December 5, 2025
Culture People We Love Prose & Poem

Sasti Gotama: Menulis Luka, Mengangkat Suara yang Dibungkam 

Lewat fiksi, Sasti Gotama menyuarakan suara para perempuan yang dibungkam dan dilupakan sejarah.

  • August 22, 2025
  • 8 min read
  • 12082 Views
Sasti Gotama: Menulis Luka, Mengangkat Suara yang Dibungkam 

Nama Sasti Gotama belakang banyak dikenal di kalangan pencinta sastra Indonesia. Ia adalah salah satu dari sepuluh Emerging Writers Ubud Emerging Writers and Readers Festival (UWRF) 2022. Karyanya Akhir Kisah Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu (2024) bahkan baru saja meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2025 kategori Kumpulan Cerita Pendek. Di dalamnya ada salah satu cerita pendek berjudul Saksi Glori yang selalu berhasil menggaet banyak penggemar baru.  

Dari salah satu cerpennya, Sasti menghadirkan sesuatu yang tak biasa: tubuh manusia yang bersaksi. Medulla oblongata, kulit ari, hingga akar rambut menjadi saksi bisu kekerasan, menggantikan suara yang tak mampu keluar dari mulut korban. Di balik kisah ini, Sasti menyalakan metafora besar tentang banyak perempuan yang mengalami kekerasan, tapi tetap bungkam karena stigma dan ketakutan yang mengikat mereka. 

Dalam kumpulan cerpen yang mengantarkan dirinya meraih penghargaan sastra, ada dua puluh cerita yang ia tulis, dan lebih dari enam di antaranya menyoroti persoalan perempuan dan gender. Dari sana terlihat jelas komitmennya menjadikan fiksi sebagai medium untuk membicarakan realitas yang sering dibungkam. Fiksi bagi Sasti bukan sekadar cerita, melainkan ruang alternatif untuk mengingat, mengangkat, dan menguatkan suara. 

Awal Agustus lalu, Magdalene berkesempatan berbincang langsung dengan Sasti. Hujan yang turun menjadi latar percakapan panjang kami—tentang bagaimana ia memulai menulis dan mengapa isu perempuan selalu lekat dalam karyanya. 

Perjalanan itu dimulai tahun 2019, saat ia terbaring sakit. Dari ranjang, ia menulis cerita pendek sederhana lewat ponselnya, lalu membagikannya ke media sosial. 

“Yang kira-kira yang bikin pertanyaan di kepala itu aku dituangkan dalam bentuk fiksi,” jelasnya. 

Awalnya, menulis adalah bentuk katarsis—terapi personal untuk mengurai rasa sakit dan memberi jarak dari luka. Namun lambat laun, aktivitas ini berubah menjadi senjata. Lewat fiksi, Sasti melawan ketidakadilan dengan mengangkat suara-suara yang sengaja dikaburkan, sekaligus memberi ruang bagi pengalaman perempuan untuk terdengar dengan lantang. 

Baca Juga: Ida Fitri adalah Pengeras Suara untuk Perempuan Aceh 

Dari Ruang Praktik ke Ruang Sastra  

Latar belakang Sasti sebagai dokter banyak memengaruhi cara pandangnya. Sebelum akhirnya memutuskan berhenti pada 2020, ia bertahun-tahun berpraktik dan berhadapan langsung dengan realitas yang kerap menempatkan perempuan di posisi rentan. Dari ruang praktik itulah ia menyaksikan bagaimana sistem patriarkis melucuti agensi perempuan, membatasi kebebasannya, dan menjerat mereka dalam penjara sosial yang seakan tak berujung. 

Salah satu pengalaman yang paling membekas terjadi ketika ia menangani pasien korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tubuh pasien itu penuh memar berwarna biru gelap. Saat ditanya, perempuan tersebut akhirnya mengaku kerap dipukuli suaminya sendiri. Sebagai tenaga medis yang pernah mendapat pelatihan khusus penanganan KDRT, Sasti mencoba menghubungkannya dengan pihak kepolisian yang ia kenal, berharap sang pasien mau melapor. 

Niatnya jelas: Ia ingin kasus itu ditindaklanjuti, agar penyidik bisa mengeluarkan surat permintaan visum et repertum sebagai alat bukti hukum. Namun, alih-alih melangkah maju, pasien itu justru menolak. Walau sudah dibukakan jalan, ia memilih tetap diam. 

Reaksi itu awalnya membingungkan bagi Sasti. Ia menyaksikan sendiri bagaimana pasiennya tampak ketakutan untuk keluar dari lingkar kekerasan, bahkan ketika nyawanya sendiri terancam. Namun dari situ pula, Sasti justru mendapat pelajaran berharga. Bahwa persoalan ini jauh lebih kompleks daripada cuma kenapa dia tidak pergi saja. 

“Ternyata ini masalah kompleks. Dari awal perempuan didomestikasi, dilucuti kemampuannya untuk mandiri secara ekonomi. Terus juga ada stigma-stigma di masyarakat tentang janda, belum lagi kalau dia punya anak. Jadi ada barrier yang membuat dia takut keluar dari lingkar kekerasan,” jelas Sasti sore itu. 

Tak hanya KDRT, Sasti juga pernah menjumpai perempuan yang dipaksa melahirkan sebelas anak karena suaminya melarang kontrasepsi. Ia mendengar kisah anak perempuan yang baru lulus SD dinikahkan karena dianggap beban ekonomi. Ia juga menerima cerita tentang korban pemerkosaan yang justru dinikahkan dengan pelaku, hingga pasien yang hampir meninggal karena mencoba menggugurkan kandungannya dengan kawat jemuran. 

Perempuan-perempuan ini berakhir di neraka dunia. Mereka kehilangan kesempatan sekolah, mandiri secara ekonomi pun cuma jadi angan-angan yang cuma bisa mereka lihat dari tokoh-tokoh perempuan berdaya di layar TV rumah mereka.  

Pengalamannya sebagai dokter inilah memberikannya berharga dalam mengasah empati, namun di sisi lain bagaikan jebakan penuh batu panas. Ia dibuat risau dengan apa yang ia lihat dan dengar. Ia jadi bertanya-tanya soal perannya di dunia ini, bagaimana sebaiknya ia sebagai perempuan bisa menyuarakan suara-suara perempuan. Ia menyadari apa yang ia temukan di lapangan jarang didengar oleh masyarakat. inilah mengapa akhirnya sastra ia gunakan jadi senjata. 

“Jadi aku ingin semacam menyebarluaskan sebenarnya ini ada masalah PR-PR yang belum selesai loh ya. Jangan berhenti dalam bentuk kasus aja. Harus ada senjatanya dan mungkin yang senjataku adalah cerita, tulisan,” jelasnya. 

Inilah alasan tulisan-tulisan Sasti selalu lekat dengan suara perempuan pinggiran. Ambil contoh novel teranyarnya, Korpus Uterus (2025). Walaupun karakter utamanya Luh, laki-laki, hampir semua tokoh yang bersinggungan dalam hidup Luh dan dapat sorotan adalah perempuan.  

Mereka adalah korban sistem yang selalu ditumbalkan untuk mempertahankan dinamika kuasa laki-laki. Cerita mereka diambil dari kepingan pengalaman Sasti menemui pasien hingga mendengar berita tentang korban-korban pemerkosaan. Luh sendiri bahkan adalah anak dari korban pemerkosaan yang ditelantarkan.  

Baca Juga: Rully Mallay dan Warisan Perjuangan Transpuan Yogyakarta 

Usaha Menggugat dan Menyembuhkan Luka lewat Fiksi 

Kedalaman Sasti dalam memahami isu perempuan tidak berhenti pada pengalaman personal maupun profesinya. Ia juga menolak untuk melupakan sejarah. Baginya, luka perempuan juga terukir dalam peristiwa besar bangsa yang kerap dikubur oleh negara dan dalam konteks Indonesia ada dua peristiwa pelanggaran HAM berat yang melatarbelakanginya, yakni tragedi 1965 dan 1998. 

Dalam dua tragedi ini, tubuh perempuan dijadikan medan kekerasan negara. Lewat militerisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai maskulin, pada 1965 ribuan perempuan ditangkap, disiksa, dan diperkosa oleh aparat militer hanya karena dituduh terlibat atau berafiliasi dengan organisasi yang dianggap dekat dengan PKI seperti Lekra. Tubuh mereka dijadikan alat penghukuman sekaligus propaganda untuk meneguhkan kuasa negara.  

Tiga dekade kemudian, pola serupa berulang pada Mei 1998. Perempuan Tionghoa menjadi sasaran pemerkosaan massal, pelecehan, bahkan femisida dalam kerusuhan yang terorganisir, dengan keterlibatan aparat yang seharusnya melindungi warga. Kedua peristiwa ini memperlihatkan bagaimana militerisme memandang perempuan bukan sebagai manusia utuh, melainkan sebagai simbol yang bisa dipermalukan, dikorbankan, dan dijadikan alat politik dalam perebutan kekuasaan. 

Luka yang ditorehkan kepada para perempuan membekas hingga generasi-generasi setelahnya inilah yang Sasti berusaha tuliskan dalam karya-karyanya, seperti  dalam novel Ingatan Ikan-Ikan (2024) dan Korpus Uterus

Dua karakter yang jadi sorotan dalam kedua novelnya, adalah korban dari militerisme maskulin saat itu. Penulisan fiksi tentang tragedi 1965 dan 1998 kata Sasti sangatlah krusial karena kedua peristiwa ini menyimpan luka kolektif yang tetap hidup dalam tubuh dan ingatan perempuan luka yang tak kunjung mendapat pengakuan resmi.  

Penolakan negara untuk mengakui atau menindaklanjutinya menyebabkan tabu historis dan normalisasi impunitas yang pada akhirnya memperpanjang penderitaan korban perempuan. Dalam konteks ini, menulis ulang sejarah melalui fiksi bukan sekadar melawan kebisuan, tetapi merupakan langkah restoratif dalam membuka ruang bagi penyembuhan trauma. 

“Perempuan-perempuan di Indonesia itu banyak yang sampai sekarang belum selesai, bahkan tidak menemui tidak menemui disclosure gitu kan belum ada, maksudnya sampai sekarang kan belum ada pengakuan dari negara. Sebagai perempuan aku ingin membahas trauma-trauma itu sebagai pembelajaran trauma healing juga” jelasnya. 

Secara teoritis, pendekatan Sasti ini merespon dua garis pemikiran penting dalam kajian sastra feminis dan studi trauma. Cathy Caruth, pionir yang menggagas teori trauma dalam studi sastra melalui bukunya Unclaimed Experience (1996) bilang trauma seringkali tidak bisa disampaikan oleh narasi sejarah resmi, karena itu fiksi berfungsi dalam menyampaikan pengalaman tak terkatakan korban lewat logika trauma dan ingatan yang pecah.  

Dalam lensa fiksi, korban peristiwa atau tragedi besar dihadirkan kembali tubuh, jiwa, dan pengalaman mereka sebagai pusat naratifnya. Pada proses ini, fiksi membantu mendekolonisasi imajinasi dan menggugat dominasi narasi maskulin dan negara. Ini adalah cara Sasti melawan pemerintah yang enggan mengakui bahkan hendak memutihkan sejarah. 

Tapi lebih dari itu, menuliskan ulang tragedi kemanusiaan lewat fiksi juga jadi senjata Sasti untuk mengajak generasi muda di bawahnya memahami luka kolektif bangsa yang tak kasat mata. Lewat fiksi, generasi muda diajaknya berefleksi dan berempati pada korban yang sebelumnya hanya dilihat sebagai angka atau statistik pudar di buku-buku sekolahan saja. Dari cara ini ia berharap, bukan cuma dia, tapi generasi muda bisa ikut bersuara. 

“Supaya tahu kejadian itu dan supaya kejadian itu tidak terulang lagi. Aku harap itu (tragedi pelanggaran HAM ini) dijadikan diskursus yang nanti mewujud pada aksi nyata,” katanya. 

Baca Juga: A.W. Prihandita, Pemenang Nebula Award yang Menentang AI 

Karya-karya Sasti Gotama memang bukan bacaan yang ringan. Ia sengaja menulis cerita yang membuat pembaca gelisah, marah, sekaligus merenung. Baginya, sastra bukan sekadar hiburan, tapi ruang untuk mengusik nurani dan memaksa kita lebih kritis. 

Dari kumpulan cerpennya hingga novel Korpus Uterus, Sasti menulis tentang mereka yang tersisih dari norma sosial. Ia menuliskan yang tak terdengar, menghadirkan yang sengaja dimarjinalkan, dan mengajak kita semua bertanya sampai kapan perempuan harus terus dibungkam? 

Dalam dunia yang masih dikuasai oleh sistem patriarki, karya Sasti Gotama hadir sebagai pengingat bahwa menulis bisa menjadi perlawanan. Ia membuktikan bahwa sastra bisa menjadi senjata paling tajam untuk menyingkap realitas, mengasah empati, sekaligus memperjuangkan keadilan. 

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.