December 5, 2025
Issues People We Love Politics & Society

Ketika Jurnalisme Bertemu Keberanian: Refleksi Antoinette Lattouf tentang Palestina dan Kekuasaan

Antoinette Lattouf digugat ABC karena unggahannya soal genosida Palestina dan menang. Kemenangannya jadi bukti tentang keberaniannya melawan kekuasaan.

  • November 13, 2025
  • 13 min read
  • 1685 Views
Ketika Jurnalisme Bertemu Keberanian: Refleksi Antoinette Lattouf tentang Palestina dan Kekuasaan

Antoinette Lattouf tak pernah membayangkan karier yang ia bangun dengan dedikasi selama bertahun-tahun di dunia media Australia kandas karena keberaniannya bersuara tentang kemanusiaan. Sebagai jurnalis berdarah Lebanon, ia memahami betul bagaimana narasi tentang dunia Arab sering kali dipelintir oleh media arus utama di Barat dan berdampak signifikan terhadap cara dunia memandang berbagai konflik dan genosida yang dilakukan imperialisme Barat di Timur Tengah.  

Inilah mengapa kejujuran moralnya dalam menyoroti penderitaan manusia justru menjadi ujian terbesar dalam kariernya. Pada Desember 2023, hanya dalam kontrak lima hari sebagai pembawa acara di stasiun nasional ABC Radio Sydney, Lattouf dipecat setelah membagikan unggahan dari Human Rights Watch mengenai genosida di Gaza.  

Ia tidak menulis opininya, hanya menyebarkan laporan organisasi internasional. Namun, tindakan kecil itu memicu badai politik dan institusional yang berujung pada pemecatan tidak sah. Kasus ini berkembang menjadi gugatan hukum selama empat belas bulan.  

ABC berargumen di persidangan bahwa Lattouf telah diperintahkan untuk tidak membicarakan “perang” di media sosial, dan bahwa unggahannya melanggar kebijakan editorial stasiun penyiaran tersebut. Namun, dalam putusan awalnya, Hakim menemukan bahwa dia tidak pernah diberi instruksi untuk tidak mengunggah.  

Persidangan ini pun tak ayal menyingkap wajah sesungguhnya dari sistem media Australia. Kebebasan berpendapat nyatanya bisa ditindas ketika menyentuh isu yang dianggap “terlalu sensitif secara politik” oleh para penguasa. 

Di Ubud Writers & Readers Festival 2025, dalam sesi yang dimoderatori Devi Asmarani, Editor in Chief dan Co-Founder Magdalene pada akhir Oktober lalu, Lattouf berbicara dengan kejujuran yang mengguncang tentang kekuatan bercerita, struktur kekuasaan yang mengatur wacana terkait genosida Palestina, serta visinya mengenai masa depan media yang lebih jujur, adil, dan inklusif. Berikut kutipan sesi bersama Lattouf: 

Baca Juga: Profil Sudarmi, Perempuan Penjaga Hutan Paliyan  

Bisakah Anda menceritakan sedikit tentang latar belakang Anda dan mengapa Anda begitu bersemangat tentang isu keragaman dan inklusi, terutama dalam konteks Australia? 

Saya tumbuh besar di Sydney bagian barat, di masa pasca peristiwa 11 September, dalam keluarga pengungsi asal Lebanon. Sejak kecil, saya menyadari betapa kuatnya peran media dalam membentuk cara masyarakat memandang kelompok tertentu, bagaimana media bisa dengan mudah menstigmatisasi, menebar ketakutan, dan menimbulkan histeria publik yang membuat orang-orang seperti kami mempertanyakan tempat kami di negara ini. Dari sanalah keinginan saya untuk menjadi jurnalis tumbuh. 

Saya berasal dari keluarga kelas pekerja. Orang tua saya bahkan tidak sempat menyelesaikan pendidikan dasar karena perang dan pengusiran. Saya adalah orang pertama di keluarga yang berhasil masuk universitas. Karena itu, bisa bekerja di dunia media terasa seperti sebuah kehormatan serta peluang untuk mewakili mereka yang selama ini disalahpahami dan disisihkan. Saya lelah melihat kisah-kisah tentang komunitas saya selalu ditulis oleh orang yang tak punya kedekatan emosional, apalagi pemahaman mendalam tentang realitas kami. 

Setelah sekitar satu dekade berkarier di media, termasuk bekerja di lembaga penyiaran publik dan kemudian pindah ke televisi komersial, saya mulai menyadari sesuatu yang mengganggu. Industri ini ternyata tetap saja tidak mencerminkan keberagaman masyarakat Australia. Padahal negara ini sering memuji diri sebagai bangsa multikultural yang sukses. Saya tidak pernah benar-benar percaya pada narasi itu terutama ketika melihat bagaimana media terus gagal menampilkan keberagaman suara secara adil. 

Kesadaran itu semakin tajam dalam beberapa tahun terakhir, terutama ketika genosida di Gaza berlangsung di depan mata kita. Media berperan besar dalam mengecilkan skala kekejaman yang terjadi dan dalam prosesnya turut meniadakan kemanusiaan orang-orang Arab dan Palestina.  

Ironisnya, dunia kini seolah menerima begitu saja kenyataan bahwa rakyat Palestina sedang dibiarkan kelaparan dan ini kelaparan yang terjadi terang-terangan di hadapan publik. Ketika saya menyoroti hal itu pada Desember 2023, saya justru kehilangan pekerjaan dan hampir hancur secara finansial, emosional, dan profesional. 

Namun, pada akhirnya saya menang. Kemenangan itu bukan sekadar tentang diri saya. Ini tentang peran lembaga penyiaran publik dalam menjaga demokrasi dan menyuarakan kemanusiaan. Menyampaikan fakta tentang pelanggaran hak asasi manusia seharusnya tidak pernah menjadi alasan untuk dihukum.  

Justru yang pantas dihukum adalah mereka yang melakukan kekejaman itu. Sayangnya, pengalaman ini membuat saya melihat betapa rapuhnya nilai-nilai yang selama ini saya yakini tentang keberagaman, inklusi, dan peran media untuk memberi suara bagi yang tak bersuara. Saya menyadari, mungkin selama ini saya terlalu naif terhadap sistem yang seharusnya melindungi kebenaran. 

Namun, di luar kasus itu sendiri, bagaimana Anda melihat kontribusi ini terhadap semua pekerjaan yang telah Anda lakukan di bidang tersebut? 

Salah satu hal yang saya ingin tantang melalui kasus ini adalah bagaimana rasisme bekerja dalam sistem terutama bentuk-bentuknya yang sering kali tak disadari oleh masyarakat Australia sendiri. Kasus hukum saya melawan ABC dijalankan di atas dua dasar utama. Pertama, pemutusan hubungan kerja yang tidak sah, yakni pelanggaran terhadap Fair Work Act karena saya diduga diberhentikan berdasarkan pandangan politik atau ras.  

Kedua, pelanggaran terhadap perjanjian kerja internal ABC. Pada akhirnya, kami menang di pengadilan atas dasar pelanggaran perjanjian kerja, dan secara prinsip juga atas dasar pandangan politik. Ini sebuah preseden penting, karena ini adalah pertama kalinya isu “pendapat politik” diuji di Pengadilan Federal Australia. 

Namun, hakim tidak menemukan bukti bahwa saya menjadi sasaran karena ras saya. Kami sebenarnya sudah memperkirakan hal itu sulit dibuktikan. Pengadilan, secara historis, memang belum cukup mampu menangani isu interseksionalitas, tentang bagaimana ras, gender, dan pandangan politik saling berkelindan dalam diskriminasi. Tapi bagi saya dan tim, tetap penting untuk menyuarakannya, bahkan jika kami tahu risikonya tinggi. 

Yang paling mengejutkan adalah apa yang terjadi pada hari pertama sidang. Dalam pembukaan argumen, pengacara ABC mengatakan bahwa saya harus membuktikan terlebih dahulu bahwa “ras Lebanon-Arab-Timur Tengah” benar-benar ada sebelum bisa mengklaim bahwa saya didiskriminasi karenanya. Bayangkan, saya diminta membuktikan keberadaan identitas saya sendiri agar bisa dianggap pantas bicara tentang perlakuan diskriminatif.  

Setelah kritik publik yang keras, argumen absurd itu akhirnya ditarik kembali. Tapi kejadian itu membuka luka yang lebih dalam yakni betapa rapuhnya komitmen institusi terhadap keberagaman yang selama ini mereka banggakan. 

Lebih parah lagi, sepanjang karier saya, bahkan dengan pengalaman di hampir semua jaringan televisi besar di Australia dan berbagai penghargaan profesional, saya terus direduksi menjadi “aktivis”. Label itu digunakan untuk mendiskreditkan saya, seolah-olah keberanian berbicara tentang keadilan membuat saya kehilangan kredibilitas jurnalistik. Padahal, jika kita jujur, aktivisme adalah inti dari jurnalisme yang sejati. 

Ketika tim investigasi membongkar korupsi, menantang kebijakan pemerintah, atau menuntut akuntabilitas publik, bukankah itu bentuk aktivisme? Kita memuji jurnalis yang menekan lembaga keuangan, gereja Katolik, atau partai politik. Tapi begitu seseorang menyoroti genosida yang dilakukan sebuah negara terhadap bangsa lain, tiba-tiba keberanian itu dianggap tidak pantas, bahkan berbahaya. Begitulah cara sistem mencoba membungkam suara yang paling perlu didengar. 

Baca Juga: Panen Air Hujan Sekolah Banyu Bening

Sejumlah jurnalis di negara-negara Barat dipecat atau dikenai tindakan disiplin karena mengemukakan pandangan yang mendukung Palestina atau menyerukan penghentian serangan Israel terhadap Gaza. Apa arti hal ini bagi keadaan kebebasan berekspresi atau kebebasan pers di negara-negara yang dianggap demokratis dan di mana pers dianggap bebas? 

Di era ketika kita bisa menyaksikan genosida berlangsung secara langsung di media sosial — melihat rakyat Palestina kelaparan, anak-anak terbunuh, rumah-rumah hancur — hal yang paling menyakitkan adalah bagaimana media arus utama justru menyalahkan atau meragukan korban. Mereka memutarbalikkan kenyataan, membuat seolah-olah penderitaan yang terekam di depan mata hanyalah narasi yang bisa diperdebatkan. Pertanyaan mendasarnya pun muncul, kisah siapa yang sebenarnya sedang diceritakan? 

Saya melihat ada dua hal yang tengah terjadi. Pertama, jika media memang disebut sebagai “pilar keempat demokrasi,” maka salah satu perannya adalah mengawasi kekuasaan dan menuntut pertanggungjawaban pemerintah. Namun dalam isu Gaza, yang terjadi justru sebaliknya. Media dan pemerintah justru berjalan beriringan, bukanya berhadapan menggugat kekuasaan. Banyak jurnalis kini seperti menunggu restu dari Perdana Menteri atau pejabat tinggi sebelum menggunakan istilah “kelaparan” atau “genosida.” 

Contohnya, ketika Perdana Menteri Anthony Albanese akhirnya mengatakan bahwa kelaparan di Gaza “tidak dapat diterima,” barulah media Australia ramai-ramai menulis tajuk utama tentang kelaparan. Seolah-olah media harus menunggu izin dari penguasa yang ironisnya turut memasok senjata kepada Israel. Padahal fungsi jurnalisme bukanlah menunggu izin dari kekuasaan, melainkan mempertanyakan kekuasaan. 

Saya teringat kalimat penulis Omar El Akkad dalam bukunya What Strange Paradise yang mengatakan bahwa bahasa kini sering digunakan untuk meniadakan makna, bukan memperjelasnya. Kita melihat bagaimana istilah-istilah militer digunakan untuk menutupi kenyataan bahwa seorang anak Palestina berusia empat tahun yang ditembak di kepala disebut “seorang perempuan muda berusia empat tahun”. Dia bukan seorang perempuan muda, dia adalah seorang anak. 

Lalu warga yang tewas saat antre bantuan pangan disebut “korban insiden distribusi makanan,” seolah mereka tersedak salad, bukan ditembak saat menunggu sepotong roti. Penyamaran makna semacam ini dilakukan terus-menerus, bahkan oleh para jurnalis yang saya tahu sebenarnya memahami lebih baik tentang genosida yang terjadi.  

Berita dimulai dengan kalimat seperti Israel mengatakan bla bla bla. Israel mengatakan jurnalis itu terlibat dengan Hamas, Israel mengatakan rumah sakit digunakan untuk operasi militer. Jadi tidak ada verifikasi independen, hanya kebergantungan pada narasi pelaku kekerasan. 

Selain itu kita harus memahami bahwa tidak ada jurnalis independen yang diizinkan masuk ke Gaza. Dalam kondisi seperti ini, seharusnya liputan dari pihak yang menolak transparansi justru harusnya dicurigai, bukan dijadikan sumber utama. Tapi kenyataannya, media tetap memberi ruang dominan bagi narasi resmi Israel, sehingga setiap kekejaman diubah menjadi sesuatu yang bisa “dimaklumi.” Dengan cara itu, kehidupan rakyat Palestina secara sistematis dinilai kurang berharga seolah kematian mereka bisa dibenarkan. 

Saya masih ingat suatu malam, ketika menyaksikan siaran berita Channel 9 di ponsel. Judul beritanya: “65 orang Palestina tewas setelah Israel mengatakan Hamas melanggar gencatan senjata.” Dua tahun setelah genosida dimulai, media masih menyusun kalimat seperti itu. Mereka masih menempatkan narasi pelaku di atas kenyataan korban. Saya begitu marah hingga ingin melempar ponsel ke dinding. 

Itulah sebabnya saya bertahan dan melawan pemecatan saya. Saya tahu, apa yang terjadi pada saya adalah peringatan dini bagi banyak jurnalis lain: “lihat, inilah yang akan terjadi jika kamu berani bicara.” Dan memang, banyak jurnalis senior kemudian datang kepada saya dan berkata bahwa mereka mendukung saya.  

Tapi bagi saya, dukungan itu terasa getir, karena ketika saya dijatuhkan, saya sendirian. Semua orang melihat, tapi tak banyak yang berani bersuara. Padahal, kalau saja kami semua menjalankan tugas kami dengan jujur dan bersama-sama, mungkin pembungkaman ini tidak akan sesederhana itu. 

Ketika kita membicarakan perubahan sistemik, kita sedang membahas sesuatu yang mendalam dan lebih sulit untuk dideteksi, diakui, apalagi ditangani. Dan Anda berargumen dalam buku Anda bahwa Australia sebenarnya adalah sebuah etnokrasi, bukan demokrasi yang adil, dan tentu saja bukan meritokrasi. Ini adalah dakwaan yang cukup serius, bukan? Bisakah Anda menjelaskan sedikit tentang hal ini dan mengapa ini jadi berkaitan erat dengan bagaimana kasus Anda bergulir? 

Saya pikir penting untuk mengakui bahwa Australia kini adalah negara dengan populasi yang semakin beragam. Sejarah migrasi di negeri ini begitu kaya, dan dalam lima tahun ke depan, India akan menjadi negara asal kelahiran terbesar di luar Australia, menggeser Inggris untuk pertama kalinya dalam sejarah. Komunitas Asia terutama Asia Selatan  tumbuh pesat dan menjadi bagian penting dari wajah baru Australia modern. 

Namun keberagaman itu hanya tampak indah selama kita tetap tahu “tempat” kita. Keberagaman diterima selama ia tidak menantang struktur kekuasaan, tidak mengusik narasi dominan, dan tidak membawa pengalaman hidup yang terlalu “nyata” ke ruang-ruang pengambilan keputusan. Identitas budaya boleh dirayakan asalkan aman, steril, dan tidak mengguncang kenyamanan mayoritas. Begitu seseorang membawa perspektif berbeda yang menyinggung ketimpangan, label “pembuat onar” akan segera disematkan. 

Hal ini sangat terasa di dunia media. Banyak jurnalis dari latar budaya berbeda termasuk jurnalis First Nations (pribumi) mengaku bahwa mereka hanya bisa bertahan jika menyesuaikan diri, bersikap patuh, dan tidak terlalu vokal. Mereka diterima selama “bersyukur” dan tidak terlalu menuntut perubahan. Tapi mereka jarang, atau bahkan hampir tidak pernah, menduduki posisi pengambil keputusan. 

Contohnya terlihat jelas di ABC. Dalam kasus saya, ada momen absurd ketika pengacara pihak stasiun menuntut agar saya membuktikan bahwa “ras Lebanon-Arab-Timur Tengah” benar-benar ada. Ketika kami menelusuri siapa saja yang duduk di dewan direksi ABC, kami menemukan kenyataan pahit bahwa tidak ada satu pun orang kulit berwarna atau perwakilan pribumi di sana. Tidak sulit membayangkan mengapa perspektif seperti itu bisa lahir karena keputusan diambil dalam ruang yang seragam, tanpa keberagaman pikiran maupun pengalaman. 

Beberapa teman saya yang masih bekerja di organisasi serupa sering berkata, “Aku merasa harus meninggalkan sebagian diriku di luar pintu.” Mereka hadir secara fisik, tapi tidak bisa benar-benar membawa gagasan atau pengalaman hidup mereka sendiri. Mereka takut dianggap tidak kooperatif, tidak cocok dengan “budaya tim.” Akibatnya, keberagaman di media sering kali hanya bersifat kosmetik. Jadi hanya ada di permukaan, tapi tidak mengubah struktur di dalamnya. 

Untuk bisa naik ke posisi berpengaruh, seseorang harus menyesuaikan diri sedemikian rupa hingga akhirnya kehilangan bentuk aslinya. Meniru gaya berpikir dan berbicara kelompok dominan: laki-laki, Anglo-Saxon, Kristen, kelas menengah. Itulah sebabnya, menurut saya, gagasan bahwa Australia adalah masyarakat multikultural yang sejati hanyalah mitos. Jika kita menengok ke pusat-pusat kekuasaan seperti di media, pemerintahan, bisnis, dan budaya, wajah-wajah yang menentukan arah negeri ini masih didominasi oleh kelompok yang sama. 

Baca Juga: Profil Sri Hartini, Penjaga Hutan Adat Wonosadi  

Dalam percakapan ini, Anda banyak menyinggung tentang keberanian untuk bersuara dan tantangan bagi siapa pun yang mencoba melawan narasi dominan. Tapi bagi banyak orang, berbicara tentang isu-isu kemanusiaan sering kali terasa berisiko. Bagaimana cara kita tetap bisa bersuara dengan integritas tanpa kehilangan empati? Dan mungkin, adakah langkah konkret yang bisa kita ambil agar tetap efektif dalam membawa perubahan untuk diri sendiri dan orang lain? 

Langkah pertama, menurut saya, adalah mengenali titik awal kita masing-masing. Saya pun melakukannya. Saya tahu siapa diri saya. Saya misalnya adalah seorang perempuan keturunan Lebanon, lahir di Australia, berpendidikan tinggi, memiliki platform publik, dan saya seorang Kristen Arab. Dari sana saya menyadari bahwa saya memiliki sejumlah privilese karena saya tidak berhijab, bukan Muslim, dan bukan bagian dari masyarakat adat.  

Mengakui posisi awal ini penting, bukan untuk merasa bersalah, tapi untuk memahami dari mana kita berangkat. Banyak orang tidak nyaman mengakui privilese karena menganggap itu hal buruk, padahal tidak. Privilese bukan sesuatu yang memalukan. Yang justru penting adalah apa yang kita lakukan dengan itu.  

Dalam kasus saya, saya memilih menggunakan posisi saya untuk menjadi sekutu bagi perjuangan masyarakat adat Australia dan menyoroti penderitaan rakyat Palestina yang mayoritas Muslim. Saya tahu saya bisa berbicara lebih bebas karena saya “Arab yang bisa diterima”. Saya beraksen Australia, berpakaian Barat, dan memiliki nama yang mudah diterima publik.  

Saya tidak menyangkal itu. Saya hanya menyadarinya dan berusaha menggunakan ruang yang saya punya untuk membuka ruang bagi orang lain. Tentu saja, kadang saya melakukan kesalahan. Dalam perjuangan bersama komunitas adat dan Palestina, saya belajar untuk berbicara bersama, bukan untuk mereka.  

Selanjutnya, kalau salah, jangan defensif. Kita harus mulai belajar dan memperbaiki. Itu sulit, tapi penting. Terakhir, terimalah ketidaknyamanan. Perubahan sosial tidak pernah nyaman. Banyak hal buruk terjadi bukan karena orang jahat, tapi karena terlalu banyak orang baik memilih diam. Jadi, jika sedikit rasa tidak nyaman adalah harga yang harus dibayar demi kemanusiaan dan keadilan, itu harga yang layak dibayar. 

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.