A.W. Prihandita, Pemenang Nebula Award yang Menentang AI

Anselma Widha Prihandita beberapa kali menoleh ke belakang sembari berjalan ke panggung di Kansas City Marriott Country Club Plaza, Missouri, Amerika Serikat (AS) pada (7/6). Dalam hati dia berkata, “Ini enggak salah nih milih orangnya aku?” Anselma sulit percaya bisa membawa pulang Nebula Award, kategori novelette terbaik.
Pihak penyelenggara Nebula Award, Science Fiction and Fantasy Writers Association (SFWA), memang sudah mengumumkan karyanya masuk final, sejak Maret 2025. Namun, saat menerima telepon dari Presiden SFWA Kate Ristau, Anselma skeptis bisa menang. Pemikiran skeptis itu pun bergeming hingga namanya betul-betul dibacakan.
“Aku tuh udah mikir pasti (yang menang) seseorang yang lain. Jadi pas nama aku diumumin, I was expecting to hear another name, so it didn’t register to me,” ucapnya kepada Magdalene melalui Zoom, (17/6).
Menurut Anselma, dirinya terhitung baru di dunia kepenulisan fiksi, terutama untuk publikasi karya. Sejak kelas 2 SD, dia sebenarnya sudah lekat dengan novel fantasi yang tersohor, seperti Harry Potter dan Lord of The Ring. Pengalaman membaca dunia fantasi itu membuatnya bermimpi jadi penulis fiksi.
Namun, kesibukan pendidikan menghentikan mimpinya. Apalagi, dia sering dengar orang-orang berkata, “Kalau jadi penulis itu nanti enggak punya duit.” Atas orientasi pragmatis, Anselma fokus mengejar karier sebagai pengajar, yang menurutnya lebih menjanjikan.
Ketika Covid-19 memaksa banyak orang mencari hobi baru, dia kembali menggali ingatan masa kecilnya. Dia pernah bermimpi menciptakan dunia fantasi. Di masa itulah, dia baru menikmati menulis fiksi sebagai hobi dan bisa menyelesaikan cerita atas keinginannya sendiri.
“Pas kuliah pernah ngambil mata pelajaran penulisan kreatif, terus kayak nulis satu-dua cerita, karena tugas kuliah kan jadi harus selesai. Baru benar-benar nulis cerita sampai selesai itu, ketika pandemi Covid-19,” kisahnya.
Baca juga: Ita Fatia Nadia: Lawan Penghapusan Sejarah Perempuan dan Pelanggaran HAM
Nyata di dalam fiksi
Proses mengejar karier sebagai pengajar membawa Anselma ke AS. Dia memperoleh teaching assistantship untuk mengemban pendidikan S2 dan S3 di University of Washington pada 2018. Teaching assistantship mirip dengan beasiswa. Anselma diberikan pembebasan biaya kuliah, dengan syarat menjadi instruktur bagi mahasiswa S1.
Beberapa hari setelah menerima penghargaan Nebula, dia mendapat gelar PhD dalam program studi language and rhetoric. Perjalananan akademik di negeri Paman Sam kerap kali dijadikan inspirasi untuk menulis cerita fiksi.
Dalam disertasi misalnya, Anselma meneliti tentang kesulitan komunikasi yang dihadapi mahasiswa S2 dan S3 asal Indonesia di AS. Dia menemukan, rekan-rekan sebangsanya terkadang tidak dimengerti oleh orang lokal saat sedang mempresentasikan riset. Padahal, mereka fasih berbahasa Inggris dan menguasai materi yang dibawakan.
“Aku merasa, ada suatu masalah komunikasi yang lepas dari bahasa dan bukan masalah kepintaran seseorang, yang bikin mereka kurang dipahami sama orang-orang lain,” tutur Anselma.
“Dari sana, aku pengen bikin suatu cerita tentang orang yang fundamentally not understandable to others gitu,” lanjutnya.
Premis tersebut kemudian ia ejawantahkan dalam novelette, Negative Scholarship on the Fifth State of Being (2024) yang berhasil memenangkan Nebula Award. Semau, tokoh utama novelette ini, merupakan manusia yang berprofesi dokter di Planet Nusa. Suatu hari, dia kedatangan pasien bernama Txyzna, alien spesies Plyzmorynox, yang mengeluhkan lubang di dirinya.
Pun demikian, mesin diagnosis Semau tidak memiliki informasi apa pun, karena Plyzmorynox adalah spesies minoritas. Dalam perjalanannya, Semau menemukan, masalah pasien langkanya itu tidak sekadar medis, tetapi urgensi untuk dimengerti secara utuh sebagai makhluk hidup.
“Alien itu kan fiksi ya tapi fiksi ini digunakan untuk membawa sesuatu yang mungkin kurang greget kalau di-potray dengan sesuatu yang realistis,” ucapnya.
Baca juga: Queer and Palestine: Cara Priscilla Yovia Melawan lewat Bacaan
Akal-Akalan Akal Imitasi
Dalam dunia yang Anselma ciptakan, terdapat dua kategori dokter, praktisi dan pendidikan. Semau termasuk dokter praktisi. Artinya, dia hanya perantara antara mesin diagnosis yang serupa Akal Imitasi (AI) dan pasien.
Observasi mandiri adalah tindakan ilegal bagi dokter praktisi. Hanya dokter pendidikan yang boleh melakukannya. Sementara, perlu waktu 5 tahun untuk masuk ke dalam kategori tersebut. Semau tak mungkin menutup kliniknya yang merupakan satu-satunya klinik di planet Nusa, selama 5 tahun.
Dia kemudian berusaha membantu Txyzna secara mandiri dan tidak bergantung pada mesinnya, walau harus kehilangan lisensi dokter. Dalam bagian ini, Anselma membicarakan AI yang semakin hari semakin banyak memainkan peran dalam kehidupan.
Menurutnya, selengkap-lengkapnya AI bisa mengumpulkan pengetahuan, pasti tetap ada lubang di dalamnya. Misalnya saja, pengetahuan tentang kelompok marjinal dan pengalaman manusiawi lainnya, tidak akan bisa direpresentasikan oleh mesin. Lalu, bagaimana jika AI menjadi standar tunggal di masyarakat dan dapat memonopoli pengetahuan secara sepihak?
“Pada akhirnya akan ada hal-hal yang terinvalidasikan sebagai bentuk pengetahuan, hanya karena itu tidak ter-include di dalam AI model. Ini membuat marjinalisasi makin intens,” ucapnya.
Baca juga: Have Journalists Skipped the Ethics Conversation When It Comes to Using AI?
Menjadi Pengajar yang Melawan AI
Anselma, yang merupakan instruktur menulis akademik untuk mahasiswa S1 di University of Washington, tak hanya menentang AI dalam karya fiksi. Di kelas, dia tidak menggunakan sistem penilaian tradisional yang berorientasi pada hasil. Cara itu meminimalisasi para mahasiswa melarikan diri ke keinstanan yang ditawarkan AI.
Setiap memberi tugas, dia akan menilai berdasarkan usaha yang dilakukan setiap mahasiswanya atau labor-based grading. “Aku bikin speech di awal-awal tahun ajaran, please don’t use AI, karena aku ingin melihat kalian benar-benar berkembang sebagai diri kalian yang sesungguhnya,” ujarnya.
“Yang penting adalah effort mereka dalam mengerjakan tugas, bukan perfection.”
Banyak orang, kata Anselma, yang menggunakan AI berdasarkan rasa takut. Misalnya, takut mendapat nilai jelek atau tulisan yang dibuat kurang bagus. Maka dari itu, labor-based grading bisa jadi solusi menghilangkan tekanan untuk menjadi sempurna.
Namun, tetap saja dia pernah mendapati hasil karya mahasiswa yang menggunakan AI. Meski sempurna secara penggunaan grammar, terdapat cacat logika dalam tulisan itu. Anselma kemudian mengemukakan cacat logika itu kepada mahasiswanya yang menggunakan AI.
“Ya jadi dengan menanyakan, ‘ini maksud kamu apa di bagian sini?’ biasanya mereka langsung sadar dan mengoreksi pakai pikiran sendiri,” kisahnya.
Ini merupakan upaya Anselma menghambat AI menjadi standar tunggal dalam masyarakat. Sebab, penggunaan AI tidak hanya berdampak pada sempurnanya produk yang dihasilkan. Di balik itu, lanjutnya, ada lingkungan yang rusak dan marginalisasi yang semakin terasa.
“Setiap kali kamu pakai ChatGPT dan memvalidasikan kekomplitan database-nya, the more you use the database that claims to know everything, you marginalize those people and those knowledges even more.”
Catatan redaksi: Pada 23 Juni 2025, artikel telah dikoreksi di paragraf kedua karena ada kesalahan penulisan nama.
