June 23, 2025
Culture Prose & Poem

‘Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu’: Kekerasan Perempuan dan Jejak Pembantaian ’65-66 

Yang jarang diceritakan oleh sejarah-sejarah arus utama soal kekerasan perempuan dan pembantaian massal ‘65-66.

  • May 16, 2025
  • 9 min read
  • 1042 Views
‘Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu’: Kekerasan Perempuan dan Jejak Pembantaian ’65-66 

*Peringatan pemicu: Penggambaran kekerasan seksual. 

Mulut terbungkam. Tangan kaku tak bisa menggapai pertolongan. Kesadaran pun tak lagi sepenuhnya bisa dikendalikan. Kamu tersiksa, terombang-ambing dalam pusaran kekerasan. Saat itulah, organ-organ tubuhmu melakukan perlawanan. 

Mereka tahu posisimu tak berdaya. Kamu dibungkam oleh ibu. Dibungkam pula oleh masyarakat yang terus menyalahkan perempuan atas kekerasan yang dilakukan lelaki. Kelompok yang dipuja-puja paling rasional, tapi urusan menahan hawa nafsu saja tak becus.  

Sebab itu, satu per satu saksi mendatangimu. Mereka adalah medulla oblongata, kulit ari, dan akar rambut. Masing-masing bergantian mengurai mimpi-mimpi burukmu hidup sebagai perempuan. Medulla oblongata, bagian batang otak yang jadi pusat kontrol vital tubuh manusia menjelaskan rasa jijik ketika tangan si Jerapah yang masuk dalam selimutmu. Ia juga bercerita pernah membuat telingamu Tuli saat para laki-laki bersiul dan mengomentari ukuran payudaramu. 

Kuit ari menceritakan sensasi sentuhan si pembisik doa yang memainkan kalung cincin Neptunus di dada, getaran suara si Jerapah, dan Gajah yang tengah menseksualisasi tubuhmu. Lalu akar rambut tersentak tsaat si Jerapah memerkosamu. Akar rambut bilang jika masih bernapas, tentu kamu akan menangis, tapi ia sanksi kamu mau bersaksi. 

“Namun, tentu saja, di dunia ini tak ada keajaiban. Glori tak bisa membela dirinya sendiri. Jangankan begitu, seandainya Glori masih hidup, aku sangsi ia mampu bersaksi. 

Baca Juga: Membangkitkan Gerakan Perempuan Progresif di Arena Politik

Mereka yang Terpinggirkan 

Kesaksian organ-organ tubuh dalam mengungkap kasus pelecehan dan kekerasan seksual adalah bagian dari 20 cerita pendek tulisan Sasti Gotama. Bertajuk Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu, buku ini menbedah nasib buruk perempuan yang terjebak dalam budaya pemerkosaan. Perempuan yang jadi satu dari sepuluh Emerging Writers di Ubud Writers & Readers Festival 2022 ini punya gaya penulisan unik dan eksperimental. Ia banyak menggunakan alegori dan mengeksplorasi berbagai macam sudut pandang dalam menyampaikan cerita. 

Sebagai penulis perempuan, kekuatan Sasti terletak pada keberpihakannya yang kuat pada isu-isu seperti kekerasan, kesehatan mental perempuan, dan seksualitas. Dalam cerpen Sima, Sasti menceritakan perempuan, Roemina yang terpaksa menjadi gundik laki-laki Belanda, Jan Jacob. Memadukan sejarah kolonial dan mitos lokal soal harimau, Sasti membentuk alegori keterkungkungan perempuan. 

Seperti Sima, si harimau Jawa yang terlampau jinak karena dikurung hampir sepanjang hidupnya, Roemina sebagai gundik juga dibentuk menjadi sosok penurut, tak banyak bicara, atau protes atas statusnya. Nilanya sebagai perempuan dinilai dari kepatuhan, peran sebagai pelayan rumah tangga, dan kemampuan melayani hasrat seksual laki-laki. Ia cuma kepala pembantu dan penghangat ranjang si Belanda totok itu. Jan Jacob bahkan berusaha keras menyangkal keberadaan anak-anak dari hasil hubungannya dengan Roemina. Alhasil, Roemina terkurung dalam rumah yang pada mulanya menjanjikannya kebebasan.  

Dengan mempekerjakan narator ketiga serbatahu dalam cerpen, Sasti memberikan gambaran yang cukup akurat tentang posisi perempuan pribumi di masyarakat kolonial. Reggie Baay, penulis buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda (2010) di balik tudingan “perempuan materialistis”, “perempuan tak bermoral”, “perempuan penggoda” atau pelacur oleh para kolonialis Belanda, sosok para gundik atau dikenal pula dengan sebutan Nyai tak ayal adalah korban dari penindasan berlapis.  

Para gundik mengalami penindasan gender, karena jenis kelamin mereka perempuan. Penindasan ras, karena kulit mereka yang berwarna. Terakhir, penindasan kelas, karena status mereka sebagai orang miskin. Dalam relasi pergundikan, kuasa sepenuhnya berada di tangan laki-laki, kulit putih, dari kelas mapan.  

Dalam banyak kasus, pergundikan sama saja seperti perbudakan. Relasi kuasa timpang terjadi karena mewujud pada relasi yang bersifat seksual antara sang penakluk dan yang ditaklukkan. Perempuan pribumi hanya menjadi objek untuk dinikmati secara seksual dan diperlakukan semena-mena. Mereka bisa tiba-tiba diusir tanpa diberikan pesangon atau mendapat kekerasan tanpa ada yang mau menolong.  

Hak atas anak dari hasil hubungannya dengan si tuan pun sayangnya juga tidak diakui. Lewat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 1848 Pasal 40 dan 354, dinyatakan hak asuh anak hasil pergundikan tidak dapat diambil oleh ibunya sekali pun si tuan meninggal. Reggie Bay mencatat sering kali anak-anak tersebut dialihkan kepada pasangan Eropa lain dengan memberi imbalan dan melupakan peran gundik sebagai ibu kandung mereka. Ini kenapa kemudian banyak anak-anak Indo berakhir tidak mengetahui siapa ibunya dan tak mengenal akar identitas Indonesia-nya. 

Banyak gundik yang akhirnya meninggal dalam kesendirian. Dijauhkan dari keluarga dan anak-anak serta tak pernah mencicipi kebebasan sebagai manusia. Beruntungnya di Sima, Roemina punya nasib berbeda. Ia berhasil keluar dari penjara hidupnya. Ia mendapat keberanian untuk melawan dan melarikan dari jerat sistem. itu semua berkat Sima si harimau Jawa.  

Sima si harimau Jawa adalah satu-satunya makhluk yang mengerti pahitnya kekangan yang membinasakan segala sendi-sendi perlawanan. Ia adalah yang sempat ia rawat luka-lukanya dan ia ajari makan daging untuk bisa bertahan hidup bukan lagi nasi seperti apa yang diberikan majikannya dulu. Maka dalam kesamaan penderitaan, mereka saling menguatkan dan meraih kebebasan masing-masing. 

Baca Juga: Apa yang Sebenarnya Terjadi di 1965: 5 Buku Panduanmu

Pabrik Penghasil Bayi 

Tak ada yang lebih berharga dari diri manusia dibandingkan kemampuannya menciptakan kehidupan baru. Buat laki-laki itu adalah sperma mereka yang nanti akan masuk membuahi sel telur. Sementara buat perempuan kemampuan itu lebih hebat lagi. Sel telur yang dibuahi dalam rahim mereka bisa melahirkan manusia.  

Lewat rahimnya, perempuan memiliki kuasa untuk bisa membangun peradaban. Mereka bisa mempertahankan eksistensi manusia sebagai satu-satunya penguasa Bumi. Tak heran ketika semakin sedikit perempuan enggan berhubungan seks demi prokreasi, dunia mulai gonjang-ganjing.  

Untuk mencegah keruntuhan dominasi manusia di muka Bumi, para pemimpin dunia yang didominasi oleh para laki-laki, membuat kebijakan baru. Perempuan bersama pasangannya dipaksa punya anak. Mereka menyebarkan propaganda, prokreasi adalah ritual suci demi menjaga peradaban manusia. Tiap anak yang lahir ke Bumi dipandang sebagai harapan bangsa maka berbagai program dibuat untuk meningkatkan demografi kelahiran bayi-bayi baru. 

Di tengah kebijakan yang mengontrol otonomi dan seksualitas tubuh perempuan, mereka, para perempuan aseksual semakin menderita. Itulah yang dialami oleh “aku”, tokoh utama perempuan dalam cerpen Serbuk Ragi. Sebagai aseksual, ia tidak pernah bisa menikmati hubungan seksual bahkan dengan pasangan intim sekali pun. Hubungan seksual cuma bikin dia trauma, menyisakan bekas muntahan karena ia jijik selama melakukannya. Sebaliknya, ia menikmati keintiman manusia dalam bentuk-bentuk yang lebih luas. Entah itu afeksi emosional atau keterikatan intelektual terhadap sesama manusia. 

Kebijakan memiliki anak membuat “aku” frustrasi. Ia berulang kali harus didatangi petugas Peningkat Angka Demografi Anak (PEDO) untuk dicek masa kesuburannya. Saat ia tidak kunjung hamil, petugas PEDO pun terus menawarinya alternatif kehamilan lain seperti inseminasi buatan. Pengalamannya ini menggambarkan diskriminasi berlapis perempuan aseksual. 

“Aku” si perempuan aseksual ini terjebak dalam kebijakan pronatalis, kebijakan yang berangkat dari asumsi setiap perempuan secara naluriah mendambakan keibuan. Diskursus ini memosisikan motherhood sebagai identitas sentral perempuan, sehingga meniadakan keberagaman orientasi dan pilihan reproduksi. Bagi perempuan aseksual—yang secara orientasi tidak merasakan ketertarikan seksual—pronatalisme ini justru menambah beban stigma dan invisibilitas: ketidakmampuan atau ketidakinginan untuk melakukan hubungan seksual dan memiliki anak dianggap “menyimpang” atau “kurang utuh” sebagai perempuan. Pada gilirannya, kebijakan ini cuma menegaskan nilai-nilai patriarki tanpa mengenali hak atas otonomi reproduksi individu.  

Lebih dari itu, kebijakan memiliki anak menjebak perempuan lebih jauh dalam compulsory sexuality. Dalam buku Ace: What Asexuality Reveals About Desire, Society, and the Meaning of Sex, compulsory sexuality dijelaskan sebagai gagasan, setiap orang normal adalah seksual. Tidak menginginkan seks (yang disetujui secara sosial) adalah tidak wajar dan salah, dan orang yang tidak peduli dengan seksualitas kehilangan pengalaman yang sangat penting dalam hidup mereka.

Compulsory sexuality membuat masyarakat percaya, setiap orang pasti punya hasrat dan ketertarikan seksual. Karena itu, menikah, punya hubungan romantis, bahkan kasual dianggap alamiah dimiliki dan diinginkan oleh manusia.  

Gagasan ini berbahaya karena tak hanya menginvalidasi perasaan dan pengalaman aseksual, tetapi juga secara bersamaan memberikan penghakiman. Angela Chen, penulis buku yang juga aseksual mencontohkannya lewat ketakutan masyarakat terhadap sexless population. Hal ini digambarkan media sebagai resesi seks.  

Dalam tekanan berlapis ini, siapa pun pasti akan pasrah tunduk pada sistem. Namun beruntungnya itu tak terjadi pada “aku”. Dengan pasangan setara yang sama-sama merupakan seorang aseksual, keduanya memutuskan memiliki “anak”. “Anak” mereka bukan manusia. “Anak” mereka adalah hasil perlawanan keduanya pada sistem yang dilahirkan lewat pemikiran, pena, dan gawai mereka.

Mereka adalah tulisan, konten-konten digital, hingga film yang membawa pesan pada dunia bahwa tidak apa jadi diri sendiri. Tidak apa memilih tidak menjadi seseorang yang tidak diharapkan sistem opresif yang memangkas habis kebebasan, hak otonomi tubuh, dan seksualitas warganya. 

Baca Juga: 4 Fase Gerakan Perempuan di Indonesia dan Apa yang Bisa Kita Pelajari Darinya

Mereka yang Tidak Pernah Dikuburkan 

Sudah selayaknya semua yang mati dikubur. Proses penguburan itu adalah bukti penghormatan atas eksistensi semua makhluk hidup yang pernah berjalan di Bumi. Dalam cerpen Segala yang Mati Harus Dikubur, Sasti menceritakan Oma Nin yang tanpa sengaja menemukan binatang seperti kucing mati terlindas dan ingin menguburkan binatang itu. 

Pertemuan mayat binatang itu membuka luka lama Oma Nina. Lima puluh tujuh tahun lalu, pada bulan Oktober, bapaknya yang seorang petani ditangkap aparat. Ia dituduh terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Enam hari kemudian, ayahnya yang dijanjikan bakal dibawa pulang justru pulang tidak bernyawa. Tubuhnya yang tanpa kepala tersangkut di tepi Sungai Brantas.  

Walaupun ditemukan sudah tak bernyawa, Oma Nina masih beruntung. Bapaknya pulang dan bisa dikubur. Mayat-mayat lain bernasib sial karena dibiarkan terhanyut di sungai yang kala itu berubah warna merah pekat berbau amis dipenuhi tubuh tanpa kepala. 

Cerita Oma Nina mengingatkan pembaca pada genosida 1965-1966 yang berusaha dikubur oleh penguasa. Dalam laporan Tempo Edisi Khusus Pengakuan Algojo 1965 – Oktober 2012, terungkap, para algojo –warga sipil yang ikut membantai terduga anggota atau simpatisan PKI– sepanjang pinggiran Sungai Brantas jadi tempat favorit untuk melakukan pembantaian. Kepala para korban dipenggal dan dilempar ke sungai. Kediri diduga menjadi ladang pembantaian paling besar di Jawa Timur kala itu. 

“Belum ada angka pasti jumlah korban pembantaian. Namun, sejak operasi penumpasan dimulai, Sungai Brantas menjadi kuburan terapung. Mayat-mayat yang sebagian besar tanpa kepala mengambang di sepanjang sungai. Bau busuk menguar.Tidak ada orang yang berani menangkap ikan serta bersedia makani kan dari sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Timur itu,” tulis Tempo. 

Para penjagal ini tidak ragu-ragu membunuh  bahkan tidak sedikit dari mereka bangga dengan tindakan itu. Mereka sudah diliputi kebencian dan doktrin propaganda. Mochamad Samsi adalah salah satunya yang diwawancara oleh Tempo bahkan mengatakan seorang ulama NU telah memberinya nasihat bahwa tidak sah sebagai muslim jika ika tak mau menumpas orang-orang PKI atau haram hukumnya membunuh cicak jika belum membunuh orang-orang kafir ini. 

Pada akhirnya, sebagai kumpulan cerpen, Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu tak cuma berhasil memberikan pengalaman membaca yang baru lewat narasi unik dan eksperimental dari Sastia. Kumpulan cerpen ini juga berhasil mengangkat berbagai isu krusial tentang kekerasan terhadap perempuan dan seksualitas serta sejarah kelam yang jarang diangkat dalam dunia sastra Indonesia.

Kepiawaian Sasti dalam meramu kata dan membangun dunianya sendiri mampu menggelitik nurani para pembacanya dan rasa penasaran mereka terhadap redefinisi makna menjadi seorang manusia.  



#waveforequality
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.