Faqihuddin Abdul Kodir, Ulama Lelaki, Pejuang Keadilan Gender
Dengan pendekatan tafsir mubadalah, Kiai Faqih memperkenalkan agama Islam yang lebih adil gender.
Buat sebagian intelektual Muslim, mungkin sudah cukup familier dengan nama Faqihuddin Abdul Kodir. Ia termasuk salah satu penggagas metode tafsir Islam mubadalah, yang ramah gender dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 23 hingga 24 November lalu.
Pria yang akrab dipanggil Kang Faqih itu sendiri merupakan ulama lelaki yang menulis banyak artikel atau buku hukum Islam (fiqih) mengenai perempuan. Ia juga aktif dalam pemberdayaan perempuan di akar rumput. Dalam hal ini, ia kerap mempertemukan para aktivis feminis, orang-orang dari lembaga kemasyarakatan, pemerintah, akademisi, maupun sesama ulama perempuan yang punya visi membangun peradaban berkeadilan.
Baca Juga: KUPI 2 Diadakan: Ulama Perempuan Internasional Berkumpul di Semarang dan Jepara
Pertemuan Awal
Seperti kebanyakan orang yang lahir di tengah masyarakat patriarkal, Kiai Faqih tidak langsung punya kesadaran gender. Semua itu hadir lewat pengalaman selama bertahun-tahun. Ditemui langsung pada (24/11), di sela jam istirahat perhelatan KUPI II di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Kiai Faqih mengungkapkan pengalaman pertamanya mulai tertarik dengan isu perempuan.
Ia tertarik setelah melihat dan mendengar langsung keluhan teman-teman perempuannya di pesantren. Ketika masih duduk di bangku setara dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia melihat bagaimana teman-teman perempuannya merasa kesulitan dengan fiqih menstruasi.
“Saat itu saya bersimpati pada mereka. Di fiqih menstruasi dijelaskan secara rinci cara wudhunya bagaimana, salat harus bagaimana. Padahal sumber hukumnya sendiri Islam adalah Alquran dan hadist. Hukumnya berjilid-jilid, sehingga aturannya menurut saya tidak aplikatif dan justru membuat banyak santri kebingungan,” terangnya.
Melihat pergulatan teman-teman perempuannya, Kiai Faqih memang sempat memiliki pertanyaan besar. Kenapa agama yang ia anut terkesan menyulitkan perempuan? Pertanyaan tersebut tak terjawab saat itu.
Pergulatan itu makin menjadi ketika ia melihat teman-teman perempuannya dikawinkan di usia yang begitu belia. Mereka menangis sejadi-jadinya ketika dinikahkan padahal masih punya mimpi menamatkan sekolah. Di titik itu, Kiai Faqih merasa agama gagal membela hak-hak mereka.
“Saya merasa itu enggak benar, tapi saya enggak tahu cara membela atau menemani mereka. Saya berempati tapi secara diskursus saya enggak ngerti,” ungkapnya.
Pergumulannya kemudian menumpuk lebih dalam ketika ia melanjutkan pendidikan S1 di Damaskus, Suriah. Isu jilbab yang banyak dikemukakan oleh teman-teman perempuan menjadi refleksi yang menarik untuk dirinya sendiri. “Kenapa ada perhatian begitu besar jika mengacu pada perempuan, dan perhatian kecil jika itu mengacu pada isu-isu yang memberatkan publik? Jadi aturan buat perempuan itu detail, jelimet, susah, tapi untuk aturan publik didiamkan saja atau terserah,” jelasnya.
Dalam benaknya pun timbul banyak pertanyaan yang tak bisa ia jelaskan. Padahal ia tahu, Islam bersandar pada logika keadilan untuk memecahkan masalah. Namun sayangnya, itu jarang digunakan atau bahkan tidak dipakai sama sekali pada isu perempuan. Sebaliknya itu lebih banyak digunakan pada isu terkait laki-laki. Contohnya, menjawab persoalan lelaki yang sulit bepergian, mencari nafkah, atau belajar. Namun, tidak ada contoh satu pun yang membahas menstruasi atau menghadapi suami abusif.
Baca juga: Ulama Perempuan Tolak Kekerasan Seksual, Pernikahan Anak, dan Perusakan Alam
Merebut Tafsir Adil Gender
Bekal empati yang Kiai Faqih punya tak serta merta membuatnya tertarik secara spesifik mempelajari gender dan feminisme. Ia lebih banyak membaca isu-isu perempuan dalam tradisi islam itu sendiri.
Ia bercerita selama 1990-an, terjadi peningkatan besar dalam debat publik tentang isu-isu feminis, termasuk di kalangan muslim sendiri. Debat publik saat itu, menurut Kiai Faqih didominasi oleh narasi-narasi kebencian para feminis. Mereka justru secara keras langsung menuduh Islam patriarkal dan ajarannya terlampau misoginis. Ia sempat marah dengan pendekatan para feminis yang dinilai mengoyak-oyak tradisi Islam.
“Memang apa yang mereka sampaikan secara substansi benar, tapi ketika membangun kritik mereka tidak datang dari tradisi Islam. Orang-orang ini terlanjur menuduh dulu, which is benar tapi abis itu apa solusinya? Harusnya solusi dibangun lewat konstruksi yang sama (tradisi Islam), bukan dengan konstruksi luar. Fatima Mernissi misalnya sosiolog, yang lain datang dari filsafat. Hanya Amina Wadud yang teolog. Jadi tidak membantu khazanahnya menurut saya,” ucapnya.
Beruntung, rasa marah ini tak berlangsung lama. Ia justru mulai tertarik dengan isu gender dan feminisme sejak 2000-an. Pasca-kepulangannya dari Malaysia setelah kuliah S2 di International Islamic University Malaysia, Fakultas Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences, pada bidang Pengembangan Fikih Zakat, ia diminta bergabung dengan Rahima (LSM yang bergerak dengan isu utama penegakan hak-hak perempuan dengan perspektif Islam). Ia pun bergabung dalam Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) Ciganjur.
Dari sinilah ia menjadi penulis kolom Dirasah Hadits untuk Majalah Swara Rahima dan menjadi salah satu peneliti di FK3. Tak hanya itu, bersama dengan Kiai Husein Muhammad, Marzuki Wahid, dan Affandi Mochtar, mereka mendirikan Fahmina Institute (organisasi yang bergerak pada kajian sosial keagamaan dan pendampingan masyarakat marjinal) dan menjadi direktur eksekutif selama sepuluh tahun pertama (2000-2009).
Selama perjalanan ini, ia berhadapan langsung dengan berbagai isu perempuan, khususnya dari kelompok marjinal. Ia juga pertama kali diberikan kesempatan untuk melihat dan mendengar pengalaman perempuan buruh migran yang mengalami kekerasan. Ia berperan mendampingi serta mengadvokasi hak-hak mereka.
“Saya berdiskusi dan mendengar banyak sekali perempuan buruh migran diperkosa oleh suaminya, diusir, atau dipukuli. Mereka ini curhat ke saya. ‘Saya sudah taat, saya sudah baik-baik, saya sudah menaati suami dengan berhenti bekerja, tapi masih saja dipukul setiap hari’ gitu lho, tapi masa lalu yang begini yang tetap disalahkan perempuan. Ini berarti kan ada yang salah dalam merujuk agama yang justru dijustifikasi untuk melemahkan dan mendiskriminasi perempuan,” jelasnya.
Dari pengalaman mendengarkan langsung para perempuan penyintas kekerasan, ia jadi banyak berjejaring dengan para aktivis perempuan. Setiap kali mengalami jalan buntu dalam memahami realitas sosial, ia akan bertanya dan berdiskusi dengan sosok aktivis feminis terkemuka, seperti Lies Marcoes, Firliana Purwanti, atau Kristi Poerwandari.
Baca juga: Konferensi Internasional KUPI II: Teguhkan Eksistensi Ulama Perempuan
Qirah Mubadalah dan Cara Dakwah yang Lebih Lunak
Dalam perjalanannya mengadvokasi hak-hak perempuan, Kiai Faqih kemudian ditantang oleh teman-teman aktivisnya untuk menjelaskan Islam yang ramah pada perempuan.
“Islam bicara keadilan, kemaslahatan, tapi untuk sampai membela perempuan itu tidak ada jalannya gitu lho. Terputus gitu. Bicara keadilan itu sering kali netral, jadi saya merasa ini perlu dijembatani.”
Di sinilah konsep mubadalah ia gagas. Ia mengatakan konsep ini lahir dari aktivitas kerja-kerja aktifnya dalam isu pemberdayaan perempuan sejak 2000. Mubadalah sendiri bisa dipahami sebagai perspektif dan pemahaman dalam relasi tertentu antara dua pihak yang mengandung nilai dan semangat kemitraan, kerja sama, kesalingan timbal-balik, dan prinsip resiprokal.
Nilai dan semangat ini mengacu pada relasi antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada cara pandang dan sikap saling menghormati satu sama lain, karena keduanya adalah manusia yang bermartabat.
Dengan konsep ini, Kiai Faqih mencoba menggali dan menarik inti tradisi Islam yang telah jadi keyakinan utama umat Muslim. Dari sini, ia berharap bisa mengarahkan kita pada tafsir yang lebih adil gender. Terdengar cukup abstrak mungkin bagi kita, untungnya Kiai Faqih mencoba menjelaskannya secara lebih simpel.
Dia bilang, setiap perintah dan anjuran dalam Islam pasti memiliki inti atau core. “Ada sesuatu yang ingin dicapai dari itu (inti dari setiap perintah dan anjuran”, katanya. Sehingga, jika inti tradisi Islam adalah rahmatan lil alamin (menebar kasih sayang ke seluruh alam semesta), maka dengan rahmah itulah ia mengajak Muslim untuk melakukannya bersama-sama. Tentunya dengan mempertimbangkan kondisi biologis dan sosial yang khas dimiliki perempuan.
Ia mengambil contoh tentang narasi kepala keluarga. Selama ini kita memahami kepala keluarga adalah laki-laki. Padahal jika kita berbicara tentang kepala keluarga, kita pasti akan berbicara tentang konsep Qiwamah. Jika ditelusuri, Qiwamah sendiri mengacu pada tanggung jawab. Dalam hal ini, seseorang diminta untuk bertanggung jawab dalam hal apa pun dan di manapun ketika ia memiliki peran dan ruang tertentu. Seseorang ini adalah orang yang harus memiliki kapasitas untuk mencari nafkah.
“Ini berarti bisa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan punya tanggung jawab dalam mengelola keluarga. Sifatnya mubadalah, kesalingan untuk kebaikan keluarga. Sehingga, dalam konteks ini, perempuan bisa jadi pencari nafkah yang aktif dan bisa disebut sebagai kepala keluarga,” tegasnya.
Lalu kenapa laki laki yang “dipanggil” lebih dulu? Ia bilang karena secara fisik laki-laki tidak akan hamil, sehingga ia punya tanggung jawab besar dibandingkan dengan perempuan yang punya pengalaman biologis. Karena itu, hak Qiwamah laki-laki atas perempuan, hanya bisa dibenarkan ketika ia bisa memberikan nafkah.
Namun, ketika ia tidak mampu, misal karena sakit atau memang tidak bisa mendapatkan pekerjaan, maka hak itu menjadi gugur. Sehingga, persoalan Qiwamah bukan terletak pada jenis kelamin, tetapi pada persoalan kemampuan ekonomi serta keahlian karena inti dari Qiwamah itu adalah ma’ruf yang berarti kebaikan.
Tafsir yang lebih adil gender ini sebenarnya berasal dari tradisi memaknai teks Alquran dan hadist yang umum dilakukan para ulama. Namun, karena masyarakat kita beribu-ribu tahun lamanya berada dalam sistem patriarkal, pemaknaan ini masih dipandang asing. Bahkan tak sedikit menimbulkan resistensi karena dianggap “melenceng”. Akan tetapi, ujar Kiai Faqih, resistensi ini adalah hal yang biasa. Apalagi secara psikologi otak kita didominasi oleh otak reptilian. Bagian otak yang menguasai, menghegemoni, dan hanya terpancing dengan hal-hal yang membuat kita terancam.
“Jadi jika kita berbicara tentang kesetaraan, pasti ini akan mengancam kebiasaan atau privilese laki-laki. Maka dari itu, menurut saya mengajak orang-orang memahami ini (isu kesetaraan gender) salah satunya dengan tidak konfrontatif. Inilah yang saya lakukan lewat dakwah mubadalah,” ucapnya.
Dalam dakwah mubadalah, Kiai Faqih menekankan bagaimana kita tak boleh menyalahkan pemahaman agama seseorang atau memaksa untuk memahami terminologi yang kita pakai. Ia mencontohkan, ada ulama laki-laki yang marah karena menganggap Rahima telah memperbolehkan perempuan menjadi kepala keluarga. Hal yang menurutnya tidak diajarkan oleh Islam.
“Saya dengarkan itu (omelan sang ulama) dan saya tanya ‘Menurut bapak di mana perempuan tidak boleh jadi kepala keluarga? Menurut dia kepala keluarga adalah orang yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga. Saya tanya lagi ‘Memenuhi kebutuhan keluarga itu kaya gimana saya tanya?’. Dia menjawab, ‘Ya memenuhi kebutuhan keluarga itu yang mencarikan uang.'”
“Saya bilang, ‘Ada enggak perempuan yang seperti itu? Perempuan yang mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya?’. Ketika dia jawab ada, saya tanyakan kembali ‘Ya kalau ada namanya apa pak?’. Dari sinilah baru timbul diskusi tentang pemaknaan kepala keluarga,” jelasnya pada Magdalene.
Inilah yang menurut Kiai Faqih sebagai dakwah mubadalah. Dakwah yang lunak karena caranya yang tidak harus memaksakan istilah tetapi mendasarkan diri pada substansi. Hal ini menurut Kiai Faqih penting karena dalam berdakwah kita butuh menyadari terlebih dahulu dengan siapa kita bicara. Karena kalau kita tidak sadar, resistensi yang akan kita dapat. Hasilnya pun jelas. Dakwah tidak akan sampai tepat sasaran, yang ada justru “buang-buang” tenaga.
“Kalau sudah paham pasti akan menerima. Orang tidak menerima itu karena mereka tidak paham, tidak punya kesempatan untuk belajar. Kesempatan untuk belajar itu hanya mungkin ketika hatinya, suasananya nyaman. Kalau dipaksakan dan hanya menimbulkan suasana tegang dan marah tidak ada dialog di situ.”