Ia bahkan mengirim surat protes kepada para pejabat politik, dari Presiden RI hingga Presiden AS.

Avatar
  • March 1, 2025
  • 7 min read
  • 8268 Views
Aeshnina Azzahra: Aktivis Lingkungan Muda yang Kritik Sampah Plastik

Dibesarkan pasangan aktivis lingkungan sekaligus pendiri Ecoton—Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan—Prigi Arisandi dan Daru Setyorini, membuat Aeshnina Azzahra, 17, terpapar isu lingkungan sejak kanak-kanak. Orang tua Nina sering mengajak ketiga anaknya ke pantai, hutan mangrove, sungai, dan gunung, sambil mengenalkan manfaat alam pada mereka. 

Bagi Nina, sungai adalah tempat favorit untuk bermain dan berenang. Sayang, semakin ia bertumbuh, pencemaran sungai akibat limbah industri dan rumah tangga kian masif. Keresahan ini menggerakan Nina—yang saat itu masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar—menulis surat kepada Bupati Gresik. Ia berharap tempat bermainnya kembali bersih. 

 

Momen itu menandakan pertama kalinya Nina terlibat dalam aktivisme lingkungan. Belakangan, ia membuat konten kolaborasi bersama Ecoton di media sosial. Di antaranya penelitian soal sungai dan mikroplastik, serta mendorong gaya hidup minim sampah. 

Sejak kecil, kesibukan Nina pun berbeda dengan anak-anak seusianya. Di saat teman-temannya sekolah dan bermain, Nina menghadiri konferensi iklim dan mengampanyekan pentingnya menjaga lingkungan. 

Ketika ditanya apakah ia menginginkan fleksibilitas seperti teman-teman, Nina menjawab: “Alhamdulillah enggak. Aku bersyukur punya banyak kesempatan di usia muda, walaupun capek karena aku mulai sejak kecil.” 

Aeshnina Azzahra aktivis lingkungan muda
Foto: Instagram Aeshnina

Baca Juga: Direndahkan karena Kelola Sampah, Cerita Mantan Penakluk Api Jero Sri 

Fokus pada Sampah Plastik Impor 

Dari berbagai isu lingkungan, Nina memfokuskan perhatiannya pada sampah plastik impor. Ini berawal saat ia di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Waktu itu, ayah Nina mengajak pergi naik motor ke Desa Bangun, Mojokerto, Jawa Timur. Nina terkejut melihat gunungan sampah plastik di setiap halaman rumah warga—bahkan sampai lapangan desa. 

“Pertama kali melihat sampahnya, aku merasa nggak familier. Ternyata, itu sampah plastik dari negara-negara kaya,” ujar Nina. 

Warga Desa Bangun dikenal sebagai pemilah sampah plastik yang diekspor oleh Eropa dan Amerika Serikat (AS). Aktivitas ini dilakukan sejak Pabrik Kertas Indonesia (Pakerin) beroperasi pada 1977. Melansir DW, sampah plastik dari beberapa pabrik kertas di Jawa Timur hanya diberikan pada warga yang ingin mengolahnya. Melihat adanya potensi ekonomi, warga yang membeli dan memilah sampah plastik pun bertambah hingga membentuk pabrik daur ulang industri rumahan. 

Saat berkunjung ke Desa Bangun, Nina melihat warga melakukan proses daur ulang: memotong plastik menjadi partikel kecil tanpa alat profesional, dan membuang sisa sampah ke sungai. Mikroplastik tersebut dijual ke pabrik tahu atau kerupuk untuk digunakan sebagai bahan bakar, menggantikan kayu yang harganya semakin mahal. 

Yang menjadi kekhawatiran Nina, warga melakukan kegiatan tersebut tanpa memakai Alat Pelindung Diri (APD)—bahkan yang laki-laki tak mengenakan kaos, sehingga langsung terpapar mikroplastik. Padahal, paparan mikroplastik bisa berdampak pada kesehatan. 

Misalnya memengaruhi sistem kekebalan tubuh, serta merusak jaringan sel dan paru-paru karena menghirup mikroplastik. Kemudian iritasi kulit, akibat paparan langsung pada tangan karena tidak memakai sarung tangan. Dan potensi risiko kesehatan pencernaan, jika terus-menerus mengonsumsi makanan yang terpapar mikroplastik. Karena itu, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pada 2019 mengimbau, agar produsen tahu beralih ke bahan bakar selain sampah plastik. 

Melihat kondisi tersebut, Nina merasa perlu bertindak. Pada Juli 2019, ia mengirimkan surat pada Presiden AS Donald Trump lewat Konsulat Jenderal AS di Surabaya, Jawa Timur. Dalam suratnya, Nina meminta agar AS berhenti mengekspor sampah plastik ke Indonesia. Dua bulan kemudian, surat tersebut direspons oleh Konsulat Jenderal AS. 

Aeshnina Azzahra
Foto: Instagram Aeshnina

“Mereka mengapresiasiku sebagai anak muda dan meminta maaf (karena mengekspor sampah plastik ke Indonesia),” cerita Nina. “Tapi nggak bilang akan menindaklanjuti. Bahkan cenderung menyalahkan pemerintah Indonesia, karena mau nerima sampah mereka.” 

Indonesia merupakan salah satu negara utama di Asia Tenggara, yang menerima sampah plastik impor. Ini berawal dari China, yang enggan mengekspor sampah tersebut sejak 2017. Per 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah sampah plastik impor yang diterima Indonesia sekitar 252 ribu ton. 

Sebenarnya, jika mengacu pada Pasal 29 Ayat 1 Undang-undang Pengelolaan Sampah, Indonesia tak memperkenankan impor sampah plastik. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Nonbahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri pun telah dicabut. 

Namun, limbah non B3—yang termasuk bahan baku industri—bisa diimpor dalam keadaan tidak baru. Artinya, sampah kertas, plastik, karet, logam, kaca, serta tekstil dan produk tekstil masih bisa diimpor. Ini menjelaskan kenapa Indonesia masih menerima sampah plastik impor. 

Situasi ini menggerakan Nina semakin mendalami isu sampah plastik impor. Ia tak lagi memandang negara-negara Global North, sebagai negara yang patut dikagumi. Sebab, mereka melakukan waste colonialism—atau mengekspor sampah plastik ke negara Global South—untuk menyelesaikan permasalahan sampahnya. 

“Dulu aku pun sering meniru dance dan pakaian orang AS. Tapi, setelah tahu mereka buang sampah ke sini (Indonesia), kekagumanku berkurang,” ungkap Nina.  

Dari situ, ia meminta bantuan ibunya untuk mencarikan riset dan data soal sampah plastik yang dikirimkan AS. Kemudian, Nina belajar bahwa mikroplastik pun banyak ditemukan di tubuh manusia. Lewat konsumsi makanan, minuman, dan udara yang dihirup. 

Kemudian, Nina aktif terlibat di berbagai forum nasional dan internasional, soal sampah plastik dan mikroplastik. Belakangan, ia membuat ilustrasi bayi yang terpapar mikroplastik sejak di dalam kandungan, saat menghadiri INC-5—forum perundingan internasional untuk menghentikan polusi plastik—di Busan, Korea Selatan. 

Foto: Instagram ecoton.id

Baca Juga: Kita Membuat Plastik, Bergantung, dan Tenggelam di Dalamnya 

Pentingnya Dukungan Orang Tua 

Meski berasal dari keluarga aktivis lingkungan, Nina mengaku kedua orang tua tak pernah meminta, ataupun mengarahkan ketiga anaknya menekuni bidang yang sama. Menurut Nina, Prigi dan Daru lebih berpesan pada anak-anak untuk menjadi orang yang bermanfaat. Namun, ia memilih melakukan hal serupa karena sudah mengenal isu lingkungan sejak kecil. Begitu pun dengan kakak pertama Nina yang mempelajari toksikologi lingkungan, dan yang kedua di bidang perikanan dan kelautan. 

“Kalau di meja makan pun, keluarga kami ngobrolin isu lingkungan. Mungkin karena (isu) ini nyambung ke hal apa pun ya,” kata Nina. 

Sadar dirinya berprivilese, Nina memanfaatkan kemewahannya untuk meningkatkan awareness soal krisis iklim. Misalnya meminta akses informasi berupa jurnal penelitian tentang lingkungan, menyuplai keperluan logistik untuk aksi maupun kegiatan susur sungai, dan membuat pelatihan untuk mengedukasi anak SD dan SMP. 

Kemudian, Nina pun diajarkan untuk memetakan masalah dan kelompok yang menjadi target sosialisasinya—sekaligus ditantang untuk menaikkan isu lingkungan lewat medium apa pun. Di kalangan anak-anak, biasanya Nina mengajak mereka membuat puisi, gambar, drama, dan praktik menggunakan mikroskop di tempat umum untuk melihat mikroplastik. 

Sedangkan secara emosional, orang tua Nina kerap memberikan motivasi supaya ia lebih kuat dan enggak merasa sendiri. “Aku sering merasa sendirian (sebagai aktivis muda), karena jarang ketemu anak-anak yang sepemikiran atau punya pengetahuan yang sama,” ucap Nina. 

Foto: Instagram Aeshnina

Baca Juga: #TanahAirKrisisAir: Bagaimana Endang Rohjiani Selamatkan Mata Air lewat Konservasi Sungai? 

Keprihatinan Nina untuk Pemerintah dan Harapan Bagi Anak Muda 

Selama aktif menjadi aktivis lingkungan muda, Nina melihat perkembangan dalam perbincangan soal isu iklim di masyarakat maupun level pemerintah. Dulu, isu ini lebih jarang dibahas. Bahkan, teman-temannya cenderung abai saat Nina mengedukasi pentingnya gaya hidup minim sampah—sampai ia mencontohkan dengan membawa botol minum dan tempat makan sendiri. 

Begitu media sosial muncul, masyarakat lebih sering terekspos dengan masalah iklim. Terutama jika viral dan mendapat perhatian pemerintah. Meskipun belum tentu pemerintah langsung menangani persoalan tersebut. 

Nina pun menyatakan enggak begitu yakin, pemerintah akan mendengarkan keluhan masyarakat dan bertindak mengatasi krisis iklim. Apalagi dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada akhir Desember silam. 

“Presidennya aja kayak gitu, pecinta sawit,” kata Nina. “Aku juga takut dan khawatir dengan pemerintah yang baru. Kalau dulu sedikit-sedikit demo, sekarang lebih kampanye lewat media sosial dan seminar aja.” 

Meski demikian, ia menekankan supaya masyarakat—khususnya Gen Z—untuk tetap optimis. Terlebih karena banyak anak muda yang bisa berdampak untuk lingkungan dan negaranya. 

Ke depannya, Nina sendiri ingin konsisten mengembangkan River Warrior, organisasi yang didirikan bersama kakaknya untuk menyelamatkan sungai dari polusi plastik. Namun, sekarang terjeda karena Nina fokus mempersiapkan diri untuk Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) dan persiapan masuk kampus. 

“Aku butuh anak-anak seumuranku yang optimis, berani, punya niat kuat, bisa berpikir kritis, dan berpendapat. Mungkin nanti pas kuliah, aku bisa konsisten menjalankan River Warrior,” tutupnya. 



#waveforequality
Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *